Media Bawean, 16 Februari 2012
Lomba Menulis Berita & Opini Tahun 2012
Kategori Umum
Tulisan : Ahmad Lutfi *
Ketika tulisan ini diprint out, Bawean tengah diramaikan oleh hadirnya media komunikasi baru bernama internet. Warnet bermunculan di sudut-sudut desa. Masyarakat Bawean menjadi lebih mudah mengakses beragam informasi dengan cepat. Kalangan mudanya juga gandrung dengan media on line; face book, e-mail, twitter dengan varian situs yang cukup membuat mata penasaran. Saya pun tergiur untuk ikut nimbrung di dalamnya, di dunia maya, di dunia virtual, di dunia cyber, berinteraksi di “dunia like this”. Menjelajah jejaring sosial, menembus batas budaya, ruang dan waktu pun terasa lebih sempit. Tulisan ini sebenarnya untuk koleksi pribadi, namun atas permintaan teman-teman saya, kemudian di-Send to (dikirim) ke ruang Publik.
Suatu ketika saya duduk santai dengan teman saya, disela kesibukan rutinitas kesehariaan, seraya berdiskusi tentang problem hidup dan kehidupan, sambil mencoba mencari biang kerok masalah, serta mencari solusi yang bisa ditawarkan. Mulai dari tema individual, sosial, institusi, bahkan agama. Mulai dari aspek ekonomi, budaya, seni, politik, pendidikan bahkan problem nasional kebangsaan.
Sebenarnya saya yang lebih aktif berbicara, menumpahkan “semau” isi hati saya, mengutarakan sesuatu yang berkelindan dalam benak saya. Teman saya itu memilih lebih banyak diam dan antusias mendengarkan. Saya menunggu responnya, saya menantikan kritiknya, saya mengharap dia tidak setuju dengan pendapat saya. Dia hanya tersenyum pandangan matanya polos memandang jauh kedepan, seolah menatap ruang yang penuh sesak dengan pola pikir, paradigma, konsep, dan seterusnya. Sayapun diam... hening... Saya meresa puas karena bisa menumpahkan segala apa yang ada dalam pikiran saya, perasaan saya, hati saya, bahkan jiwa saya.
Tiba-tiba dia sontak berbicara, dengan nada yang tenang, “Kalau begitu, mulai saat ini sebaiknya kita Puasa Bicara”. Saya kaget, tertegun sejenah, dan mencoba menyembunyikan rasa kaget itu. Sambil terus memberikan wacana baru dalam terma diskusi. Namun saya terus menyembunyikan rasa penasaran hingga pembicaraan usai. Saya tidak bertanya tentang maksud, pengertiaan, dan makna apa yang dia sebut Puasa Bicara.
Disaat kesendirian saya, di rumah, di tempat kerja, di warung kopi, bahkan di jalan, saya terus berpikir, merenung, mencoba mencari pengertian dan makna Puasa Bicara. Kemudian saya teringat dengan tulisan Farid Gaban (mantan Wartawan Harian Republika) dalam buku yang berjudul “Solilokui”. Saya baca kembali buku itu dengan maksud mencari jawaban tentang hal yang sedang berkelindan dalam benak saya. Lewat caranya sendiri, Farid Gaban dalam buku tersebut memberikan pengertian baru tentang bicara. Menurutnya bicara sama dengan pengutaraan perasaan dan pikiran kepada orang lain. Jika itu tidak bisa dilakukan maka ada pilihan lain, yaitu Solilokui dalam bahasa jawa disebut nggeremeng. Orang Bawean menyebutnya angok-ngoan.
Solilokui diambil dari kata Inggris soliloquy, orang Inggris mengadopsi dari bahasa Latin: soliloqium (solus : sendiri dan loqium : bicara). Solilokui berarti sebuah monolog. Tapi menurut Goenawan Mohamad, tidak ada orang yang benar-benar nggeremmeng. Sebab nggeremeng itu toh akan didengar oleh orang lain, dan sebenarnya ditujukan buat orang lain. Bahwa ia dikemukakan tidak sebagai dialog, namun bisa merupakan sebuah teknik atau siasat, atau simbol keterbatasan, tapi sekaligus juga kepiawaian berekspresi. Dalam arti tertentu, solilokui boleh dibilang sebentuk pernyataan iman yang selemah-lemahnya—ketika seseorang memperingatkan kesalahan orang lain hanya dengan berkata dalam hati. Selanjutnya yang terjadi adalah justru kita terperosok dalam taraf terendah kualitas pertukaran pikiran (diskursus wacana). Dalam solilokui tidak dibutuhkan respon dan reaksi. Hingga titik ini saya merasa tambah bingung, dan jawaban yang saya kumpulkan pun tak bisa menjadi sebuah kesimpulan. Apalagi sebagai dalih untuk bersikap dan bertindak.
Di sisi lain, zaman informasi terus mengalir menyuguhkan beragam kemudahan bagi semua orang untuk menjelajah pengetahuan, informasi, dan isu-isu baru. Radio, TV, media on line, internet menghadirkan pilihan beribu informasi setiap hari. Bergantung kecerdasan kita dalam memilah sesuatu yang bermakna dari tumpukan informasi tersebut. Saking padatnya informasi yang masuk, kita seperti selalu memiliki bahan untuk didiskusikan, diperbincangkan, bahkan diperdebatkan. Informasi adalah sebentuk pemberitahuan bersifat instan, jarang bisa mengubah pola berpikir manusia, karena itu hanya berupa hidangan-hidangan biasa yang mungkin bisa menambah pengetahuan, tetapi belum tentu bisa melahirkan pencerahan.
Sekian banyak informasi justeru membuat manusia malas berpikir, dalam istilah Ignas Kleden, thoughtlessness (malas berpikir). Ketika kita telah menghentikkan gairah berpikir mendalam, berarti telah menghentikan kekuatan inti manusia yakni merenung. Lagi-lagi di zaman hiruk-pikuk teknologi informasi ini, kita pun semakin sulit untuk menemukan suasana hening yang membuat diri bisa berdiam dalam tafakkur yang mendalam. Pengetahuan yang kita serap pun menjadi tidak bermakna. Itulah karakter zaman yang menjadi ciri milenium ketiga.
Wajah dunia pendidikan kita saat ini sedang dihujani dengan beragam diskursus wacana; teori, konsep, pendekatan dan kurikulum yang kaya dengan alternatif-alternatif pilihan. Namun sayang, pada kenyataannya yang laku laris manis di pasaran justru teori keramaian, penonjolan diri (ke-aku-an), riuh dengan muatan fisik, keberanian tanpa pedoman, tujuan yang pragmatis, proses yang asal-asalan, terjebak pada nuansa instan. Pada saat tertentu, anak didik kita dilatih untuk berani berbicara, berani bertanya, berdiskusi, banyak ngomong, walaupun sebenarnya tak paham apa yang mereka bicarakan. Proses pembelajaran hanya menyentuh permukaan, amat dangkal, dan kering makna. Namun taradisi Tafakkur tidak laku di pasaran, tak masuk dalam perencanaan kurikulum, keheningan tak menjadi indikator pilihan, metode perenungan menjadi tradisi hayal yang tak terjangkau, diam untuk berpikir menjadi sesuatu yang teramat mahal buat mereka. Sementara di lain pihak, banyak pakar pendidikan bersuara lantang tentang pentingnya keseimbangan IQ, EQ, dan SQ, untuk menopang proses pembelajaran. Sebuah tradisi yang mendungukan, namun terus dipertahankan.
Kemudian lahirlah generasi-generasi yang “linglung”, generasi yang cakap dan cekatan tapi tak bermoral, generasi yang cerdas namun penghianat, generasi yang hanya pandai menjilat. Sebuah generasi yang mampu bersaing namun tak perduli dengan orang lain. Generasi yang berkarakter angkuh. Generasi yang punya visi dan misi namun hanya untuk dirinya sendiri. Generasi yang lantang berteriak “maling” padahal dirinya sendiri yang maling. Mereka tak pernah peduli ihwal orang tua mereka, tak perduli pada sejarah bangsa, nasehat orang-orang bijak menjadi sesuatu yang kadaluarsa. Mereka sibuk dengan hal yang sia-sia. Mereka lupa dengan tanggung jawab kemanusiaan. Mereka menjadi generasi yang tak kenal ibu pertiwi yang melahirkannya, tak perduli budaya bangsa. Kakinya berpijak di bumi indonesia, namun jiwanya terasing. Modernisasi menjadi virus yang meracuni gaya hidupnya. Sejarahpun menggilas mereka. Tapi mereka tak sadar, sementara yang sadar pura-pura gila, yang gila malah merasa waras. Genersai inilah yang kini hidup berkeliaran, berkuasa, dan memberi warna indonesia. Mendominasi kehidupan bangsa.
Di sisi lain orang-orang yang tercerahkan malah terpinggirkan, bahkan sengaja dikucilkan. Orang yang tercerahkan malah diasingkan, dibatasi ruang geraknya, dimatikan kreativifitasnya, dibungkam ide-ide cemerlangnya, dibunuh karakter jiwanya. Orang-orang ini dipaksa untuk diam. Tapai orang-orang tercerahkan ini sebenarnya tak pernah mati. jiwa mereka tetap hidup, jiwa mereka bertengger, bergelantungan di alam lain. Mereka terbang meninggalkan ranting kepalsuan dunia. Seperti Rajawali yang tetap bersuara kebenaran: “Hak...Hak...Hak...”. Dadanya kokoh, mencengkram kuat Sang Kebenaran Mutlak. Meskipun dunia bukan miliknya. Meskipun Sejarah untuk sementara tak berpihak padanya.
Dalam tradisi sufi mengurangi bicara (Tafakkur) adalah sebuah latihan yang bisa berpengaruh terhadap kesempurnaan ruhani seseorang. Tafakkur adalah salah satu dari jalan termudah untuk menggapai pengenalan pada Allah, sebagai kelezatan yang diperoleh manusia saat di dunia. Jika orang terlalu banyak berbicara, dan hidup dalam dunia ramai, maka aktivitas diam dalam tafakkur akan terganggu. Kita akan gagal menangkap pelajaran terindah yang bisa melahirkan pencerahan.
Salah satu teknik yang mampu menguak kearifan adalah diam, ia akan melahirkan kebijaksanaan. Diam berperan untuk melejitkan kearifan dalam diri manusia. Melalui diam kita bisa menghadirkan keheningan dalam arti fisik, beralih pada keheningan pikiran, dan jiwa. Saat jiwa telah hening, maka Yang Maha Heningpun akan hadir memancarkan cahaya kecerahan diri, dan puncak keberhasilannya adalah mengenal Allah. Jika kita sedang berpikir mandalam, maka seluruh fisik dalam keadaan sunyi dan hening, dan kita pun bisa menyelam untuk kemudian menemukan mutiara kearifan.
Berjubelnya informasi dan semakin padatnya aktivitas kehidupan, seringkali kita tidak memiliki waktu sedetik pun untuk mendiamkan fisik. manusia modern semakin sulit menemukan tempat berdiam diri, agar tidak terganggu dari hiruk-pikuk yang memenuhi sudut-sudut ruang. Semakin banyaknya kemudahan justeru membuat kita semakin sulit untuk melakukan diam. Setiap saat waktu yang kita jalani selalu diinterupsi dengan rencana-rencana baru, ditambah semakin menumpuknya keinginan yang berkelana dalam pikiran.
Saya hanya bisa menyimpulkan bahwa diam memiliki nilai yang amat besar dalam menaikkan derajat kemuliaan manusia. Saya kerap menemukan orang-orang besar lebih mengedepankan mendengar ketimbang berbicara. Dalam mendengar, mereka mencoba menelaah dan mempelajari setiap pembicaraan, untuk bisa menggali pelajaran dari setiap fenomena yang terjadi. Orang-orang arif dan bijak selalu berada dalam rumah kesadaran, bahwa manusia harus lebih banyak mendengarkan daripada berbicara. Semakin terampil dan cerdas mendengarkan, maka manusia semakin arif dalam menyelesaikan beragam problem kehidupan. Dalam diam dan tafakkur manusia akan terbang meninggalkan ranting pohon dunia, untuk menjelajah dunia spritual melambung bahkan mencapai alam malakuti.
Saya teringat apa yang dituturkan oleh sang guru, bahwa orang yang banyak bertanya, berarti masih bodoh, banyak berdebat berarti orang pintar, dan orang yang telah berada dalam samudera diam amat tenang, maka berarti spirit kearifan telah bersemi dalam hatinya yang bersih. Berusahalah kita untuk mempraktekkan diam, mencoba mengganti alat berbicara dari menggunakan mulut, berpindah pada kelembutan hati. Diam membuat kita berwibawa, bercahaya, dan dipenuhi dengan spirit. Seperti lautan yang menyimpan gelombang semangat, memendam mutiara kearifan. Seperti bumi yang terhampar kaya kebijaksanaan. Seperti matahari memancarkan aura yang mencerahkan.
Sayyid Ja’far Sadiq (cucu Rasulullah saw.) memberikan wasiat pada kita ihwal diam. Berikut saya kutip wasiat beliau: “Diam adalah tanda orang-orang yang yakin akan realitas-realitas yang telah mewujud, dan yang telah ditulis oleh Pena ilahi. Allah telah menjadikannya selubung bagi orang yang bodoh dan perhiasan bagi orang yang berilmu.....”. Nabi Isa a.s. juga pernah berkata, “Jagalah lidahmu untuk mengembangkan hatimu.....”.
Saya pun mulai belajar diam, meskipun suara hati terus bergejolak. Sambil belajar meniru tradisi para sufi, belajar berpikir yang benar, belajar mengikhlaskan amal, belajar memahami kesahajaan, belajar bertarung dengan diri sendiri dalam upaya membunuh egoisme (ke-aku-an). Maka, hanya kepada Allah ku adukan segala urusan.[]
*) Penulis adalah Warga Negara Indonesia yang lahir di pulau Bawean, setelah Proklamasi Kemerdekaan RI, Menikmati indahnya hidup bersama istri tercinta dan kedua putrinya di Tambak Barat Desa Tambak Bawean.