Peristiwa    Politik    Sosial    Budaya    Seni    Bahasa    Olahraga    Ekonomi    Pariwisata    Kuliner    Pilkada   
adsbybawean
Home » » Pulau Bawean di Sarang Penyamun

Pulau Bawean di Sarang Penyamun

Posted by Media Bawean on Minggu, 01 September 2013

Media Bawean, 1 September 2013

Oleh : HASSAN LUTHFI


Pada novel Anak Perawan di Sarang Penyamun karya Sutan Takdir Alisyahbana, terdapat sebuah klimaks, yaitu ketika segerombolan penyamun yang dipimpin Medasing merampok dan membunuh keluarga saudagar Haji Sahak serta menyekap anak perawannya yang bernama Sayu. Akibat penyandraan itu telah membuat Sayu terbelenggu, terpisah dari kedua orang tuanya hingga tersiksa lahir bathinnya.

Apa yang dirasakan oleh Sayu adalah suatu bentuk penjajahan yang berupa fisik dan psikis. Setiap penjajahan apapun bentuknya tentu akan mengakibatkan penderitaan, baik itu yang akan timbul dikemudian hari atapun yang dirasakan langsung seperti yang dialami oleh Sayu. Bila dianalogikan dengan kondisi di Pulau Bawean saat ini, boleh dikatakan sebagian besar warga Bawean hampir bernasib sama dengan Sayu kala sedang berada di sarang penyamun, yang telah terjajah dan kehilangan berbagai hak-hak kemerdekaannya.

Sesungguhnya kemerdekaan ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu maka penjajahan diatas dunia harus dihapuskan. Kalimat diatas tentu tidaklah asing bagi kita karena selalu didengungkan begitu lantang pada setiap pelaksanaan upacara bendera, dan puncaknya pada saat memperingati hari kemerdekaan RI yang ke 68 kemarin. Namun sayangnya alinea pertama UUD 45 tersebut selama ini hanya dibaca sebatas formalitas semata, sebagai pelengkap kegiatan berpanas-panasan dalam ritual upacara bendera. Adapun implementasinya masih bertolak belakang dengan realitas yang ada.

Sementara itu dalam persepektif Islam sendiri perihal kemerdekaan tertera dari salah satu anjuran Rasulullah untuk memerdekakan budak, yang intinya juga bertujuan membebaskan hak-hak asasi manusia yang terbelenggu. Secara faktual perbudakan seperti di zaman jahiliyah ataupun penjajahan dengan senjata sebagaimana yang dilakukan oleh Belanda dan Jepang tentu sudah tidak ditemukan lagi. Dalam konteks kekinian penjajahan telah bertransformasi ke dalam bentuk ekonomi, politik dan budaya dengan menggunakan ilmu pengetahuan modern.

Wujud penjajahan ekonomi dalam skala besar semisal pendiktean oleh IMF atau bank dunia mungkin terlalu abstrak untuk dirasakan masyarakat Bawean. Namun dampak konkrit dari imperialisme ekonomi tersebut dapat terlihat dengan menyusupnya budaya-budaya kapitalis dalam masyarakat, yang tanpa disadari telah mengikis ideologi Islam yang selama ini merupakan ciri masyarakat Bawean.

Harta dan tahta telah menjadi berhala baru, golongan orang berduit dengan mudah memperalat kekayaannya untuk menjajah hak-hak orang berekonomi lemah. Kemerdekaan terasa hanya dinikmati oleh orang-orang yang bergelimang uang, kedudukan dan kekuasaan. Bukti autentik dari penjajahan tersebut terlihat pada pelayanan transportasi laut yang tidak manusiawi. Demi kepentingan pengusaha kapal yang berduit, rakyat kecil terus menjadi korban. Sering terdampar di emperan-emperan penginapan di Gresik dan diangkut oleh kapal dengan kondisi yang sudah over capacity. Kesengsaraan masyarakat Bawean makin bertambah saat berada diatas kapal, berdesakan dan berserakan padena jhukok pendheng.

Begitupula fenomena pada waktu pengangkatan pegawai negeri sipil. Bagi orang-orang yang tidak memiliki banyak uang dan tidak punya akses dengan penguasa, seringkali dirampas haknya untuk menjadi PNS. Sekalipun mereka lebih qualified (memenuhi syarat) dari sudut masa kerja, IPK dan sebagainya. Kejadian-kejadian seperti ini begitu vulgar dan semakin menciderai rasa keadilan.

Sedangkan bentuk imperialisme dunia politik di Pulau Bawean terindikasi dari perilaku para intelaktual. Golongan orang terpelajar yang diharapkan dapat memberikan pencerahan bagi masyarakat serta meritokrasi dalam arti mendukung pemimpin berdasarkan prestasi dan kemampuannya, justru terlihat banyak “disewa” oleh politikus yang tidak memiliki track record baik. Diperalat untuk menghianati intelektualitas mereka sendiri. Menjelma menjadi predator dengan bersenjatakan kepandaian ilmu pengetahuannya yang telah bermetamorfosa menjadi ilmu tipu daya. Menjajah dengan cara membodoh-bodohi, mengintimidasi, memanipulasi dan memprovokasi pemikiran masyarakat awam.

Ketika penjajahan itu dilakukan oleh saudara bangsa sendiri yang bukan hanya intelek tetapi konon katanya juga Islam kaffah, maka kesan yang timbul adalah ironis dan hipokrit. Berbagai aktifitas yang mereka lakukan dalam mengisi kemerdekaan dengan berlandaskan atribut agama, nyatanya tidaklah lebih baik dari para Agnostik. Apa yang diucapkan oleh Bung Karno kepada generasi muda sesaat setelah memproklamirkan kemerdekaan Republik Indonesia kini mulai teraktualisasi, “Perjuanganku lebih mudah karena mengusir penjajah, tapi perjuanganmu akan lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri.”

Orang berilmu atau para intelek itu seumpama pisau yang bermata dua. Akan bermanfaat bila digunakan untuk kebaikan, dan menjadi mudhorat kala berada ditempat yang salah. Semakin tinggi ilmu pengetahuan yang dimiliki, baik itu ilmu pengetahuan umum apalagi ilmu agama, maka semakin banyak pula yang semestinya disampaikan bukan disembunyikan. Setidaknya mau mengutarakan kebenaran-kebenaran universal kepada keluarga, sanak saudara atau ke masyarakat luas, sesuai dengan kemampuan pribadi masing-masing. Meminjam istilah dari seorang penulis Prancis yang bernama Julian Benda, “dosa besar seorang intelektual bila ia mengetahui kebenaran tetapi ia takut dan tak mau mengungkapkan kebenaran tersebut”.

Bulan kemerdekaan telah berlalu, pekik semu MERDEKA!! sudah hampir tak terdengar lagi. Lekaslah merdeka pulau Bawean, agar terbebas dari pasungan para penyamun intelektual dan bisa merasakan kemerdekaaan yang hakiki. Sebagaimana ending dari cerita Anak Perawan di Sarang Penyamun, dimana tokoh antagonis Medasing kemudian insyaf berubah menjadi orang baik-baik. Membebaskan Sayu dari jerat penderitaan, hingga akhirnya kedua insan itu berjodoh dan menemukan kebahagiaan.

SHARE :
 
Copyright © 2015 Media Bawean. All Rights Reserved. Powered by INFO Bawean