Peristiwa    Politik    Sosial    Budaya    Seni    Bahasa    Olahraga    Ekonomi    Pariwisata    Kuliner    Pilkada   
adsbybawean
Home » » Tambah Kapal, Tambah Nakal

Tambah Kapal, Tambah Nakal

Posted by Media Bawean on Sabtu, 23 November 2013

Media Bawean, 23 November 2013

Menelisik Percaloan & Kanibalisme Permanen
Oleh : Sugriyanto (Dosen STAIHA- BAWEAN)

Pada zaman tapongkor atau zaman dulu warga Bawean patutlah berbangga hati dengan penjulukan nama Pulau Bawean sebagai Pulau Santri, Pulau Putri, Pulau Rusa, serta penyematan nama lain yang benar-benar bersifat amelioratif. Penyandangan nama-nama bagus tersebut tidak pernah terlepas dari dinamika kehidupan penduduknya sejak dulu hingga zaman kontemporer atau Bawean kekinian. Julukan sebagai Pulau Santri pernah ngetop “menimpa” dengan pretensi betapa besar animo masyarakat Pulau Bawean kala itu untuk menyantrikan putra –putrinya di pondok pesantren. Hampir seantero Nusantara pernah disinggahi dalam petualangan suci untuk menimba habis ilmu-ilmu keagamaan berbasis kitab-kitab kuning atau kitab-kitab gundul tanpa pacul, baik di pondok salaf maupun modern. 

Khususnya menyapu bersih seluruh pondok pesantren yang tumbuh di setiap jengkal tanah Jawa sebagai tempat basis utamanya dalam pengerukan ilmu agama. Tidaklah berlebihan bila kala itu lautan santri terorganisasi dalam wadah mulia ISBARA yakni Ikatan Santri Bawean Rantau. Keberadaan organisasi berbasis pesantren tersebut saat ini laksana ditelan bumi saja. Hampir setiap tahun alun-alun kota Sangkapura menjadi tempat perhelatan akbar para kaum santri dalam kiprahnya sebagai pioner kemajuan dalam segala aspek kehidupan. Kala itu alun-alun tersebut kerap kali menjelma menjadi lautan santri.Memang relevan dan masuk akal sekali gelar Pulau Bawean sebagai Pulau Santri dengan kondisi melubernya jumlah ilmuwan bersendi keagamaan kala itu.

Seiring dengan keberangkatan zaman yang melesat dengan cepat maka mulailah terjadi sedikit pergeseran dinamika kehidupan. Sudah tidak terbendung lagi arus urbanisasi dan gerakan merantau dari kaum lelaki sebagi tulang punggung keluarga untuk menunaikan kewajibannya dengan mencari nafkah bekerja ke luar negeri dan pulau lain di Indonesia. Mereka meninggalkan sementara anak-istri. Benar-benar penghuni Pulau Bawean didominasi oleh para kaum putri atau istri yang sudah menjadi tradisinya ditinggal suami untuk meraup dolar dan ringgit di negeri jiran hingga ke benua lain. Sedikit-demi sedikit tradisi tersebut mulai ditinggalkan dengan memboyong anak-istri ke perantauan (red: Bawean- kapentorot atau penurut). Bahkan setelah sukses mengais rezeki di luar negeri mereka mendirikan usaha di Pulau sendiri yakni di Pulau Bawean. Prinsip akibat kesadaran yang semakin menuakan pola pikir dan kehidupan dengan berpegang pada ungkapan bijak “Lebih baik hujan batu di negeri sendiri daripada hujan emas di negeeri orang”. Meminjam istilah Jawa “Mangan ora mangan kumpul.” Mulailah berimbang jumlah lelaki dan putrinya. Gelar Pulau Putri seperti memudar laksana cahaya benda langit yang lepas ke luar garis edarnya saja. Tiba-tiba mencuat ke permukaan gelar anyar yang disandangkan kepada Pulau Bawean dengan julukan Pulau Rusa. Hal ini sedikit berkorelasi dengan penemuan para peneliti hewan tingkat dunia yang memasukkan spesies Rusa Bawean sebagai hewan spesifik tiada duanya di muka bumi. Bahkan di Kebun Binatang Surabaya terpampang jelas spesies Rusa Bawean dalam berbagai kumunitas rusa, baik dalam negeri maupun manca negara. Pajangan Rusa Bawean banyak menyedot perhatian para pengunjung. Sepertinya pengunjung KBS dibikin penasaran walau hanya dengan bidikan kamera para turis nusantara dan manca negara terkagum-kagum menyaksikan rusa cantik nan molek ramping tubuhnya. Unik dan menarik jenis rusa yang berasal dari Pulau Bawean. Predikat nama Pulau Rusa pun tergerus oleh dahsyatnya dan derasnya kemajuan seperti menyublim saja. Hilang harum dan punah wujudnya terbawa oleh hembusan angin yang lewat entah ke mana. Selanjutnya ditunggu saja gelar apa lagi yang akan dipangkunya setelah mengalami metamorfosis dengan gerak dinamika kehidupan warganya.

Dulu, warga Pulau Bawean berangan-angan dengan utopisnya untuk memiliki dermaga layak guna serta representatif. Sebelumnya sudah ada sebuah dermaga tua peninggalan Belanda di kampung Boom desa Sawahmulya Sangkapura. Seiring pergerakan waktu, lewat sudah wajah “ojung” timur sebagai kenangan masa lalu yang terus membisu dalam kesepiannya setelah menjadi janda tua yang sudah tidak molek lagi. Dengan gesit dan cepatnya perhatian pemerintah lewat departemen perhubungan dan pihak terkait mewujudkan dermaga megah di kelasnya mejulur ke laut di dusun Beringinan Sungai Teluk Sangkapura. Segala bentuk dan ukuran kapal dapat sandar dengan mudah dan nyaman, termasuk aktivitas kegiatan bongkar muat jurus-jurus saja. Penumpang pun merasakan fasilitas dermaga dengan senang dan bangga hati. Tentu hal ini merupakan wujud perhatian pemerintah terhadap rakyat Bawean yang akan benar-benar merasakan duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi dengan rakyat lain di penjuru nusantara dalam menikmati buah dari kemajuan pembangunan. Bahkan, boleh dikatakan lebih perhatian pemerintah kepada warga Pulau “Majeti” nama dalam sajerahnya. Termasuk kelebihan pembangunan dermaga yang sudah beberapa tahun rampung dibangun namun belum satupun kapal yang mau merapat untuk menyandarkan diri tanpa ada alasan dan bukti nyata sehingga bisa saja orang salah menduga apa gerangan penyebab semestinya stagnasi itu. Ini perlu untuk mencari tahu biar uang rakyat yang dipakai untuk membangun itu pun diketahui rakyat adanya. Akankah terus tetap menganut paham fatalisme dengan menyerah pada nasib dan keadaan? Ataukah memang terjadi salah planning? Sehingga dermaga baru itu terus “mangkrak” bertahun-tahun akhirnya rusak lalu ditender ulang dalam rehab perbaikan. Anak kecil pun tahu kalau hanya sekadar menjadikan proyek mercusuar itu sebagai sapi perahan belaka. Persoalan kemandegan hasil pembangunan yang menggunkan uang rakyat tersebut perlu ditelisik tanpa perlu mencari kambing hitam sebagai progres report dalam mencari solusi terbaiknya. Sebagaimana asas pembangunan yakni dari rakyat, oleh rakyat serta untuk rakyat dengan azas kemanfaatan. Jika memang panjang badan dermaga kurang yang mengakibatkan “ngepas ke karang alias kena “tombhir” tenderkan ulang untuk menambah kepanjangannya. Namun, bila alasan kedangkalan karena karang besar-besar segera usulkan ke pusat untuk mengerahkan kapal keruk (baca : Bawean-bukan kapal keruk moak kentang oreng curuk bheu bhebhetang) atau sebangsanya untuk dapat memindahkan karang tanpa menunggu rupa dermaga babak belur kembali pada babak-babak berikutnya.

Kembali ke persoalan kapal yang melayari trayek Gresik-Bawean atau sebaliknya semakin memberikan angin segar, sesegar angin pantai di pagi hari. Bahkan kabar teranyar yang dirilis koran Jawa Pos perwakilan Gresik memasang titel dengan judul besarnya “Gresik-Bawean Tambah Satu Kapal” (Jaw Pos, 19 Nopember 2013). Judul itu melahirkan penafsiran yang menimbulkan keambiguan dalam benak warga Pulau Bawean yang sudah menikmati tiga kapal selama ini yakni Express Bahari 1C, MV Tungkal Samudra, dan KM Satya Kencana dari PT Darma Lautan Utama (DLU). Ternyata tetap tiga kapal yang akan beroperasi. Berarti bukan penambahan melainkan “persalinan” atau pergantian dengan mempertangguh armada kapal yang sudah ada sebelumnya. Mudah-mudahan realisasinya cepat kelar tanpa terbawa angin pantai seperti rencana kapal bantuan yang dibuat di galangan Kapal Bangkalan Madura beberapa tahun silam ceritanya juga menguap tanpa bekas. Warga Baweqan tetap sabar dan tawakal mendengar iming-iming dari pemerintah pusat via departemen perhubungan Provinsi Jawa Timur. Informasi kala itu ada dua kapal buatan dalam negeri asli yang akan dihibahkan kedua trayek. Maklum kala itu angin ribut, gelombang besar seakan-akan memastikan untuk diperbantukan trayek Gresik-Bawean. Sekadar penyenang belaka laksana anak kecil saat rewel diberi hiburan. Habis rewelnya habis pula mainan hiburannya. Satu kapal rencananya dibantukan ke Maumere dan yang satunya Bawean- Gresik. Nyatanya raib entah ke mana juntrungnya berita kapal itu.

Persoalan yang membelit dan melilit kerongkongan nafas transportasi laut Gresik-Bawean dan sebaliknya bukan pada pemenuhan dalam pengadaan armada kapalnya, melainkan yang paling esensi dan crusial saat ini adalah kebutuhan akan manajemen yang elegan dan madani khususnya dalam hal penjualan tiket. Plot atau alur jalannya penjualan tiket sepertinya sengaja diciptakan oleh oknum tertentu meniru cerita dalam film-film India dengan komplikasi yang rumit tanpa ketegangan menurun. Seolah-olah tiket terjual habis atau laku keras. Padahal faktanya terkadang kapal berangkat tempat duduk masih legah melompong akibat kongkalikong antara calo dan mitra gelapnya. Sungguh teramat kelihatan “rosep” pemandangan di pelabuhan dengan seliweran para calo tiket. Logikanya tambah kapal mestinya tambah mudah untuk mendapatkan tiket justru malah sebaliknya calonya semakin nakal. Sejenak arahkan umpatan dan bahan tertawaan kepada warga Bawean sendiri yang sampai melampaui batas kewajaran meraup keuntungan di atas penderitaan dan darah daging sendiri. Tidaklah berlebihan bila demikian realitanya dapat dikatakan dengan lugu bahwa penelisikan calo membuahkan konklusi telah terjadi kanibalisme permanen yakni orang Bawean makan orang Bawean sendiri (baca: ngeri). Calo tiket kapal-kapal Gresik-Bawean dan Bawean-Gresik percis menjelma sebagai Sumanto dan Mbah Jiwonya warga Bawean. Meminjam istilah Jawanya “ngono ya ngono namung ojo ngono!” Boleh dan syah saja orang menawarkan jasa sebagai wujud humanisme dan kemanusiaan dalam memenuhi tuntutan mengais nafkah untuk keluarga namun jangan sampai merusak tatanan kehidupan yang ada. Apa lagi warga Bawean terkenal jiwa sosial serta kekerabatan dan kekeluargaannya yang cukup tinggi. Bila para calo mau berpikir jernih dengan pandangan ke masa depan bahwa Pulau Bawean akan menjadi jujukan para turis baik turis lokal maupun internasional maka permudahlah memberikan jasa dalam penjualan tiket. Untuk meniadakan praktik percaloan sampai kiamat tidak akan pernah berakhir karena benturan kepentingan dan kebutuhan yang mendesak. Toh, warga Bawean atau kaum berada lainnya terkadang tidak mau repot juga. Akhirnya mereka memperbudak calo juga dengan upah dan imbalan yang terkadang nominalnya sangat menggiurkan asal dapat tiket untuk balik boyan dan sebaliknya. Sikap dan sifat seperti ini yang juga menyuburkan dan menumbuh-kembangkan bakat para calo di pelabuhan. Sebenarnya, jika lancar arus penumpang menuju dan kembali dari Bawean akan berprospek lebih cerah buat warga Bawean. Sudah mahfum bersama pemerintah membangun segala fasilitas untuk kesejahteraan warganya. Kelak dengan ramainya Wisnu dan Wisman masuk Bawean akan memberikan jalan penghidupan yang lebih baik. Bisa menjadi guide (baca: gaed) para pelancong, mendirikan restoran, fila, penginapan dan apapun bentuk usaha di Pulau Bawean yang tentu akan lebih barokah dan mulia daripada sekadar menjadi jalo abadi.

Sungguh memilukan sekaligus memalukan bila melihat kenyataan perilaku warga Bawean terkini dengan kanibalisme permanennya menjajakan tiket kapal yang terkadang harganya “ngantem” calon pembeli sebagai calon penumpang kapal. Sandiwara klasiknya cukup lucu dan menggemaskan. Bila calon penumpang yang posang mencari tiket benar-benar kenal baik nama dan rupa pasti sang calo mengatakan habis dengan sumpah serapahnya porkelap tidak ada. Namun, kepada calon penumpang yang butuh tiket kapal kenal remang-remang apalagi penumpang “Malaysia”-an atau “Singapur”-an so pasti dikatan ada dan mau berapa asal tahu saja jangan bilang siap-siapa! Harga bisa berlipat ganda dengan tips yang sangat istimewa atas jasanya untuk orang berada. Olang Cina bilang “hayya gula lalang kopi lalang hayya...olang-olang Bawean walang-walang jual tiket kapal lalang hayya...!”

Bila melihat ke belakang terhadap back ground Pulau Baswean yang pernah menyandang predikat sebagai Pulau Santri tidaklah berlebihan bila sebuah tulisan tajam dan kritis dari Said Aqil Siradj-pengurus besar Nahdhatul Ulama- berupa opini dalam surat kabar berjudul “Robohnya Peradaban Santri” (Jawa Pos, 8 Oktober 2013). Apa yang telah ditulis oleh beliau sedikit nyerempet terhadap adanya perubahan perilaku kaum santri setelah terjun di segala bidang kehidupan termasuk broker atau para calo yang dulunya pernah nyantri. Selengkapnya tulisan bagus beliau dapat dinukilkan dalam sebuah kutipan berikut ini.

“Banyak kalangan santri yang setelah keluar dari pesantren berkecimpung dalam banyak bidang kehidupan. Berbagai profesi dimasuki. Gaya hidupnya tidak mencerminkan ajaran kesederhanaan seperti ajaran kyainya. Dia hidup flamboyan lazimnya orang-orang the have Belum lagi santri yang berperan sebagai broker (red: Makelar alias calo) yang bekerja secara zig zag demi mencapai kepentingan instan. Mereka tidak bekerja lagi dengan idealisme, tetapi pragmatis. Nah, dari fenomena seperti itu, tak heran ada gerutuhan jangankan menjadi teladan, seorang santri menjadi umpatan.”

Sebagai Pulau yang pernah kesohor dengan julukan Pulau Santri perlu diperhitungkan kembali muncul dan menjamurnya para calo tiket penumpang kapal Gresik-Bawean atau Bawean-Gresik apapun alasannya. Terkadang perilakunya melabrak batas perikemanusiaan dan perikeadilan yang beradab. Alangkah merdunya suara tawa ini bila memojokkan diri sendiri atas perilaku yang menghantam karakter sendiri. Meminjam istilah pedangdut berumur Iman S. Arifin sungguh perilaku para calo itu bak judul lagunya “ Menari di atas Luka.” Dosakah bila Bang Haji Rhoma Irama mengatakan pada para calo tiket kapal tersebut dengan celoteh laris manisnya “Sungguh terlalu...!”

Bila melihat kenyataan demikian usaha untuk menjadikan masyarakat Bawean sebagai serambi Madinah akan jauh panggang dari asap alias mustahal bin mustahil. Mungkin cita-cita itu sekadar papan nama atau jargon belaka yang sepi dari arti dan makna. Amatlah menarik belajar dari konsep masyarakat madani sebagai terjemahan dari civil society yang pertama kali digulirkasn oleh Dato Seri Anwar Ibrahim dalam cerahmahnya pada Simposium Nasional dalam rangka forum ilmiah pada acara festifal Istiqlal, 26 September 1995 di Jakarta. Dalam buku berjudul “Studi Islam Kontekstual: Elaborasi Paradigma Baru Muslim Kaffah” oleh Dr. Abdurrahman Assegaf, Anwar Ibrahim mengatakan:

“Bahwa yang dimaksud dengan masyarakat madani adalah sistem sosial yang didasarkan pada prinsip moral yang menjamin keseimbangan antara kebebasan perorangan dengan kestabilan masyarakat. Masyarakat mendorong daya usaha serta inisiatif individu baik dari segi pemikiran, seni, pelaksanaan pemerintahan mengikuti undang-undang dan bukan nafsu atau keinginan individu, menjadikan keterdugaan atau predictability serta ketulusan atau tranparancy sistem.”

Terbukti, manajemen pertiketan dan pelayanan di dermaga Paciran proses pembelian tiket kapal amat tertib dan lancar. Bahkan petugas dengan tegas satu orang calon penumpang satu identitas dapat satu tiket. Mau berbuat apa para calo dan orang suruhannya kalau petugas tegas dan transparan? Celok assem! Sebaliknya di Pelabuhan Gresik dan Bawean selalu penuh dengan dramatisasi kehabisan tiket. Akibatnya, untuk mendapatkan tiket kapal konon susahnya minta ampun hampir setengah mati bin mampus. Justru tambah kapal mestinya tambah mudah untuk mendapatkan tiket. Malah para oknum calo semakin nakal saja. Meminjaqm sebuah bahasa iklan nodrof wajar bila rumah tidak bocor lagi dan suami memadamkan lampu dalam satu selimut kain panas istri digelitik berujar “Nakal, nakal...!” senakal calo. Semoga tulisan sederhana ini secuil memberikan cibiran pahit sebagai obat penyembuh penyakit kronis debar-debar jantung calo yang terus mendebarkan. Kelak lirik lagu “kupak-kupak tatta, tattana beu buntut. Tak andik apa-apa semmak ghunong Malokok” gara-gara harus ngupah calo dua kali lipat menjadi tak punya apa-apa karena bukan orang berada. Alhasil, warga Bawean ke depan menjadi Macerdas yakni Masyarakat cerdas, damai, adil dan sentosa. Amin...!

SHARE :
 
Copyright © 2015 Media Bawean. All Rights Reserved. Powered by INFO Bawean