Media Bawean, 5 Februari 2013
Namanya lengkapnya George Schidewind, biasa dipanggil Mr.George. Dia berasal dari negeri Nazi, aku mengenalnya sepuluh tahun yang lalu. Aku tahu dari rekan sejawatku kalau dia seorang atheis. Baginya Tuhan dan agama hanyalah sebuah rekayasa orang-orang terdahulu. Sebagaimana orang kampung yang baru turun gunung, aku begitu apatis bahkan fasis pada orang-orang non muslim apalagi pada seorang atheis.
Di tempatku bekerja dia adalah atasanku. Selama bekerja dengannya, ada beberapa hal yang sempat menarik perhatianku. Aktivitas kehidupannya telah membuka logikaku yang selama ini bagaikan katak dalam tempurung. Ketika ditugaskan ke Cina oleh perusahanan tempatku bekerja, kami di tempatkan di salah satu hotel di sudut kota Shanghai. Sebagaimana umumnya orang Indonesia, aku dan teman-teman mengeluarkan jurus aji mumpung kala itu, makan dan minum sepuasnya mumpung gratis. Namun tidak demikian dengan Mr. George yang aku lihat, dia hanya makan sekedarnya dan berhenti sebelum merasa kekenyangan.
Demikian pula dengan segala fasilitas kantor seperti telepon dan inventaris lainnya, tidak pernah digunakan untuk urusan pribadi sekalipun ada SMS gratis misalnya. Selalu idealis dalam rutinitas kehidupan untuk tak menyentuh apa yang dirasa bukan haknya. Mentalitas kedisiplinan begitu tertanam dalam dirinya. Dari situlah aku mulai tersadar, bagaimana seorang atheis mampu mengimplementasikan beberapa ajaran dalam Islam. Berhenti makan sebelum kenyang, menghindari hal-hal yang samar (subhat), disiplin, bersih serta hidup sederhana.
Selama ini aku terlalu men-judge a book by it’s cover, menilai seseorang hanya dari lipatan sorban dan peci warna putih. Lingkungan dan cara belajar agama yang konvensional membuat pola fikirku cenderung primitif. Menerima ajaran agama secara saklek tanpa mau mengembangkan dengan wawasan dan pemikiran. Prilaku keseharianku hanya berkutat pada dogma halal dan haram saja, itupun sering kontradiktif bila diaktualisasikan dalam kehidupan nyata ketika berbenturan dengan budaya.
Mr. George yang atheis tentu bukan kyai atau ulama, dan dia tidak pernah mengenal ajaran Rasulullah. Namun demikian bisa berbuat hal-hal positif seperti yang diajarkan dalam Islam dengan membuka pikiran, logika serta wawasannya. Pemikiran masyarakat di negara-negara maju sudah sedemikian jauh depan. Apa yang diperbuat selalu difikirkan dampak dan akibatnya. Tidak menangkap ikan dengan potassium atau tidak membuang sampah ke sungai bukan karena hukumnya halal atau haram, tetapi berfikir akan efek yang diakibatkan. Bukan hanya untuk kepentingan lingkungan dirinya saat ini, namun juga untuk generasi anak cucunya.
Bertepatan dengan perayaan maulid Nabi ini, merupakan momentum bagi umat muslim khususnya di Bawean untuk bermuhasabah. Dari hanya sekedar berlomba-lomba dalam hiruk-pikuk kebanggaan semu seperti selama ini. Mengevaluasi apakah setelah perayaan tersebut lingkungan kehidupan menjadi lebih baik, apakah kasus-kasus “terpaksa menikah” akibat pergaulan bebas menjadi menurun atau sebaliknya. Berbicara pada masalah halal dan haram saja sepertinya sudah kurang efektif untuk saat ini. Pola fikir masyarakat perlu direstorasi dengan pendidikan berkarakter yang berkesinambungan, agar peduli akan dampak negatif dari setiap aktifitas kehidupan.
Esensi dari perayaan Maulid Nabi yang dilaksanakan setiap tahun ialah agar mengikuti tindak tanduk Rasulullah SAW. Namun nilai-nilai substansi dari perayaan itu sendiri semakin kontradiktif dengan realitas di Bawean kini. Pencurian kayu (illegal logging) masih marak, pantai-pantai bertambah abrasi akibat penambangan liar. Ayat-ayat suci sering dibuat bahan komoditas politik saat berkampanye, bersama dengan aib janji-janji yang tak tertunai.
Pemberitaan tentang keadaan di Bawean setiap hari terasa semakin miris. Disaat zaman sudah beralih ke modernisasi sistem tiket elektronik, warga Bawean masih sibuk dengan percaloan tiket. Belum lagi dikibuli tentang regulasi kapal laut yang mengunakan fiber. Daerah lain sudah menikmati jalan tol, Bawean masih berputar-putar merenovasi jalan lingkar. Mulus disebelah timur lantas ambruk disebelah barat, tak lama kemudian bergilir ke utara yang rusak. Dari masa ke masa Bawean terus menjadi ladang emas proyek maling berdasi yang tak berujung.
Roda kehidupan semakin carut marut akibat menanggung konsekwensi dari sebuah pilihan legislatif. Bawean juga telah kehilangan sebagian keindahan dan kekayaan alamnya karena ketidakmampuan menjaga keseimbangan ekosistem. Masyarakat terlalu berperan sebagai parasitisme semata. Bukan simbiosis mutualisme atau hubungan yang saling menguntungkan terhadap alam.
Fenomena semua ini merupakan benang merah dan Imbas dari sebuah sistem kapitalisme, yang mana telah membuat orang-orang semakin tenggelam dalam kondisi delusi. Berlomba memperoleh keuntungan sebesar-besarnya dengan segala cara tanpa peduli kelestarian lingkungan. “Keindahan memperlihatkan diri kita duduk di atas singgasana keagungan; tetapi kita mendekatinya dengan penuh nafsu, merenggut mahkota kesuciannya dengan ulah jahat kita” (Kahlil Gibran).
Belajar dari pengalaman adalah guru yang terbaik. Belajar demi hal positif bisa kapan, dimana dan pada siapa saja. Nabi SAW pernah bersabda: “Carilah ilmu sampai ke negeri Cina”. Seuntai pesan bijak yang telah terinterpretasikan pada pengalaman singkatku di negeri Tirai Bambu itu. Pelajaran hidup dari seorang atheis yang telah mencuri isi dari makna maulid Nabi yang sesungguhnya, sedangkan ummat Islam sendiri semakin tergerus kapitalisme dan tertimbun oleh ajaran yang kering.