Peristiwa    Politik    Sosial    Budaya    Seni    Bahasa    Olahraga    Ekonomi    Pariwisata    Kuliner    Pilkada   
adsbybawean
Home » » Kemerdekaan Cinta
Filosofi Menuju Masayarakat Madani

Kemerdekaan Cinta
Filosofi Menuju Masayarakat Madani

Posted by Media Bawean on Sabtu, 17 Agustus 2013

Media Bawean, 17 Agustus 2013 

Oleh : Sugriyanto 
(Dosen STAIHA-Bawean Gresik) 

Empat sekawan kaum penjajah (Portugis, Belanda, Inggris, dan Jepang) kepincut ibu pertiwi Indonesia karena beragam faktor. Faktor yang paling dominan yang menggiurkan “selera” keserakahan dan kebengisan kaum penjajah adalah tanah Ibu Pertiwi yang amat subur dan hasil alamnya yang kaya makmur (baca: bukan Maknur temannya Suleh). Indonesia sebagai negara “gadis primadona” kala itu –yang membentang di garis katulistiwa- menjadi rebutan kaum imperialis di atas. Sebagai “surga” utama di dunia, Indonesia merupakan negeri yang subur serta kaya raya dari sisi sumber daya alam. Sebagaimana yang diabadikan dalam lirik lagu yang melegenda dibawakan oleh Koes Ploes Sperti tergambar dalam untaian lagu berikut ini.

Kolam Susu Bukan lautan
Hanya kolam susu
Kail dan jala
Cukup menghidupimu
Tiada badai
Tida topan kau temui
Ikan dan udang menghampiri
Dirimu
Reff.
Orang bilang tanah kita
Tanah surga
Tongkat kayu dan batu
Jadi tanaman

Siapa yang tidak akan tergila-gila hingga tenggelam dalam “mabuk kepayang” melihat potensi luar biasa yang dimiliki negeri ini. Sebagai rahmat Allah Yang Maha Kuasa patutlah disyukuri. Animo empat sekawan di atas bersaing ketat saling royokan untuk menarik simpati dengan bujuk rayu persuasif yang berujung agresif dengan segala cara penindasan yang masif. Rempah-rempah yang dikandung dalam perut bumi Maluku (baca: bukan Malumu) di wilayah Indonesia bagian timur memancing “berahi” Portugis untuk bercokol lama hendak memborong paksa palawija yang berlimpah ruah di tanah kelahiran Patimura tersebut.

Portugis datang ke Indonesia, awalnya hanya hendak berdagang menukarkan hasil industrinya dengan rempah-remapah. Maluku sebagai tempat pengahasil rempah-rempah terbesar di dunia kala itu menjadi jujukan para pedagang Portugis. Misi ikutan yang menempel pada setiap kaum penjajah adalah usaha untuk menanamkan serta memasarkan ideologinya atau seruan Tuhannya untuk menyebarkan agama yakni agama Kresten Katolik. Belanda juga minta gantian untuk menjajah bumi pertiwi dengan membawa misi dagangnya dalam wadah VOC (Verenigde Oost-Indische Compagnie). Bila hanya sekadar minta gantian menjajah Nusantara tercinta, ternyata kenapa Belanda betah dan amat kerasan menindas rakyat Indonesia yang tidak tahu apa salah dan dosa Bangsa Indonesia hingga dijajah berlama-lama. Bahkan dengan politik etis atau politik balas budi Belanda hendak menetapkan statusquonya. Hampir 350 tahun atau tiga setengah abad lamanya Belanda bercokol dan bercengkrama sepuas-puasnya memperlakukan bangsa ini dengan segala bentuk gerakan paksanya. Ternyata, Tuhan mereka juga menyelipkan pesan agar jangan lupa menyebarkan agama Kresten Protestan di bumi yang pernah diperstukan oleh patih Gajah Mada dengan rajanya Hayam Wuruk di Mojekerto Mojo Pahit. Runtuhnya Mojopahit benar-benar sejarah pahit. Sumpah Palapa yang menjadi sesumber Gajah Madah untuk mempersatukan nusantara tak bertahan lama. Untung saja mantan Presiden Soekarno mencoba mengabadikan peninggalan leluhur itu dalam wujud nama satelit bumi Palapa kebanggaan Indonesia yang mengorbit di 113 derajat di atas garis katulistiwa.Sekadar interupsi Inggris minta jatah tempo untuk merasakan nikmatnya “meniduri” Ibu pertiwi dengan agresinya. Tuhan mereka juga menyentil tentara Inggris agar tidak lupa membawa misi keagamaannya. Benar-benar antara Tuhan dan mereka sudah dekat dan saling mengenal lebih jauh karena semua agama paham bahwa penindasan merupakan tindakan kurang terpuji. Tetap saja mereka melakukannya dengan cara yang dihalalkannya sendiri.

Ketiga bangsa penjajah di atas (Portugis, Belanda, dan Inggris) merupakan keluaran Eropa yang memang kala itu sudah menguasai ilmu dan teknologi lebih mapan. Terutama pengusaan dalam teknologi militer dan peralatan perang. Mungkin saja mereka masih sakit hati atau “dendam” kesumat yang tak akan pernah padam sebelum dapat melampiaskan kepada lawan-lawannya yang telah mengusik agama dan ideologi yang dibawa oleh leluhurnya di Benua paling barat itu. Badri Yatim dalam bukunya “Sejarah Peradaban Islam” melukiskan dengan cerah bagaimana hegemuni kekuasaan Islam hingga merajai seluruh kekuasan di Eropa (Turki, Mesir, Spanyol, Maroko, Tunisia, Mongol atau Tibet, Prancis, bahkan sampai ke anak benua India) semua pernah ditaklukan oleh kerajaan atau hilafah Islamiyah. Namun Tuhan mereka telah menggariskan dengan tegas dalam seruannya yang tertulis dalam kalamnya yang artinya sebagai berikut. “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik...” (QS.an-Nahl 125). Bahkan dalam surat al-Kafirun Tuhan telah menegaskan dengan tegasnya bahwa persoalan agama ini adalah urusan mereka masing-masing. Dapat dikutipkan ayat yang artinya “Untukmulah agamamu, dan untukkulah agamaku” (QS. Al-Kafirun : 6). Sebagai wujud dari hidup penuh kedamaian dan berdampingan dalam kebhinekaan perlu adanya sulakhul atau toleransi universal sesama makhluk ciptaan Tuhan di muka bumi khusunya di bumi tercinta Indonesia.

Berbeda dengan bangsa Jepang (sebutan orang Indonesia kepada Nihong atau Nippon) dan Jepun (sebutan Asia bagian timur) dan Japan (sebutan orang Barat) melakukan tindakan brutalisme dengan serbuan komando angkatan laut dan angkatan udara menyasar ke Pearl Harbor pada tanggal 7 Desember 1941 (Rudi Darmawan: 2005). Akibat “kenekatan” pasukan hara kiri Jepang, Amerika menjadi sangat berang dan tidak terima atas arogansi militer Jepang. Muncullah perang Pasifik antara Amerika dan Jepang. Rupanya Jepang sedikit ketir menghadapi pasukan sekutu yang dikomando oleh Amerika. Tetangga terdekat yang mungkin dapat dipersenjatai atau dijadikan “geng” perang dunia II itu oleh Jepang satu-satunya di kawasan Asia Tenggara adalah rakyat Indonesia. Namun, Tuhan bicara lain. Sekutu lewat pasukan udaranya membom atom kota Naga Saki (baca: Naga artinya panjang dan Saki artinya daratan). Kehancuran kota Nagasaki di Jepang membuat pasukan Jepang bertekuk lutut atau menyerah tanpa syarat kepada sekutu. Hampir dua setengah tahun lamanya Jepang mencicipi kenikmatan hidup di Indonesia dengan gaya hidupnya bermabuk-mabukan dan pemerkosaan yang penuh biadab. Tuhan benar-benar melaknat perilaku Jepang yang memang langsung diganjar atas kesukaan memperkosa wanita-wanita tanpa dosa itu. Hingga saat ini Jepang masih berhutang susila kepada bangsa Indonesia. Jadi tidaklah bersalah bila Presiden Soekarno mempersunting Madam Suga alias Nyonya Dewi berkebangsaan Jepang sebagai istrinya. Siapa suruh?

Kehancuran kota Nagasaki dan Hirosima secara beruntun sudah dikehendaki Tuhan agar Jepang sadar dan “enyah” dari bumi Indonesia. Inggris nekat juga melancarkan aggresi militer pertamanya mengambil kesempatan dalam kesempitan sebelum deklarasi kemerdekaan Indonesia. Sumpah Pemuda yang sudah dideklarasikan bersama semakin memantapkan tegaknya persatuan dan kesatuan menuju Indonesia merdeka. Penulis bertanya-tanya kenapa setiap ada gerakan sekecil apapun di Indonesia yang dijadikan kambing hitam selalu dianggap interfensi asing khususnya Amerika. Padahal negeri paman Syam itu secara tidak langsung dikehendaki Tuhan untuk menghancurkan Jepang. Seandainya kita benar-benar kenal (ma’rifat) dengan Tuhan, maka Tuhan akan berbisik bahwa sekutu digerakkan untuk menumpas habis Jepang. Bahkan bangsa ini tahu bahwa Amerika dalam catatan sejarah belum pernah “menggoda” atau rencana menjajah bangsa Indonesia. Atau mungkin Amerika diam-diam bersifat hipokrit terhadap dunia Islam alias bermuka dua. Pasukan perdamaian kedok utamanya dengan menghancurkan Irak dan sohib-sohibnya alasan kemanusiaan sementara Israel yang membabi buta mengganyang Palestina dianggap soal biasa bahkan dipasok peralatan perang yang super canggih. Barang kali saat ini Tuhan belum menunjukkan sikap takaburnya terhadap negara adi daya itu untuk diluluh lantakkan sama rata dengan tanah. Tunggu tanggal mainnya (TTM).

Bila kita berjalan lewat suluk syariat atau hukum mungkin tidak akan pernah terjadi perang dunia ke III karena dianggap bertentangan dengan hukum Human Right, asal semua bangsa di dunia mau melakkan tarekat persatuan unuk mencapai hakikat perdamaian dalam menuju cinta kemanusian atas manunggaling kawulo gusti kenal akan diri dan Tuhan yang telah menciptakan kita semua. Tatkala Tuhan hendak menciptakan makhluk baru yakni Adam, AS, Tuhan berkata kepada Malaikat dalam firmanNya “Sesungguhnya aku hendak menciptakan seorang khalifah di muka bumi.” Lalu mereka (Malaikat) berkata “ Apakah Engkah (Tuhan) hendak menjadikan khalifah di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah (perang dan saling bunuh) , padahal kami senantiasa bertasbih memuji-Mu serta mensucikan-Mu? Kemudian Tuhan memotong “Sesungguhnya aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.” Percakapan antara Tuhan dan malaikat di atas memberikan isyarat kepada kita bahwa manusia hendaknya waspada atau mawas diri agar berpihak kepada pengetahuan Tuhan sehingga apa yang diprediksi oleh malaikat jangan sampai terjadi yakni pertumapahan darah sesama ciptaannya. Tak “dhumathi” alias ndilalah perang di dunia pertama terjadi antara Qabil dan habil.

Sudahkan bangsa Indonesia secara ma’rifat mengenal kemerdekaan yang menjadi haknya? Sebagaimana dalam preambule Undang-Undang Dasar 1945 bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa (tak terkecuali bangsa jin, manusia, dan setan). Setan dengan berbagai cara akan terus menggoda manusia Indonesia lewat kisi-kisi keangkara- murkaan dan menjerumuskan manusia dalam kepentingannya yang abadi. Setan akan terus membisiki ekonom-ekonom neoliberalisme untuk menunda pelunasan hutang luar negeri hingga pelunasannya akan ditanggung anak cucu negeri ini.Bumi dan kekayaan alam dikeruk untuk diangkut ke luar negeri. Kerap kali terjadi penindasan dan penggusuran oleh bangsa dan kaumnya sendiri semisal Satpol PP sebagai alat legitimasi. Setelah pansiun atau menjelang kematiannya akan menjadi bayangan buruk dan penyesalan atas luapan emosi yang “mentolo” mengerasi bangsa sendiri di kala masih gagah dengan seragam yang dibeli lewat uang rakyat. Siapa sejatinya pemilik syah Republik ini? RT, Lurah, Camat, Bupati, Gubernur, atau Presiden? Atau memang milik bersma? Tuhan hanya memberi hak untuk menempati bumi ini dengan damai agar tidak saling berebut. Tidak ada sertifikat resmi dari langit yang melegitimasi kepemilikan bumi. Tuhan cukup menitipkan dengan aturan-aturan yang sudah ditetapkan.Kapan kita bisa merdeka dalam cinta kepada Sang Pencita jika harus dalam bayang-bayang bangsa lain? Yang lebih kejam lagi dari kompeni atau penjajah kehadiran para koruptor di bumi pertiwi ini. Termsuk bidang politik yang masih saling cekik. Mereka belum ma’rifat terhadap Tuhannya. Mereka menggap Tuhan lengah atau tidak melihatnya saat memasukkan uang negara ke koper miliknya. Atau mungkin mereka membutakan diri mata hatinya.

Ibu Fatmawati menjahit pusaka merah putih penuh semangat karena usaha untuk mengibarkan bukan sekadar digerek di tiang bendera dengan iringan lagu kebangsaan, melainkan melaui proses perobekan bendera lain yang mendahului kibarannya. Tetesan darah mengabadi dalam warna bendera pusaka sebagai simbol atau perlambang keberanian bangsa ini waiau darah taruhannya. Kesucian hati para pejuang dalam merebut haknya sebagai bangsa yang beradab tercermin dari warna putihnya. Hampir di setiap jengkal tanah di bumi pertiwi saat ini berkibar bendera kebangsaan kita. Menandakan eksistensi bangsa ini yang benar-benar merdeka, walau ada saja gerakan separatis yang sudah tidak sejalan lagi dengan semangat persatuan. Merdekanya belum ma’rifat karena masih lebih mengutamakan rasa kedengkian dan kebencian tanpa adanya cinta sebagai anugerah dari Tuhannya. Bila didasari dengan perasaan cinta kepada Tuhannya, tentu akan melihat bahwa faedah ikutan dari semua itu akan terwujud dalam cinta pada sesama sebagai ciptaan-Nya.

Kemerdekaan bangsa ini akan menuju kemerdekaan yang amat tinggi mutunya setelah kita mengenal siapa sebenarnya yang memberikan kemerdekaan ini. Para syuhada;, pahlawan dan pejuang nasional benar-benar kaum ma’rifat karena semua yang telah dicapai lewat perjuangan dan doa ini adalah atas berkat rahmat Allah. Bukan hadiah atau pemberian dari bangsa lain. Akhirnya, bila kemerdekaan dalam kema’rifatan ini benar-benar dikenal maka akan tercapai tujuan masyarakat madai yakni negeri yang beradab dalam pergaulan dunia di bawah naungan hukum kesemestaan. Bangsa yang beradab ini mencoba mengusung tema tahun 2013 dalam rangka merayakan kemerdekaan Republik Indonesia yang ke 68 yakni “Dengan Semangat Proklamasi 17 Agustus 1945, Mari Kita Jaga Stabilitas Politik dan Pertumbuhan Ekonomi Kita Guna Meningkatkan Kesejahteraan Rakyat.” Sejatinya bangsa ini tetap bersama serentak dari Sabang hingga Meraoke memekikkan kata Merdeka...! Merdeka...!Merdeka...!

SHARE :
 
Copyright © 2015 Media Bawean. All Rights Reserved. Powered by INFO Bawean