Peristiwa    Politik    Sosial    Budaya    Seni    Bahasa    Olahraga    Ekonomi    Pariwisata    Kuliner    Pilkada   
adsbybawean
Home » , » KH. Ahmad Asnawi
Kyai Pejuang Dari Pulau Bawean

KH. Ahmad Asnawi
Kyai Pejuang Dari Pulau Bawean

Posted by Media Bawean on Rabu, 22 Januari 2014

Media Bawean, 22 Januari 2014

Oleh : Ali Asyhar  (Wakil Ketua PCNU Bawean : kontak 082141195678 )


Suatu hari terjadi pertempuran hebat antara pejuang Republik dengan tentara Jepang di Surabaya. Baku tembak berlangsung berjam-jam dalam jarak dekat. Dengan memegang bren Ahmad Asnawi maju, namun naas pelurunya habis. Seorang serdadu Jepang segera membidiknya. Aneh, senjata jepang juga macet. Segera keduanya berduel dan Ahmad Asnawi memenangkannya. Kini ia memiliki samurai hasil rampasan dari Jepang. Kisah di atas adalah satu diantara episode kehidupan KH. Ahmad Asnawi Bawean.

Ia dilahirkan di Singapura tahun 1926. Pendidikan dasarnya ditamatkan di sekolah rakyat Melajoe Singapura tahun 1935. Selanjutnya ia nyantri di Tebuireng asuhan Hadratussyekh Hasyim Asy’ari dari tahun 1940 - 1945. Di Tebuireng inilah jiwa militernya ditempa. Ia bergabung dalam barisan Hizbullah Devisi Sunan Ampel di Jombang dan turut serta dalam pertempuran 10 November 1945. Tahun 1947 ia diangkat sebagai komandan Hizbullah Bawean dengan pangkat Kapten. Ketika bergerilya di Bawean ia dan pasukannya membuat keder pasukan Belanda. Pulau Bawean menjadi ajang pertempuran hebat antara pasukan penjajah dengan Hizbullah.

Pada agresi militer Belanda II Ahmad Asnawi dan pasukannya menggabungkan diri ke Batalion Munasir Kompi Condromowo yang bergerilya di daerah Jombang dan sekitarnya. Ia dikenal lihai menyamar. Suatu saat ia ditugasi memata-matai markas Belanda di Jombang. Dengan cerdik ia melepas ayam lalu mengejarnya hingga masuk markas Belanda. Malam harinya markas tersebut digempur pejuang dan berhasil menewaskan banyak serdadu penjajah.

Tahun 1950 Ahmad Asnawi berhenti dari dinas militer dan memulai pengabdiannya di NU dengan menjadi ketua partai NU cabang Bawean dari 1951-1958. Kyai yang mahir berbahasa Inggris ini memiliki kebiasaan unik. Ia selalu mencatat aktivitas hariannya dari soal rapat sampai beli rokok. Catatan pribadinya menumpuk. Sayang, catatan yang sangat berharga ini hilang karena rumahnya yang sering berpindah. Menurut putra tertuanya, Hafidzuddin, catatan tentang perang gerilyanya bisa jadi novel tersendiri.

Ketika memimpin NU KH. Ahmad Asnawi sangat disiplin. Ia total mengabdikan dirinya. Dengan berjalan kaki ia menghadiri kegiatan-kegiatan NU dari ranting sampai cabang. Pernah suatu hari ia ditawari naik mobil oleh Wedono Bawean. Dengan tegas ia menolak “Kaki ini masih kuat berjalan” jawaban khas tentara. Untuk menghadiri muktamar NU ke 21 di Medan ia rela menjual tanahnya. Bukan hanya itu, bila NU Bawean mengalami kekurangan uang maka KH. Ahmad Asnawi adalah tempat berkeluh kesah.

Saat golkarisasi tahun 1970-an, KH. Asnawai sangat berjasa membebaskan para aktivis NU dari tahanan. Dengan kecerdasannya dalam berdiplomasi satu-persatu pengurus NU dibebaskan. “Lebih baik para kyai ini di tahan di rumah saya saja, jangan di kantor koramil. Rumah saya masih luas” pintanya. Kewibawaannya sebagai pejuang membuat para tentara menghormatinya. Ketika ia diminta menjadi jurkam Golkar dengan tegas ia menolak.

Dalam kesehariannya ia dikenal ramah dan dermawan. Saat panen padi ia memikul sendiri padinya dari sawah sampai rumah. Jika ada orang menyapa maka ia berhenti lalu memberikan seikat padi kepada si penanya. Begitu seterusnya sehingga pernah padi yang dipikulnya habis karena banyak orang yang menyapanya di jalan.

Dalam mendidik putra-putrinya ia cukup demokratis. KH. Ahmad Asnawi tidak mendikte tentang masa depan putra-putrinya. Hanya satu yang selalu ditekankan bahwa hidup ini untuk mengabdi kepada kebaikan. Tentang profesi silahkan masing-masing. Kini putra-putrinya juga mewarisi jiwa pejuang ayahnya di profesinya masing-masing.

Menurut Kyai Zubaidi Humaili (Rais Syuriah PCNU Bawean) sulit mencari orang seperti KH. Asnawi. “Hidupnya untuk kebaikan orang lain. Untuk NU dan masyarakat. Kalau ada orang kesulitan uang segera ia membantunya meski dengan menjual barang-barang miliknya. Kalau ada orang sakit Kyai Ahmad Asnawi pasti menjenguknya “ tuturnya.

Hal senada diungkapkan oleh KH. Zakariyah “Ibaratnya hidupnya ia habiskan untuk NU. Semua kegiatan NU dihadiri. Uniknya ke mana-mana jalan kaki. Ia rela menjual apa saja yang dimiliki untuk NU. Saat ini sudah sulit mencari tandingannya” tambahnya.

KH. Ahmad Asnawi wafat di usia 80 tahun (2006) meninggalkan 14 orang putra dan putri. Beliau mewariskan pesantren putri Nurul Ikhlas yang kini diasuh putrinya yaitu Nyai Hj. Ruwaidah. Pesantren ini dalam kesehariannya menggunakan bahasa Jawa.

SHARE :
 
Copyright © 2015 Media Bawean. All Rights Reserved. Powered by INFO Bawean