Peristiwa    Politik    Sosial    Budaya    Seni    Bahasa    Olahraga    Ekonomi    Pariwisata    Kuliner    Pilkada   
adsbybawean
Home » » Merubah Kebudayaan

Merubah Kebudayaan

Posted by Media Bawean on Jumat, 01 November 2013

Media Bawean, 1 November 2013

Ali Asyhar : Dosen STAIHA 
dan Wakil Ketua PCNU Bawean 

Budaya adalah karya manusia yang berkelindan dengan masa dan tempat. Beda tempat maka beda budaya dan beda masa juga beda kreasinya. Kata pepatah lain ladang lain belalang lain lubuk lain ikannya. Maka manusia sebagai subjek sejarah berhak mengoreksi, merubah ( mengurangi atau menambah) bahkan menghilangkan budaya yang sudah tidak relevan dengan tempat dan masa kekinian. Contohnya adalah budaya mayarakat Bawean dalam hal resepsi pernikahan, selamatan orang meninggal dan sejenisnya.

BUDAYA YANG BERLEBIHAN

Dalam resepsi pernikahan tiap kampung memiliki tradisi masing-masing. Ada yang sederhana ada pula yang berlebihan. Contoh resepsi yang sederhana adalah resepsi yang digelar di rumah mempelai perempuan dan laki-laki. Setelah itu dilanjutkan dengan mengantar pengantin perempuan ke rumah laki-laki dan sebaliknya. Yang berlebihan adalah bila proses antar mengantar ini dilakukan lebih dari satu kali. Apalagi bila dibarengi dengan melempar-lemparkan uang di jalan. Bukankah itu sedekah? Sedekah bisa dilaksanakan dengan cara yang lebih cantik. Harus diteliti kembali filosofi apa yang mendasari budaya yang berlebihan ini lalu kapan munculnya. Setelah itu di desain ulang budaya baru yang lebih efisien, bermakna dan menghargai waktu. Semua bisa dilakukan dengan jalan musyawarah.

Saat selamatan untuk orang meninggal juga ada yang berlebihan. Memang benar bahwa kirim do’a itu baik. Tapi bila dilaksanakan berlebihan maka hasilnya juga tidak baik. Menyuguhkan makanan untuk orang yang bertahlil itu baik tapi bila sampai memaksakan diri maka menjadi tidak baik apalagi sampai berhutang. Soal waktu juga ada yang tidak baik. Selamatan 3 hari, 7 hari, 40 hari, 100 hari, 1 tahun adalah tradisi yang baik. Tapi bila dilaksanakan pagi hari maka menjadi tidak baik. Kenapa? karena pagi hari adalah waktunya orang berangkat mengajar dan bekerja. Dengan menghadiri selamatan maka menjadikan mereka menunda keberangkatannya ke tempat kerja. Sebaiknya selamatan itu dilaksanakan malam hari atau siang hari.

Di Desa Daun ada proses tranformasi budaya yang menarik. Dulu tahlilan malam pertama, kedua dan ketiga selalu dilaksanakan di rumah duka. Yang terjadi bila yang meningggal adalah orang berada maka yang datang membludak namun sebaliknya bila yang meninggal adalah orang papa maka yang datang sedikit. Akhirnya diadakan rembuk desa yang hasil kesepakatannya adalah tahlilan dilaksanakan bakda isya di masjid dari malam pertama sampai ketiga tanpa hidangan apapun. Kini tercipta tradisi baru yang lebih elok.

Di pulau Rote (Pulau paling selatan Indonesia) ada kejadian serupa. Bila ada orang meninggal atau resepsi pernikahan maka ada tradisi arisan (tu’u) untuk pesta. Biasanya mereka menggelar pesta berhari-hari. Sekali ada orang meninggal maka biaya yang dibutuhkan ratusan juta rupiah. Tak tanggung tanggung kerbau/sapi yang disembelih 10 ekor. Tak peduli kaya atau miskin. Sawah dan ladang bisa terjual demi nama besar keluarga. Muncullah sosok John Barnabas Ndolu yang baru saja diangkat menjadi kepala suku. Ia melihat bahwa 50 % warganya buta huruf dan tidak bersekolah. Banyak orang jatuh miskin akibat tradisi pesta ini. Ia bertekad merubah budaya tersebut secara bertahap. Tantangannya sungguh hebat. Ndolu dikucilkan warganya karena dianggap ingin menghapus adat istiadat. Ia bersikukuh tidak ingin menghapus adat namun ingin mengajak warganya tidak berlebihan. Pesta cukup 10 juta saja sedangkan dana yang lain untuk pendidikan anak-anak pulau Rote. Perjuangan Ndolu tidak sia-sia. Kini pesta pernikahan dan kematian tetap ada namun dengan biaya yang kecil tanpa harus menjual sawah dan ladang. Mendikbud Muhamad Nuh menjadikannya sebagai tokoh pendidikan pulau Rote.

Transformasi budaya dalam hal pakaian juga bisa kita simak dari cara berpakain para santri. Pakaian santri Indonesia adalah baju taqwa, sarung dan songkok. Sedangkan pakaian adat orang Arab adalah berjubah baik laki-laki maupun perempuan. Jubah adalah adat bukan ajaran agama. Orang yang berjubah belum tentu ulama. Di Arab semua orang berjubah mulai dari kuli bangunan sampai raja. Orang islam, Kristen, yahudi maupun atheis juga berjubah. Di Indonesia tradisi ini disesuaikan . Bagian bawah menjadi sarung, bagian atas menjadi baju taqwa sedangkan di kepala dikenakan peci. Kombinasi ini lebih cocok dengan rasa Indonesia yang tropis basah. Sedangkan jubah cocok dengan iklim Arab yang panas dan tandus.

YANG PERLU DIPERTAHANKAN

Di resepsi pernikahan ada budaya yang semestinya dipertahankan yaitu khataman al-Quran bagi kedua mempelai. Kenapa bagus? Karena terkadung maksud supaya pemuda Bawean selalu dekat dengan al-Quran. Kalau tidak bisa mengaji al-Quran maka akan malu saat menikah nanti. Sayangnya tradisi itu mulai memudar. Kini tradisi khataman itu hanya bisa dijumpai di Pulau Bawean pedalaman. Bawean kota sudah meninggalkan tradisi adiluhung ini.

Tradisi lain di Pulau Bawean yang layak dipertahankan adalah penggunaan jam WIS. Hampir di semua pelosok Bawean masyarakat masih teguh menggunakan jam WIS. Ini menunjukkan bahwa Bawean belum lenyap nilai-nilai religinya. Biarlah jam WIB dipakai untuk kantor-kantor pemerintahan dan bank saja. Bahkan akan semakin cantik bila kantor pemerintahan dan bank di Pulau Bawean juga menggunkan jam WIS. Apa buruknya? Jam WIS lebih paten dari pada WIB. Di mana letak patennya? Bila matahari berada di atas kepala berarti jam 12.00 tepat. Bukankah Indonesia sedang mencari karakternya yang hilang?

SHARE :
 
Copyright © 2015 Media Bawean. All Rights Reserved. Powered by INFO Bawean