Media Bawean, 18 Juni 2013
Menyelami Misteri Malam Nishfu Sya’ban
Antara Tradisi dan Keyakinan
Oleh : Sugriyanto
Guru SMAN I Sangkapura
Gelar “Syahrul Hurum” atau bulan-bulan mulia dalam Islam desematkan kepada empat nama bulan yakni bulan Dzul Qaidah, Dzul Hijjah, Muharram, dan Rajab.(Ket: H. Baidawi). Mengenai keterangan tentang nama bulan Sya’ban dapat dicari dengan cermat berdasarkan akar katanya. Dari Yahya bin Mu’adz bahwa dia berkata: “Sesungguhnya di dalam kata “Sya’ban” mengandung lima huruf, yang masing-masing huruf itu merupakan singkatan anugerah kepada orang-orang beriman. “Syiin kepanjangan kata syairafun wa syafa’atun artinya kemuliaan dan pertolongan; ain kepanjangan kata izzatun wa karamatun artinya keperkasaan dan keutamaan; baa-un kepanjangan kata birrun artinya kebaikan; alifun kepanjangan kata ulfatun artinya rasa kasih sayang; nuunun kepanjangan kata nuurun artinya cahaya.
Bila diartikan dengan bebas kata Sya’ban bisa bermakna bulan yang penuh kemuliaan dan pertolongan serta keperkasaan dan keutamaan berupa kebaikan dan kasih sayang yang terus bercahaya atau bersinar. Masih dalam kitab yang sama Rasulullah Muhammad SAW. bersabda yang artinya demikian: “Tahukah kamu sekalian, mengapa dinamakan bulan Sya’ban? Mereka menjawab : Allah dan Rasulnya Maha Mengetahui. Beliau (Rasulullah SAW.) bersabda: “Karena di dalam bulan itu bercabanglah kebaikan yang banyak sekali.” (Raudhatul Ulama).
Antara Tradisi dan Keyakinan
Oleh : Sugriyanto
Guru SMAN I Sangkapura
Gelar “Syahrul Hurum” atau bulan-bulan mulia dalam Islam desematkan kepada empat nama bulan yakni bulan Dzul Qaidah, Dzul Hijjah, Muharram, dan Rajab.(Ket: H. Baidawi). Mengenai keterangan tentang nama bulan Sya’ban dapat dicari dengan cermat berdasarkan akar katanya. Dari Yahya bin Mu’adz bahwa dia berkata: “Sesungguhnya di dalam kata “Sya’ban” mengandung lima huruf, yang masing-masing huruf itu merupakan singkatan anugerah kepada orang-orang beriman. “Syiin kepanjangan kata syairafun wa syafa’atun artinya kemuliaan dan pertolongan; ain kepanjangan kata izzatun wa karamatun artinya keperkasaan dan keutamaan; baa-un kepanjangan kata birrun artinya kebaikan; alifun kepanjangan kata ulfatun artinya rasa kasih sayang; nuunun kepanjangan kata nuurun artinya cahaya.
Bila diartikan dengan bebas kata Sya’ban bisa bermakna bulan yang penuh kemuliaan dan pertolongan serta keperkasaan dan keutamaan berupa kebaikan dan kasih sayang yang terus bercahaya atau bersinar. Masih dalam kitab yang sama Rasulullah Muhammad SAW. bersabda yang artinya demikian: “Tahukah kamu sekalian, mengapa dinamakan bulan Sya’ban? Mereka menjawab : Allah dan Rasulnya Maha Mengetahui. Beliau (Rasulullah SAW.) bersabda: “Karena di dalam bulan itu bercabanglah kebaikan yang banyak sekali.” (Raudhatul Ulama).
Menyoal tradisi malam Nishfu Sya’ban yang dirayakan secara semarak dan bersahaja dengan berbagai prosesi ritual keagamaan memberikan nuansa tersendiri. Ritual itu bernilai eksotik dan menarik perhatian untuk dikaji lebih dalam munculnya tatacara perayaan malam Nishfu Sya’ban yang jatuh pada malam 15 Sya”ban (purnama) itu. Senyampang sekadar sebuah tradisi perlu kiranya landasan tradisi tersebut. Di dalam buku saku atau buku putih berjudul “Aswaja An-Nahdliyah” terbitan PWNU Jawa Timur yang diterbitkan Khalista Surabaya pada halaman 31 ditegaskan dengan gamblang bahwa:
“Kehidupan tidak bisa dipisahkan dengan budaya. Itu karena budaya adalah kreasi manusia untuk memenuhi kebutuhan dan memperbaiki kualitas hidupnya. Karena itu, salah satu karakter dasar dari setiap budaya adalah perubahan yang terus-menerus sebagaimana kehidupan itu sendiri. Dan karena diciptakan oleh manusia, maka budaya juga bersifat beragam sebagaimana keragaman manusia.”
Namun, dengan berpegang pada prinsip mempertahankan kebaikan warisan masa lalu dan mengkreasi hal baru yang lebih baik. Kaidah ini menuntun untuk memperlakukan fenomena kehidupan secara seimbang dan proporsional. Senada dengan tradisi atau budaya DR. R. Soekmono dalam buku Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia1 menegaskan bahwa pada hakikatnya kebudayaan itu mempunyai dua segi, bagian yang tidak dapat dilepaskan hubungannya satu sama lain yaitu:
a. Segi kebendaan, yang meliputi segala benda buatan manusia sebagai perwujudan dari akalnya. Hasil-hasil ini dapat diraba,
b. Segi kerokhanian, terdiri atas alam pikiran dan kumpulan perasaan yang tersusun teratur. Keduanya tidak dapat diraba, hanya penjelamaannya saja yang dapat dipahami dari keagamaan, kesenian, kemasyarakatan dan sebagainya. (1991:9)
Bagaimana dengan tradisi atau budaya (baca: kebiasaan) warga di Pulau Bawean
Kabupaten Gresik melakoni ritual memasuki malam Nishfu Sya’ban? Menjelang magrib warga Pulau Bawean disibukkan dengan mempersiapkan hidangan makanan berupa nasi dengan segala lauk pauknya plus amok-amok (kudapan, cuci mulut) yang disajikan di baki (baca: Bawean-talam) untuk disuguhkan sesudah acara pembacaan surat Yasin tiga kali dengan ditutup doa Nishfu Sya’ban. Biasanya semua anggota keluarga sekitar langgar, mushallah, bahkan mesjid hadir untuk melakukan ritual bersama-sama. Memang beda dusun beda cara tentang suguhan atau “angkatan” atau “bherkat”-nya. Lain ladang lain belalang. Hanya masalah ritual keagamaannya relatif sama. Tentu semua itu dilakukan setelah shalat maghrib berjamaah. Sebagai pegangan agar pembacaan surat Yaa siin sampai pada maksudnya tidaklah berlebihan bila disitirkan fadilah pembacaan surat Yaa Siin yang termaktub dalam kitab Himpunan Fadlilah Amal karya Maulana Muhammad Zakariyya Al-kandahlawi r.a. yang diterjemahkan oleh Ustadz A. Abdurrahaman Ahmad dkk bahwa banyak riwayat yang menjelaskan tentang fadhilah surat Yaa Siin, salah satunya menyebutkan bahwa segala sesuatu mempunyai hati, dan hati Al-Qur’an adalah surat Yaa Siin.
Allah SWT telah membacakan surat Thaaha dan surat Yaa Siin seribu tahun sebelum penciptaan langit dan bumi. Di dalam kitab Taurat (kitab Nabi Musa) surat Yaa Siin dinamakan “Mun’imah” karena ia membawa kebaikan dunia dan akhirat dan menjauhkan kesusahan dunia dan akhirat. Surat Yaa Siin juga dinamakan “Rafi’ah Khaafidhah” yaitu mengangkat derajat orang-orang mukmin dan merendahkan derajat orang-orang kafir. Rasulullah bersabda
1. Barang siapa membaca yaa siin ia akan diampuni
2. Barang siapa membacanya ketika lapar ia akan dihilangkan kelaparannya
3. Barang siapa membaca yaa siin ketika tersesat di jalan ia akan kembali menemukan jalannya.
4. Barang siapa membaca karena kehilangan hewannya ia akan mendapatkannya kembali.
5. Jika dibacakan kepada orang yang akan meninggal dunia akan dimudahkan matinya.
6. Dan jika membacakan pada wanita yang sulit melahirkan, wanita itu akan mudah melahirkan.
Masih banyak fadhilah atau keutamaan dari surat Yaa Siin (2006:62).
Senada dengan hal di atas Moh.Abdoi Rathomy dalam buku Penuntun Khutbah Komplit terdapat beberapa hal yang perlu dimaklumi mengenai Nishfu Sya’ban atau pertengahan bulan Sya’ban ialah :
1. Turunnya Allah Ta’ala ( Rahmat-Nya) pada malam Nishfu Sya’ban, yaitu sebagaimana yang disabdakan oleh Rasulullah SAW. demikian artinya :
“ Sesungguhnya Allah Ta’ala (Rahmat-Nya) itu turun pada malam Nishfu Sya’ban ke langit dunia, Ia mengampuni (kepada hamba-hamba-Nya) lebih banyak hitungannya daripada rambut/ bulu binatang yang dimangsa oleh anjing”
(Diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Tirmidzi, dan Ibnu majah dari Sayyidah Aisyah r.a)
2. Membaca surat Yaa Siin tiga kali dan doanya sekali , sebagaimana yang lazim berlaku, itu baik saja diamalkan. Ini disebutkan dalam kitab “Asnal Mathalib” karangan Syekh Muhammad bin Sayyid Darwisy yang artinya demikian:
“ Adapun membaca surat Yaa Siin pada malam Nishfu Sa’ban sesudah maghrib dan berdoa dengan doa yang masyhur itu adalah dari penertiban oleh kebaikan, ada yang mengatakan bahwa beliau itu ialah Imam Al-Buni yaitu sesuatu yang dari dirinya sendiri dan tidak apalah mengamalkan yang sebagaimana yang demikian itu,”
3. Adapun shalat Nishfu Sa’ban (malam pertengahan bulan Sya’ban) yakni shalat sunnah yang diniatkan khusus karena datangnya malam Nishfu Sya’ban itu termasuk bid’ah yang buruk (qabihah) dan tidak boleh mengamalkan, sebagaimana yang tersebut dalam kitab “Fathulmu’in” demikian artinya
“Adapun shalat raghaib (pada malam Jumat pertama dalam bulan Rajab) , shalat Nishfu Sya’ban dan shalat hari Asyura maka semuanya itu adalah bid’ah yang buruk.”
Maka itu jangan sekali-kali mengamalkannya karena bid’ah qabihah sebagaimana di atas itu tersesat.
Sebagaimana sabda Rasulllah Muhammad SAW dalam haditsnya yang artinya demikian:
“Semua kebid’ahan (yang buruk) itu tersesat, dan semua kesesatan itu di dalam neraka.” (Hadits ini dianggap shaheh oleh Imam Tirmidzi dan lain-lain).
Bulan Sya’ban dapat dikatakan bulan mulia sesuai dengan hadits Nabi Muhammad SAW. yang artinya demikiasn:
“Keutamaan bulan Sya’ban melebihi bulan-bulan lain adalah seperti keutamaan saya (Nabi Muhammad SAW.) melebihi nabi-nabi yang lain, sedangkan keutamaan bulan Ramadhan melebihi bulan-bulan lain adalah keutamaan Allah Ta’ala melebihi semua hamba-Nya.”
Senada pula dengan hadits yang diriwayatkan Sayyidah Aisyah, r.a. demikian artinya:
“Saya (Sayyidah Aisyah, r.a) belum pernah melihat Rasulullah SAW. menyempurnakan puasa sebulan penuh, melainkan dalam bulan Ramadhan dan saya (Sayyidah Aisyah, r.a.) belum pernah melihat beliau (Rasulullah Muhammad SAW) banyak berpuasa dalam sesuatu bulan (tetapi tidak sebulan suntuk) lebih dari bulan Sya’ban.” (Diriwayatkan oleh imam Bukhari dan Muslim).
Sahabat Usamah bin Zaid, r.a. pernah meminta keterangan kepada Rasulullah Muhammad SAW. mengapa kerap kali berpuasa dalam bulan Sya’ban itu?
Lalu Beliau (Rasulullah Mhammad SAW.) menjawab:
“itu adalah bulan yang dilupakan oleh para manusia, yakni bulan Sya’ban yakni yang terletak di antara bulan Rajab dan Bulan Ramadhan. Dalam bulan itulah (Sya’ban) diangkatnya semua amal perbuatan makhluk kepada Allah seru sekalian alam, maka saya (Rasululah Muhammad SAW.) senang sekali kalau amal-amal diangkat sedang saya (Rasulullah Muhammad SAW.) dalam keadaan berpuasa.” (Diriwayatkan oleh Imam Abu Daud dan Nasa’i serta dishahihkan oleh Ibnu Khuzaimah).
Nah, bagaimana dengan tradisi menimba air sumur di tengah malam atau sesudah shalat isya?” Apa rahasia yang masih menjadi misteri hingga saat ini? Perlu dicari tahu hal-hal yang mengisahkan tentang kejadian aneh dan diluar jangkauan kemampuan akal manusia. Bahkan orang tua-tua sering kali memberikan petatah-petitih kepada anaknya di kala memasuki malam Nishfu Sya’ban untuk menengok air sumur di tengah malam itu. Kejadian luar biasa itu berupa sebuah pernyataan yang perlu dibuktikan kebenarannya yakni air sumur mendidih (bukan panas) melainkan ngalkal menggelembung-gelembung. Rahasia atau misterinya akan tersingkap kemudian. Apa sebenarnya filoshofi dari mengambil air sumur di tengah malam hingga bila perlu mengambil atau menimba dari 7 (tujuh) sumur di sekitar rumah tetangga. Maksud dari penimbaan air 7 (tujuh) sumur di malam hari tak lain dan tak bukan sebagai simbol atau perlambang adanya rasa kebersamaan yakni take and give sesama tetangga. Rasa persatuan dan kebersamaan yang harus tetap dibina dan diusahakan. Termasuk adanya unsur pendidikan orang tua kepada anaknya bahwa rezeki harus dikasyab, ikhtiar dengan usaha untuk mendapatkannya. Biasanya air sumur yang ditimba dibawa dengan tempat yang namanya gerabah atau tembikar terbuat dari tanah liat yang sudah dibakar, bentuknya menyerupai buah labu ukuran besar yang mulut lubangnya mengangah ke atas persis mulut manusia saat memoncongkan diri ke atas langit dengan leher mulut kurang lebih setengah jengkal jari orang tua. Namanya labu kolak (red: kolek) Warga Pulau Bawean menamakan alat pengangkut air itu dengan sebutan bhujung. Menurut kepercayaan atau keyakinan warga Pulau Bawean pertemuan air 7 (tujuh) sumur dalam satu guci (baca: Ghentong) itu memeberikan berkah sebagai obat dari segala macam penyakit karena air yang diambil belum tersentuh bahan kimia. Jadi benar-benar air tanah yang belum terkontaminasi. Biasanya pengambilan air itu dilakukan anak-anak perempuan terutama gadis-gadis belia yang cantik jelita.(Penuturan Bunda Fathanah staf tata Usaha SMA Negeri 1 Sangkapura).
Jangan sampai kehilangan “tongkat” sebagai pegangan dalam menguak tabir misteri mendidihnya air sumur di tengah malam bulan Nishfu Sya’ban. Orang tua-tua lewat petuah menuntut anaknya menyelami sendiri misteri apa yang terjadi dan dari mana sumber kebenaran itu? Setelah ditelusuri melalui kegiatan tilik pustaka dengan membongkar-bongkar buku yang sekira memiliki relevansi akhirnya ditemukan juga literatur yang sedikit agak mendekati kebenaran. Proses penyellekan (baca: disellek) laksana orang perempuan mencari kutu rambut di kepala akhirnya bertemu dengan sebuah kitab berjudul “Durratun Naasihiin, Mutiara Muballigh” yang dituls oleh Utsman bin Hasan bin Ahmad Asy-Syakir Al-Khaubiyyi pada halaman 69 dikisahkan dari riwayat Anas bin Malik dari Rasulullah Muhammad SAW. bersabda yang artinya kurang lebih sebagai berikut.
“Sesungguhnya Allah Ta’ala telah menciptakan air laut dari sinar di bawah arsy, kemudian menciptakan satu malaikat yang mempunyai dua sayap, satu sayapnya di timur dan satu sayapnya yang lain di barat, sedang kepalanya di bawah arsy dan dua kakinya di bawah bumi yang ketujuh. Apabila seorang hamba membaca shalawat untuk saya (Nabi Muhammad SAW) di bulan Sya’ban, maka Allah Ta’ala menyuruh malaikat itu agar menyelam di air “Hidup” . Malaikat itu pun menyelam , kemudian keluar dari dalam air serta mengibas- ngibaskan sayapnya sehingga berteteslah air di bulunya, tetesan air yang banyak sekali. Maka Allah Ta’ala menciptakan dari tiap-tiap tetes air itu akan satu malaikat yang memohonkan ampun baginya (orang yang membacakan shalawat) sampai hari kiamat.” (Zubdatul Waa’ izdiina).
Terjawab sudah kenapa harus mengambil di 7 (tujuh) sumur dan kenapa air sumur seperti mendidih keadaannya.
Apakah misteri hanya itu saja? Masih terdapat tradisi unik dan menarik lagi yang dilakoni warga Plau Bawean setelah acara pembacaan Yaa Siin dan doa di tempat-tempat ibadah yang tidak kalah menariknya dari tradisi di atas. Pada tengah malam bulan Nishfu Sya’ban warga Pulau Bawean tua muda bahkan sampai yang “ngolngol” alias ompong dan “kelpong” bin peot dengan rambut penuh beruban tidak mau ketinggalan melakukan kegiatan “ngalab berkah” dengan begadang di malam hari. Di zaman dahulu (Bawean: tapongkor, enje’enna) sebagian warga Pulau Bawean begadang di tengah malam Nishfu Sya’ban dengan berjalan kaki paling pol naik sepeda onthel beramai-ramai menuju pantai (red: tasek). Konon kepergian warga Pulau Bawean berbondong-bondong begadang ke tepi tasek atau laut (pantai) di tengah malam Nishfu Sya’ban sekadar hendak bersua dengan Nabi Khaidlir, AS yang terkenal dengan kealimannya melebihi Nabi Musa, AS. Sungguh masuk akal dan tidak sesat anggapan seperti itu bila dikaitkan dengan tarekh dari Ibnu Katsir yang berjudul “Kisah Para Nabi”. Amat perlu kiranya dinukilkan peristiwa pertemuan Nabi Musa, AS dan Nabi Khidir, AS menurut Ibnu Abbas dari rasulullah Muhammad SAW. bersabda:
Sesungguhnya Musa,AS pernah berdiri sembari memberikan ceramah kepada kaumnya yakni kaum Bani Israil, lalu Musa,AS ditanya, “Siapakah orang yang paling banyak berilmu?” Musa,AS menjawab “Aku.” Maka Allah mencelanya, karena Ia (Musa,AS) belum diberi ilmu oleh-Nya. Lalu Allah Ta’ala mewahyukan kepada Musa, AS “Sesungguhnya Aku (Allah Ta’ala} mempunyai seorang hamba yang berada di pertemuan dua laut lebih berilmu daripada dirimu.” Musa,AS berkata “Ya Tuhanku, bagaimana aku bisa menemuinya?” Dia (Allah Ta’ala) berfirman “Pergilah dengan membawa seekor ikan besar, dan letakkanlah ia di tempat penimbunan. Di mana ikan itu hilang, maka di situlah Khaidir,AS itu berada.” (2008:456).
Terang sudah perihal keberadaan Nabi Khidir, AS yang semula hanya sekadar cerita lisan yang tidak ditemukan juntrungnya, kini menjadi jelas kisahnya. Bahkan dalam kitab yang sama Ibnu Katsir mengurai dengan rinci dialog antara Nabi Musa, AS dengan Nabi Khidir, AS mengenai perahu yang ditenggelamkan beserta penumpang dan isinya, anak kecil tak berdosa yang dibunuh dengan dicabut kepala dari lehernya oleh Nabi Khaidir,As, serta menegakkan dinding rumah yang miring milik anak yatim tanpa meminta imbalan menjadi pengalaman berarti bagi Nabi Musa, AS bahwa kealiman Nabi Khidir,AS melebihi dirinya (Nabi Musa, AS).
Peristiwa “begadang” itu pernah dilakukan oleh Imam Al Buni dengan cara wiridan panjang sehabis shalat Isya’. Dikhawatirkan diri dan santrinya mengantuk akhirnya Imam Al Buni wiridan sambil berjalan menuju pantai yang diikuti oleh para santrinya. Ini mungkin yang mentradisi di Pulau Bawean. Namun sedikit beda cara. Di tepi pantai bukan sekadar duduk atau santai pada malam Nishfu Sya’ban melainkan dilanjutkan secara bergerombol atau rombongan menyewa Jhukong, sampan, dan perahu milik warga pesisir untuk melarungkan diri ke tengah lautan agar benar-benar bisa bertemu dengan Nabiullah Khidir, AS. Sungguh menyenangkan berdayung sampan di tengah lautan yang airnya penuh pendaran cahaya bulan yang berkilau laksana mutiara atau ratna mutu manikam (Koes Plus). Kegembiraan dan kesenangan warga Pulau Bawwean menjadi keterusan dalam rumbai ombak dan gelombang laut yang berupa riak-riak kecil tak hendak menyegerahkan pulang. Apalagi peristiwa ini dialami hanya sekali dalam setahun tentu ingin berlama-lama dan berpuas-puas menikmati malam Nishfu Sya’ban.
Sebelum tulisan ini ditutup alangkah berartinya bila ditegaskan kembali kepada warga Pulau Bawean agar berhati-hati dalam menyikapi adanya bentuk ibadah yang tidak bersumber dari Al-Qur’an dan Al-Hadits atau yang tidak pernah dilakukan oleh Rasulllah Muhammad SAW seperti keterangan bid’ah di atas untuk tidak dilaksanakan. Ganti saja dengan “Qiyamul lail” atau shalat sunnat Tahajjud atau shalat sunnat lainnya yang disunnahkan. Sehingga berkah dan rahmat malam Nishfu Sya’ban benar-benar menjadi hak warga Pulau Bawean serta umat Islam di dunia pada umumnya. Sudah menjadi kemahfuman bersama bahwa ketiga bulan yang menjadi Syahrul Hurum itu telah diterangkan yakni bulan Rajab kesempatan membersihkan badan atau tubuh dengan memohon ampun dari segala dosa, bulan Sya’ban kesempatan membersihkan hati dengan memperbaiki hati dari segala macam cela dan bulan Ramadhan kesempatan menyucikan jiwa (roh) dengan lailatul Qadar untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT menuju jiwa kembali suci (fitrah) (Zubdatul Waa”izdiina:77).
Seiring dengan perkembangan zaman dan berubahnya segala macam kebiasaan setelah masuknya berbagai macam kemajuan dan teknologi tradisi itu hampir lenyap ditelan derasnya arus globalisasi. Malam Nishfu Sya’ban dibingarkan dengan dentum mercon dan deruh kenalpot sepeda motor yang tidak ditemukan sedikitpun nilai-nilai ritual keagamaannya. Haruskah generasi penerus melenyapkan tradisi yang masih memiliki nilai kebaikan dibandingkan dengan letupan mercon dan gemuruh kenalpot sepeda motor? Orang tualah yang bisa menyangoni benak para generasi penerus dengan menanamkan tradisi agar tetap tumbuh bersemayam di lubuk anak-anak muda. Ibu-ibu di dapur pun kehilangan dendang romantisnya tatkala memasak nasi ubi kayu yang dipasak (diparut kasar-kasar) menjelang subuh. Sudah tidak terdengar kembali senandung untaian karmina nan elok dan indah “Sak-sak benan, pasak-pasak ka abenan!”