Media Bawean, 1 September 2012
Oleh Baharuddin *)
Gerbang Syahbandar merupakan satu-satunya pintu keluar/masuk dari dan ke Bawean. Sepanjang tahun 2010, terdapat 85.000 penumpang yang keluar/masuk gerbang itu. Itu berarti setiap harinya terdapat 236,1 orang yang lewat disitu. Luar biasa, karena jumlah penduduk Bawean hanya sekitar 70.000 an. Tentu mereka bukan hanya orang Bawean saja, tapi juga para pejabat kabupaten yang sedang kunjungan kerja, pekerja dan pedagang yang hendak mengais rezeki di Bawean , wisatawan local dan para perantau terutama dari Singapore dan Malaysia yang pulang kampung. Belum lagi para pengantar keluarga dan sahabatnya yang layar. Tradisi di Bawean, satu orang yang layar, satu kampung yang mengantar. Begitu pula terhadap yang datang, dijemput oleh banyak oranang. Itu berarti bahwa dalam setahunnya ratusan ribu orang yang keluar masuk gerbang Syahbandar. Pelabuhan merupakan wajah sebuah kota. Jadi harus bersih dan tertib.
Berangkat dari pemikiran harus bersih itulah maka – Badan Eksekutif Mahasiswa STAIHA Bawean – pernah bersih-bersih di pelabuhan yang di sudut pantainya sangat jorok. Dan anak-anak SDIT Al Huda juga pernah bersih-bersih di pelabuhan penyebrangan (pelabuhan baru) yang tidak kalah joroknya dengan dermaga yang dikelola Adpel Bawean. Dan berangkat dari harus tertib itulah setiap akan masuk gerbang Syahbandar penulis selalu mempersiapkan uang receh untuk membayar karcis yang nilainya hanya lima ratus rupiah itu. Penulis amat risih ketika menyodorkan uang karcis lalu ditolak hanya lantaran para petugas itu kenal dengan penulis.
Membayar karcis masuk Syahbandar itu sangat penting. Dari segi statistik, akan bermanfaat untuk mengukur sejauh mana jumlah orang dan kendaraan keluar masuk pelabuhan. Dari segi pemasukan sangat berarti untuk mengukur sejauh mana perolehan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Dari segi hukum, akan diketahui sejauh mana ketaatan masyarakat kepada peraturan yang berlaku. Pada akhirnya akan berdampak positif bagi perencanaan dan pengembangan pelabuhan itu sendiri kedepan. Itulah sebabnya penulis tidak henti-hentinya” berkampanye” kepada sejumlah handai taolan untuk membayar karcis ketika masuk pelabuhan. Walau demikian ternyata masih banyak kalangan yang tidak mentaati aturan itu.
Suatu ketika penulis pernah nongkrong di sebrang gerbang Syahbandar. Ada 18 iring-iringan mobil masuk. Mobil paling depan adalah mobil yang membawa Wakil Bupati, berikutnya adalah kepala dinas, staf dan pengantar yang hendak kembali ke Gresik. Tanpa perintah, petugas membuka pintu pagar. Dibalik pintu sudah berdiri sejumlah pejabat tingkat kecamatan dari kepolisian, koramil dan UPTD kecamatan. Mereka semuanya membungkuk memberi hormat. Saya tidak habis pikir, kenapa mereka harus hormat kepada mereka yang tidak membayar karcis masuk. Masih ada dua pintu lagi selain pintu gerbang tersebut : pintu kedua yang merupakan batas semua kendaraan tidak boleh masuk, dan pintu ketiga yang merupakan pemeriksaan tiket. Kebijakan buka tutup bagi pintu kedua dan ketiga dapat kita maklumi tergantung kepada padat tidaknya keadaan pada saat itu, kecuali bagi kendaraan yang membawa orang sakit. Yang tidak bisa kita pahami adalah para petugas yang memberi hak istimewa kepada orang dan kendaraan tertentu , padahal mereka tidak membawa orang sakit dan juga bukan petugas Adpel yang sedang bekerja. Suatu ketika di Jepang, ketika jalan sepi ditengah malam, hujan deras mengguyur dan petir menyambar, pengendara akan menghentikan kendaraannya ketika lampu merah menyala. Ketika ditanya kenapa tidak melaju saja, mereka menjawab : “kalau melaju, ditaruh dimana wajah saya”. Di Bawean, di Gerbang Syahbandar itu, mereka yang diberi hak istimewa tadi naik kendaraan dengan gaya khas, seakan menjadi orang penting ditengah pejalan kaki yang padat. Sedikitpun tidak ada rasa risih apalagi malu. Alasan itulah kenapa diawal reformasi dulu, Syahbandar termasuk salah satu instansi yang menjadi sasaran demo.
Diperlukan ketegasan dalam bekerja, tetapi harus disertai keramahan. Kamis, 16 Agustus 2012, ayah mertua penulis harus berobat ke Jawa. Karena tidak bisa berjalan, maka harus naik kendaraan menuju kapal. Ketika penulis minta izin kepada petugas di bagian loket agar kendaraan bisa masuk di pintu kedua, untuk selanjutnya dipintu terakhir akan dipapah, tanggapan petugas loket itu sungguh tidak menyenangkan : “Benar sakit?, nanti bohong!”. “Sungguh. mertua saya sakit, kata dokter harus di rujuk ke Rumah Sakit di Jawa”.”Nanti ngoco-ngoco (bohong)” katanya dengan wajah kecut dan masih tidak percaya. Untuk meyakinkan petugas, akhirnya penulis harus bersumpah :”Wallahi, Demi Allah, mertua saya sakit”. Waktu itu Ramadlan sudah berada diujung bulan. Saya meminta izin masuk tiga jam sebelum keberangkatan kapal. Jadi, pasien itu masih di rumah. Setelah itu barulah dia mengeluarkan izin dalam bentuk secarik kertas dengan retribusi Rp. 5.000,-
Sebagai pelayan public – sekali lagi -- diperlukan ketegasan dan keramah-tamahan. Singapore adalah negara yang sangat disiplin. Ketika penulis kembali ke Singapore dari Johor Bahru Malaysia dengan naik mobil pribadi -- yang dikemudikan oleh Ihsan, kawan saya seorang polisi – mereka saling menyapa dengan polisi yang bertugas di gerbang imigrasi itu. Dari cara menyapanya, saya menyimpulkan mereka bersahabat. Bahkan kata Ihsan, dia harus buru-buru sampai di rumah karena harus kembali bekerja mengganti teman polisinya tadi pada sip ke tiga. Lalu mobil diperiksa dengan seksama. Ketika saya tanya :”Ihsan, polisi itu temanmu, kenapa diperiksa begitu cermat?”.”Bang, siapapun disini harus diperlakukan begitu. Siapapun juga”, katanya sambil menginjak gas mobilnya.
Dalam hal keramah-tamahan, pemerintah Singapore tidak hanya mengharuskan kepada pelayan public, tapi menganjurkan kepada semua warganya untuk senantiasa santun. Pemerintah Negara Singa tersebut pernah mengadakan smiling campagne (kampanye senyum). Ketika saya tanya kenapa senyum saja harus dikampanyekan’ rata-rata mereka menjawab :”Senyum itulah yang banyak mendatangkan devisa”. Begitu pentingnya senyum, Tontowi Yahya, presenter terkenal yang sekarang menjadi politisi di Senayan, untuk latihan senyum saja diperlukan waktu dua tahun dengan membiasakan diri mengucap “X”. Kusumo, SE, Konsultan pendidikan yang selalu mengisi pelatihan guru di Bawean mengatakan bahwa untuk membiasakan tersenyum, orang harus selalu mengucapkan kata : “SIJI”. Pramugari Japane Air Lines memerlukan waktu tiga bulan untuk latihan membungkuk. Membungkuk kepada penumpang pesawat.
Pegawai Negeri adalah pelayan masyarakat. Maka, pelayan yang tidak bisa senyum sebaiknya ditempatkan dibagian arsip saja.
*)Penulis adalah Ketua STAIHA Bawean.