Media Bawean, 21 April 2013
Setiap kita adalah pemimpin yang akan dimintai pertanggungjawaban (al-Hadits)
Hands have no tears to flow ( Max Dellon )
Pendekatan Praktis
Untuk PILKADES yang Berkualitas
Prolog
Walaupun PILKADES 2013 tahap II masih tinggal satu bulan lagi, namun genderang perang tampaknya sudah ditabuh. Rasakan. Aromanya sudah menyeruak kemana-mana. Hangatnya suhu politik detik per detik eskalasinya terus meningkat. Bau mulut dari Tim S sudah lama menyengat. Janji-janji mulai menyeruak menggoda. Intrik dan taktik sudah menggeliat. Nama-nama menjadi buah bibir. Namun, lihat juga, masyarakat pun terpanggil dan tergerak oleh sayup-sayup bisikan nurani. Lalu apakah urgensinya?
Fenomena di atas adalah indikasi bahwa PILKADES itu penting sekaligus momentum. Tidak hanya bagi calon tapi juga masyarakat. Bagi calon, PILKADES adalah momentum berkuasa dan mengabdi. Bagi masyarakat, ia adalah sebuah momentum menegakkan kedaulatan dan cita-cita tentang desa yang lebih baik. Setidak-tidaknya enam tahun yang akan datang. Artinya, bahwa corak dan warna desa 6 tahun kedepan berada dalam genggaman masyarakat merupakan fakta yang harus dipahami, disadari, dan diperjuangkan. Itulah harapan.
Berbeda dengan utopia, harapan adalah impian yang logis yang dapat diwujudkan dengan langkah-langkah sistematis, praktis, dan organisatoris. Harapan merupakan buah dari ilmu, kesadran dan keyakinan. Tampa ilmu akan mudah dimanipulasi dan terjebak pada kepalsuan yang berorientasi jangka pendek. Tanpa kesadaran akan menjadi apatis dan lari dari tanggung jawab. Tanpa keyakinan akan mudah putus asa dan menyerah.
Konon PILKADES – seperti pil-pil yang lain seperti PILGUB, PILKADA, PILPRES – itu berbeda dengan Pil KB. Kalau Pil KB, lupa diminum akan “jadi”. Sementara kalau PILKADES dan lain-lain. Kalau “jadi” akan lupa. Lupa akan visi-misinya, lupa terhadap janji-janjinya. Ending-nya, masyarakat akan menjadi tumbal persembahan di altar jabatan Kepala Desa sepanjang dia menjabat. Tragis, bukan?
Merengkuh harapan dan menepis efek negatif terhadap fitnah PILKADES memerlukan partisipasi masyarakat secara keseluruhan. Caranya adalah menerjunkan diri secara serius dan penuh tanggung jawab sesuai dengan kapasitas dan peranan yang dipilihnya. Bukankah hidup adalah pilihan, dan pilihan ada pertanggungjawabannya. Di bawah ini adalah beberapa peran yang dapat kita mainkan dalam PILKADES.
Menjadi Calon
Apabila punya kesempatan, kesehatan, dan kemampuan dan sudah memenuhi syarat formal lainnya, sebaiknya kita mendaftarkan diri menjadi calon kepala desa. Menjadi kepala desa itu tidak gampang. Banyak gosip dan isu miring menyertainya. Sehingga banyak banyak memandang dengan sebelah mata dan menghindarinya dengan alasan yang bermacam-macam. Namun, jika orang yang mempunyai kapasitas seperti kita tidak mencalonkan diri, maka orang lain yang akan menggantikannya. Ingat, ini zaman demokrasi. Siapa pun dapat dipilih dan memilih. Jadi, Kita tidak perlu ragu. Jabatan kepala desa merupakan salah satu medan juang yang juga menjanjikan banyak pahala. Rasul kita sudah menjamin bahwa pemimpin yang adil akan dimasukkan kedalam tujuh golongan yang mendapat perlindungan khusus dari Allah di akhirat kelak. Apakah masih ragu?
Selain harus menegakkan aturan main dan moral politik yang santun, seorang calon harus memiliki prinsip siap menang, bukan siap kalah!. Siap menang artinya siap mengemban amanah bukan khiyanah, siap melayani bukan dilayani; siap berjuang dan berkorban bukan mengorbankan dan menipu rakyat; siap mengayomi dan melindungi, bukan menyebar teror dan intimidasi; siap mengabdi dan bekerja secara profesional, bukan melakukan korupsi, kolusi dan nepotisme.
Sementara itu, kalau calon yang tidak siap kalah kemudian akhirnya dia kalah, yang rugi dirinya sendiri. Itu pun tidak akan berlangsung lama. Namun akan sulit dibayangkan jika mereka yang tidak siap menang itu yang menang, mereka hanya bisa berkuasa, tidak akan bisa memimpin. Dampaknya adalah nasib rakyat secara keseluruhan menjadi terlantar dan tersiakan. Banyaknya pejabat yang tersandung kasus korupsi adalah bukti bahwa sebagian besar pemimpin kita tidak siap menang, bukan tidak siap kalah.
Menjadi Tim S
Kalau kita tidak bisa mencalonkan diri karena suatu hal mungkin kita akan kecewa. Itu karena pikiran besar dan mimpi kita tentang desa yang lebih baik akan sulit direalisasikan. Kita khawatir kalau-kalau calon yang bakal terpilih adalah orang-orang yang tidak mempunyai kapasitas dan integritas moral yang kuat. Itu adalah wajar. Setiap orang pasti mempunyai mimpi dan harapan: Desa hari ini harus lebih baik dari kemarin. Itulah pilihan orang-orang beruntung. karena jika hari ini tidak ada perubahan (stagnan) itu artinya kita merugi. Sementara kalau hari ini lebih buruk dari kemarin itu tanda dari kebinasaan. Naudzubillah.
Sekarang zaman demokrasi. Siapa pun orangnya, apa pun visi-misnya, tidak peduli apa motivasi dan agendanya, bagaimana kapasitas dan integritas moralnya, dari mana asal-usulnya, asalkan punya persyaratan formal yang telah ditentukan undang-undang, maka dia dapat berkompetisi di gelaran pemilihan kepala desa. Fakta ini memberi sinyal bahwa kalau kita menginginkan seorang kepala desa yang bukan hanya seorang penguasa tapi juga seorang pemimpin, maka kita tidak boleh pasif dan berpangku tangan saja. Tanpa tafakkur mujahadah dan istikharah, kepala desa idaman akan menjadi jauh panggang dari api.
Salah satu partisipasi aktif untuk mengantisipasi problem demokrasi di atas adalah dengan menjadi Tim Sukses dari calon yang kita yakini mempunyai kemampuan. Tentu saja ini dilakukan setelah kita benar-benar telah menimbang calon yang ada dari segala aspek. Baik itu kapasitas intelektual, integritas moral, dan visi-misianya tentang pemerintahan desa. Ini memang tidak mudah, tapi kalau dilakukan secara kolektif, berdiskusi secara jujur dan terbuka tanpa pretensi kepentingan pribadi sesaat – ditambah lagi dengan minta petunjuk dari langit – kita pasti menemukan figur yang tepat, minimal ideal di antara calon-calon yang ada. Walau pun toh kita menemukan figur yang berbeda, kita akan tetap menghargai perbedaan itu dengan lapang dada sebagai harga yang harus dibayar untuk demokrasi.
Menjadi Pemilih
Adalah hak calon melakukan kampanye memikat hati rakyat dengan visi-misinya. Begitu juga kewajiban Tim S “mengiklankan” jagonya. Tapi rakyatlah yang menentukan. Di tangan rakyatlah warna desa 6 tahun yang akan datang. Sebaik apa pun seorang calon tapi rakyat tidak memilihnya, maka calon tidak bisa jadi kepala desa. Sebaliknya, seburuk apapun kapasitas dan moral seorang calon, kalau rakyat memilihnya maka dia akan menjadi kepala desa. Ironi, bukan?
Untuk itulah kita sebagai penentu harus menjadi pemilih yang aktif, cerdas dan kritis. Aktif artinya kita harus menjamin diri kita sendiri mempunyai hak pilih dengan cara nama kita tercantum di Daftar Pemilih Tetap (DPT) Pemilihan Kepala Desa. Selain itu cari informasi sebanyak-banyaknya tentang segala tetek bengek yang berkaitan dengan diri calon: visi-misinya, kapasitas intelektualnya, integritas moralnya, dan lain sebagainya.
Selanjutanya pemilih cerdas, artinya mempunyai kemampuan menimbang dan memilih calon yang terbaik berdasarkan data-data serta informasi tentang diri calon. Kalau kita masih belum yakin, tanyakan pada ahlinya: tokoh masyarakat, para kiai, atau bisa langsung istikharah kepada Tuhan.
Sifat ketiga yang mesti dimiliki seorang pemilih adalah sikap kritis. Sikap ini menjadikan kita tidak mudah percaya terhadap jargon-jargon manis politik seorang calon dan Tim S. krtisisme menghindarkan kita dari perangkap jeratan janji-janji kosong yang tidak realistis, menyelamatkan kita dari jurang fitnah dan dengki yang dihembuskan, meloloskan kita dari lubang konflik yang sengaja digali oleh orang-orang yang bodoh. Dengan kecerdasan dan kritisisme yang kita miliki, kita tidak akan menggadaikan kepentingan dan kehormatan desa kita tercinta dengan memilih calon berdasarkan kepentingan sesaat, uang dan jabatan.
Menjadi Panitia
Menjadi Panitia juga merupakan suatu bentuk partisipasi aktif masyarakat dalam PILKADES. Panitia bertugas untuk mengawal pelaksanaan PILKADES agar dapat berjalan dengan jujur dan adil.
Oleh karena itu, panitia harus benar-benar netral dalam menjalankan tugasnya. Dia tidak boleh membuat keputusan dan kebijakan yang merugikan salah satu calon. Namun, boleh saja, bahkan suatu keniscayaan, apabila seseorang, termasuk panitia, mempunyai aspirasi politik terhadap salah satu calon. Tapi memberikan dukungan langsung dan terlibat dalam sebuah proses kegiatan salah satu calon merupakan pengkhianatan terhadap tugasnya. Dalam konteks ini aparat desa dan BPD berada dalam posisi yang sama (netral). Demikian undang–undang telah mengamanatkan kepada mereka.
Tokoh Masyarakat
Siapakah mereka? Orang terpelajar menyebutnya kaum cendekiawan. Dalam konteks masyarakat kita mungkin yang dimaksud dengan kelompok ini adalah mereka-mereka yang ditokohkan atau dituakan dalam masyarakat, seperti kiai dan ustadz. Tapi terkadang mereka adalah sekelompok pemuda yang sadar akan tanggung jawab sosialnya serta consern dengan problem masyarakatnya, termasuk PILKADES. Yang pasti mereka adalah penjaga dan penyuluh moral. W.S. Rendra menyebutnya sebagai “orang-orang di atas angin”, karena mereka berbicara atas prinsip objektivitas, kejujuran dan hati nurani, bukan kepentingan penguasa dan kelompok, apalagi atas kepentingan pribadi. Karena, sifat kritisisme yang dimiliki, mereka sering berdiri vis-a-vis dengan penguasa. “yang tinggal di angin akan selalu tinggal di angin, bukan dalam lingkaran teras kekuasaan”. Karenanya orang-orang ini semakin hari semakin langka keberadaanya.
Dalam PILKADES mereka tidak pernah mau terlibat dalam dukung mendukung salah satu calon. Tugasnya adalah memberikan bimbingan dan pencerahan kepada masyarakat bahwa pilkades itu penting dan merupakan bagian dari tanggung jawab sebagai warga masyarakat. Mereka tidak menyebut nama calon, tapi mereka selalu terpanggil untuk berbicara dan mengarahkan masyarakat tentang prinsip-prinsip sebuah kepemimpinan, tentang nilai-nila, tentang harapan dan cita-cita.Walaupun karena dalam kondisi terpaksa terkadang harus turun tangan, mereka tidak pernah ke luar dari prinsip-prinsip nilai yang diyakininya, bukan karena berharap agar mendapatkan keuntungan pribadi, apalagi uang dan jabatan.
Golput
Golongan Putih atau Golput adalah mereka yang secara sadar tidak menggunakan hak pilihnya dalam pemilihan. Sikap ini diambil karena sistem dan calon dianggap tidak ada satu pun yang mampu mewakili prinsip demokrasi dan kepemimpinan yang ideal.
Pada masa orde baru galput sangat keren dan trend. Golput merupakan pilihan yang sangat prestisius sebagai wacana tanding atas tafsir hegemonik politik orde baru. Banyak kalangan intelektual kampus yang mendeklarasikan pilihannya kepada Golput. Saya pun dulu merasa bangga menjadi Golput. Fenomena ini merupakan salah satu bentuk perlawanan terhadap rezim Soeharto yang represif dan diktator kala itu.
Tapi sekarang zaman sudah berubah. Kran demokrasi sudah dibuka. Setiap orang sudah bisa berbicara dan berpendapat. Golput pun akhirnya dianggap sebagai sikap eskapisme atau pelarian dari tanggung jawab. Untuk itu dalam Pemilihan Kepala Desa, 11 Juni 2013 nanti, masyarakat sebaiknya tidak lagi memilih Golput. Namun, demikian Golput sebagai sikap pribadi, tetap merupakan pilihan yang harus dihormati.
Epilog
Pilkades sudah di depan mata. Genderang pun sudah ditabuh. Mari kita sambut pesta demokrasi PILKADES 2013 tahap II di Pulau Bawean dengan senang hati dan penuh harapan. Kita songsong langit esok yang lebih cerah. Buktikan bahwa kita masih punya mimpi tentang Desa dan kepemimpinan. Jangan biarkan kekuasaan diberikan kepada sembarang orang, karena “kekuasaan tidak punya hati nurani”, “hands have no tears to flow”, demikian kata Max Dellon seperti yang kami kutip di awal tulisan ini. Percayalah, bahwa PILKADES itu Kita yang Menentukan. (wallhua’lam)