Peristiwa    Politik    Sosial    Budaya    Seni    Bahasa    Olahraga    Ekonomi    Pariwisata    Kuliner    Pilkada   
adsbybawean
Home » , » Guru (Bukan)
Pahlawan Tanpa Tanda Jasa (Lagi?)

Guru (Bukan)
Pahlawan Tanpa Tanda Jasa (Lagi?)

Posted by Media Bawean on Senin, 17 Februari 2014

Media Bawean, 17 Februari 2014

Ali Asyhar. Wakil Ketua PCNU Bawean dan Dosen STAIHA.


Enam hari pasca luluh lantaknya Hirosima dan Nagasaki ( 15/8/1945) Jepang menyerah tanpa syarat kepada Sekutu. Pertanyaan pertama yang diajukan oleh Kaisar Jepang, Hirohito, adalah “Berapa jumlah guru yang masih hidup?”. Partanyaan ini memberi kesan bahwa Jepang akan segera bangkit jika guru masih banyak yang hidup. Namun sebaliknya Jepang akan terpuruk jika sudah tidak ada lagi guru. 25 tahun kemudian Jepang menjelma menjadi raksasa ekonomi dunia yang mengagumkan meski sering dihantam bencana alam. Jepang adalah contoh negara yang sangat mengagungkan guru. Profesi guru menjadi profesi yang paling dimuliakan.

Lain Jepang lain pula negeri antah barantah. Konon, negeri itu adalah penggalan surga dan zamrud khatulistiwa. Kalau di Jazirah Arab pohon ditanam jadi tongkat tapi di negeri itu tongkat ditanam akan jadi pohon. Hampir tidak ada sejengkal tanah pun yang kosong dari tanaman. Pertanyaannya adalah mengapa negeri itu masih kalah oleh Jepang? Jawabannya karena guru. Dunia guru (baca : pendidikan) masih memi (a)lukan.

Sebenarnya, negeri ini memiliki bejibun contoh guru-guru mengagumkan. Ada Ki Hajar Dewantara yang mendedikasikan hidupnya di dunia pendidikan dengan Taman Siswanya. Ia berjuang untuk menciptakan wadah bagi bangsa pribumi agar bisa mendapatkan pendidikan. Tanpa pendidikan anak-anak bumi putera akan terus diperbudak oleh Belanda yang jauh lebih kecil. Tanpa lelah ia mengabdikan dirinya walau dengan selimut cacian dan hinaan.

Masih banyak nama-nama yang bisa dijadikan inspirasi. Raden Ajeng Kartini telah berikhtiar mendirikan sekolah khusus putri di balik tembok-tembok Kadipaten Rembang. Meski usianya hanya 25 tahun namun kegigihannya dalam membela hak-hak perempuan sungguh menggetarkan. Santri Kiai Shaleh Darat ini bahkan sudah mengusulkan agar al-Quran diterjemahkan ke bahasa Jawa supaya mudah dipahami bangsanya.

Dewi Sartika di Bandung, H.O.S Cokroaminoto di Surabaya, KH. Ahmad Dahlan di Kauman Jogjakarta serta para ulama yang rela menyepi di pelbagai pelosok desa untuk menyiapkan anak-anak negeri yang berpendidikan. Meraka adalah benar-benar guru. Sang Pahlawan tanpa tanda jasa. Tanpa gaji dan tunjangan.

Kini perhatian negara terhadap dunia pendidikan mulai membaik. Lembaga pendidikan menerima BOS, BSM dan BKSM. Guru sudah banyak menerima tunjangan ini - itu disamping gaji rutin. Bahkan daerah khusus seperti Pulau Bawean ada tunjangan khusus (daerah terpencil). Mengapa dunia pandidikan kita masih buntut? Jawabannya adalah ternyata gelontoran tunjangan dari negara belum berkorelasi terhadap kualitas guru. Tunjangan masih dimaknai sebagai hadiah gratis dan cuma-cuma. Guru yang mendapatkan tunjangan banyak maka yang pertama muncul dibenaknya adalah perhiasan, mobil atau berangkat umrah.

Jarang diantara kita (para guru) yang materi diskusinya tentang ilmu pengetahuan, penelitian, buku, perpustakaan dan potensi murid. Mayoritas yang kita bicarakan adalah gaji, tunjangan, kenaikan pangkat, rekening bank, ATM, berkas pencairan plus laporannya. Tempat yang ramai bukanlah perpustakaan melainkan bank dan tempat foto copy.

Masihkah ada harapan? Jawabannya : harapan selalu ada. Bila kita menoleh ke kanan kiri masih banyak teladan. Diantaranya : Program Indonesia Mengajar yang di gagas oleh Anis Baswedan. Ada ratusan mahasiswa pilihan yang ikhlas meninggalkan hiruk pikuk kota dan kampus untuk mengabdi di daerah sepi. Mereka rela berbagi ilmu dan inspirasi. Tanpa gaji dan tunjangan kecuali sekedar ongkos hidup. Bila kita rajin menonton acara Kick Andy di Metro TV kita masih bisa tersenyum manis. Ternyata masih banyak orang-orang seperti Imam Prasodjo yang rela meninggalkan fasilitas hidup yang nyaman demi generasi bangsa yang membutuhkan ilmu dan pencerahan. Imam Prasodjo getol mendirikan perpustakan mini di kampung-kampung. Ia memulainya dari Jawa Barat. Perpustakaan ini menjadi tempat pavorit anak-anak selepas sekolah.

Masihkan ada nurani di hati kita? Jawabannya masih. Karena kita memiliki agama. Agama apapun menempatkan profesi guru ditempat yang agung. Islam memiliki Nabi Muhamad yang inspiratif. Nabi SAW adalah guru terhebat. Ia bisa memetakan potensi muridnya (sahabat) dengan tepat dan memberinya kesempatan berkembang. Ada Ali bin Abi Thalib yang keras nan jenius, Abdurahman bin ‘Auf yang cerdas dan memiliki naluri bisnis yang jempolan, Khalid bin Walid yang pintar strategi perang dan pemberani dan Bilal bin Rabah yang tidak cerdas tetapi memiliki suara yang merdu dan lantang. Dengan ribuan murid berarti ada ribuan karakter dan potensi. Semuanya diramu dengan sikap arif dan akhirnya menjadi kekuatan dahsyat.

Adalah KH.Ma’shum Ahmad Lasem Rembang yang rajin mengunjungi muridnya tiap tahun. Beliau benar-benar memperhatikan perkembangan ekonomi dan dakwah murid-muridnya. Bila ada yang miskin maka KH.Ma’shum segera mengulurkan tangannya dan terus memberinya motivasi. Jika ada alumni yang kaya maka dianjurkan untuk membantu temannya yang kekurangan. Dedikasi total KH.Ma’shum melahirkan para murid yang handal. Diantaranya adalah KH. Ahmad Syaichu, KH. Imron Hamzah, Prof. Dr. Mukti Ali, KH. Ali Ma’shum Krapyak dan KH.Abdullah Faqih Langitan.

Waba’du. Tulisan ini lebih sebagai koreksi pribadi.

SHARE :
 
Copyright © 2015 Media Bawean. All Rights Reserved. Powered by INFO Bawean