Peristiwa    Politik    Sosial    Budaya    Seni    Bahasa    Olahraga    Ekonomi    Pariwisata    Kuliner    Pilkada   
adsbybawean
Home » , » Gelar Sarjana "Tasbeni" di Bawean
Kontradiksi Pendidikan Jarak Jauh

Gelar Sarjana "Tasbeni" di Bawean
Kontradiksi Pendidikan Jarak Jauh

Posted by Media Bawean on Selasa, 18 Maret 2014

Media Bawean, 18 Maret 2014

"KUALATISASI” PERATURAN TERHADAP UNDANG-UNDANG 
Dialektika Belajar Jarak Jauh Sebagai Terobosan Terbarukan

Oleh : Sugriyanto (Guru SMA Negeri 1 Sangkapura)

Penulisan judul di atas sedikit latah meniru bentukan kata kriminalisasi yang pernah ramai terhadap KPK, artinya pengkriminalan terhadap lembaga super body anti rasuah tersebut. Istilah KPK bagi anak di Sekolah Dasar bukan hal yang baru. Mereka sudah mengenal dan memahami dalam mencari KPK dari dua buah bilangan atau lebih yakni Kelipatan Persekutuan Terkecil (disingkat KPK). Sebisanya guru pengampuh atau ahli matematika mengalah saja untuk mencari pengganti istilah KPK yang lain. Hal ini menjaga kerancuan atau kesemrautan istilah yang semakin tidak terkendali perkembang biakannya. Termasuk beberapa waktu silam penulis sempat sedikit runyam dalam pikiran gara-gara penafsiran yang menyesatkan tentang istilah yang digunakan dalam dunia pendidikan tentang kata “pengayaan” terhadap siswa yang dianggap perolehan nilainya di atas rata-rata. Entah oleh-oleh dari mana atau habis bertapa di gua mana tiba-tiba muncul sebuah hilafiah pemaknaan atau penafsiran dari kata “pengayaan” tersebut sebagai penyaringan atau penghalusan dari kata dasar ayak. Sehingga siswa yang sudah mendapat nilai di atas standar rata-rata dianggap menghalusi ilmu itu ‘karep’-nya. Jelas-jelas tertulis dalam bukunya Muchlas Samani, dkk tentang kemampuan guru dalam melaksanan evaluasi hasil belajar dikembangkan berdasarkan subkompetensi pada item ke 3 yakni menggunakan ketuntasan belajar untuk merancang program remedi (red: bukan remidi) atau pengayaan (enrichment), yang dijabarkan ke dalam indikator esensial (2006:56). Jadi, jelas ditambah lebih kaya lagi pengetahuan siswa yang sudah mencapai nilai di atas rata-rata. Ini baru benar dan sahih (Valid).

Topik pembicaraan yang akan turut menghangat menyertai naiknya temperatur politik tahun 2014 di negeri ini adalah akan digebernya Ujian Nasional tingkat SMA/MA/SMK dan sederajat mulai bulan April mendatang. Beberapa pakar pendidikan, praktisi pendidikan, kalangan pengamat pendidikan, pegiat pendidikan dari berbagai komponen dan elemen bidang profesi lainnya menolak terhadap penyelenggaraan Ujian Nasional yang dianggap sebagai bentuk pelanggaran hak azazi manusia dan demokrasi pendidikan. Apalagi nilai Ujian Nasional dijadikan sebagai barometer penentu kelulusan dengan mematok harga boleh dibilang berat secara nasional. Berbagai macam argumentasi dan retorika yang disampaikan baik melalui opini yang tertulis di surat kabar dan media cetak lainnya maupun lewat media elektronik belum mempan untuk mem-pressure apalagi mau mengubah pendirian terhadap konsistensi pemerintah via kementrian pendidikan dengan dasar Undang-Undang. Enteng sekali jawaban Bapak menteri “Kalau mau menghapus atau meniadakan Ujian Nasional, ubah dulu Undang-Undangnya!” Sinyalemen ini memberikan petunjuk bahwa Renstra (Rencana strategis) direktorat pembinaan SMP tahun 2010-2014, Renstra Kemendiknas 2010-2014, Rencana Pemerintah Jangka Menengah Nasional 2010-2014, Permendiknas, Peraturan Pemerintah, apalagi baru sekadar keputusan direktorat jenderal pendidikan tinggi yang dianggap aktor operasionalnya tetap harus “tawaduk” pada Undang-Undang di atasnya yakni Undang-Undang Sisdiknas dan Undang-Undang dasar 1945. Jika tidak, semua peraturan yang ada di bawahnya secara hierarki akan “kualat” atau celaka 13.

Cukup beralasan dan dapat diterima oleh akal jernih dan sehat mengenai sikap dan pendirian pemerintah untuk tetap menyelenggarakan Ujian Nasional sebelum anggota dewan (DPR) mengubah terlebih dahulu Undang-Undangnya. Semua sudah mahfum bersama bahwa prosedur penilaian atau evaluasi hasil belajar dilakukan oleh:
1. Pendidik (guru, dosen)
2. Satuan Pendidikan (sekolah atau lembaga pendidikan sejenisnya terkoodinasi)
3. Pemerintah (UNAS)

Untuk lebih afdal sebagai usaha pencerahan perlu kiranya tulisan ini disanadkan kesahehannya pada Undang-Undang Sisdiknas BAB XVI Evaluasi, Akreditasi, dan Sertifikasi pasal 58 ayat (1) dan (2) serta pasal 59 ayat (1) dan (2) berbunyi sebagai berikut.

Pasal 58
(1) Evaluasi hasil belajar peserta didik dilakukan oleh pendidik untuk memantau proses, kemajuan, dan perbaikan hasil belajar peserta didik secara berkesinambungan.
(2) Evaluasi peserta didik, satuan pendidikan, dan program pendidikan dilakukan oleh lembaga mandiri secara berkala, menyeluruh, transparan, dan sistemik untuk menilai pencapaian standar nasional pendidikan.

Pasal 59
(1) Pemerintah dan Pemerintah daerah melakukan evaluasi terhadap pengelola, satuan, jalur, jenjang, dan jenis pendidikan .
(2) Masyarakat dan /atau organisasi profesi dapat membentuk lembaga yang mandiri untuk melakukan evaluasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58.

Patutlah diberikan acungan dua jempol dan angkat topi terhadap konsistensi pemerintah untuk tetap mensinergikan peraturan terhadap Undang-Undang yang lebih tinggi di atasnya.

Bagaimana dengan belajar jarak jauh yang saat ini marak dengan menawarkan “mimpi manis” kepada guru yang berstatus PNS di kepulauan yang notabene belum memiliki Perguruan Tinggi atau Universitas yang bonavide? Tawaran justru berdatangan dari Perguruan Tinggi swasta dengan iming-iming yang sangat menggiurkan bahkan cukup memanjakan calon mahasiswa yang akan menempuh pendidikan S2 (magister). Hanya ujung-ujungnya istilah latahnya orang Jawa yang lagi ngetren bilang “wani piro?”. Sekadar buat perbandingan saja bahwa berdasarkan data dari Balitbang Diknas dalam bukunya Muchlas Samani,dkk bahwa kondisi guru dilihat dari tingkat pendidikan adalah sebagai berikut.


Berdasarkan data pada tabel di atas terbaca jelas adanya perbedaan tingkat pendidikan guru dari masing-masing tingkatan sekolah. Wajar jika guru-guru SD “ngebet banget” untuk menempuh pendidikan S2 demi kesetaraan dengan jenjang lainnya. Sebagai bahan pertimbangan alangkah bersahajanya apabila guru-guru SD yang berstatus PNS yang sudah berpangkat tinggi menyelami kembali Peraturan Pemerintah nomor 99 Tahun 2003 tentang kenaikan pangkat pegawai negeri sipil pada pasal 20 item (d) berbunyi sebagai berikut. “Ijazah Dokter, Ijazah Apoteker dan Ijazah lain yang setara, Ijazah Magister (S2) atau Ijazah Spesialisi I, dan masih berpangkat penata muda, golongan ruang III/a ke bawah, dinaikkan pangkatnya menjadi Penata Muda Tingkat I , golongan ruang III/b”. Sedangkan guru-guru SD, SMP, SMA dan sederajat yang PNS sudah banyak yang pangkat dan golongannya melampau ketentuan di atas. Sebagai usaha untuk pengembangan diri lebih baik bila mengikuti jenjang pendidikan yang lebih tingga. Selama ini belum ada klausul yang menyatakan bahwa guru SD, SMP, SMA dan yang sederajat harus berpendidikan S2. Namun, sebagai anjuran sah-sah saja. “Surak kanak wayu....!”

Menanggapi pelarangan program pendidikan jarak jauh penulis semakin tertantang untuk mendalami Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Pada bagian kesepuluh yakni Pendidikan Jarak Jauh sudah dicantumkan dengan jelas di pasal 31 ayat (1), (2), (3), dan (4) sebagai berikut. Pasal 31

(1) Pendidikan jarak jauh dapat diselenggarakan pada semua jalur, jenjang, dan jenis pendidikan.
(2) Pendidikan jarak jauh berfungsi memberikan layanan pendidikan kepada kelompok masyarakat yang tidak dapat mengikuti pendidikan secara tatap muka atau reguler.
(3) Pendidikan jarak jauh diselenggarakan dalam berbagai bentuk, modus, dan cakupan yang didukung oleh sarana dan layanan belajar serta sistem penilaian yang menjamin mutu lulusan sesuai dengan standar nasional pendidikan.
(4) Ketentuan mengenai penyelenggaraan pendidikan jarak jauh sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

Ketentuan dalam pasal 31 ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) memberikan sinyalemen kuat bahwa tidak ada pelarangan tentang pendidikan jarak jauh. Pemerintah hanya memosisikan diri sebagai regulator untuk menjaga martabat insan akademisi bukan sebagai eksekutor untuk melarang pendidikan jarak jauh karena dianggap kontraproduktif degan Undang-Undang di atasnya. Selama ini kasak-kusuk karena belum mendapatkan bukti autentik dari Dirjendikti atau menteri terkait tentang pelarangan pendidikan jarak jauh terus menggelinding bak bola salju menjadi sebuah dialektika yakni membut penulis berpikir tesis, antistesis dengan analisis sebagai bentuk usaha terobosan terbarukan. Apa hal ini juga tidak membuat “kualat” usaha pelarangan pendidikan jarak jauh karena peraturan yang statusnya di bawah Undang-Undang justru yang melarangnya. Hal ini termasuk bentuk pengebirian Undang-Undang Dasar 1945 dan Perubahannya BAB XIII pasal 31 ayat (1) bahwa Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan. Justru penulis penasaran kenapa selalu perguruan tinggi swasta yang menyerbu Pulau Bawean membawa misi pendidikan S2? Berdosakah perguruan tinggi negeri atau perguruan tingga swasta yang bonavide berakreditasi A plus melakukan hal yang sama atas pertimbangan kemajuan dan kecanggihan teknologi informasi saat ini? Tidak adakah kebijakan untuk Pulau Bawean sebagai daerah khusus yang terpisah oleh lautan Jawa sebagai wujud perhatian pemerintah untuk memberikan sedikit kelonggaran dalam penyelenggaraan? Tentunya, mengutamakan mutu dan penilaian yang objektif dan prosedural tanpa menciptakan insan yang konsumerisme dengan menikmati menu secara instan atau jalan pintas. Walhasil, walau kita tinggal dan mengabdi pada negera di kepulauan relatif terpisah dari pusat pemerintahan akan tetap merasakan kesetaraan dalam mendapatkan pendidikan berkelanjutan.

Dengan demikian, dialektika yang berupa pola nalar tesis di atas dan antitesis di bawah dapat dianalisis bahwa jika UNAS saja disuruh hapus pemerintah berdalih ubah dulu Undang-Undangnya apalagi melarang pendidikan jarak jauh tentu ubah dulu juga Undang-Undangnya. Ironis sekali! Benar apa yang disampaikan para pakar “Bukan kuantitas pertemuan yang utama melainkan kualitas pertemuan yang sangat berharga mutunya.” Apa yang ada di dunia pendidkan ini semua adalah kasat mata alias “elmo katon” artinya dapat dibaca dan dipelajari. Jadi, tidak ada yang istimewa bila mau berusaha belajar dan membaca apa yang ada. Bila materi dan ilmunya sudah dikuasai tidak akan kikuk dan gamang lagi untuk menyandang gelar magister. Kulit dan isi sama berarti.

Gresik-Pulau Bawean dekat sekali. Yang jauh dari Gresik adalah ke Ujung Pandang (baca: di ujung penglihatan). Yang jauh lagi dari Gresik adalah ke Samarindah (jauh terlihat samar namun indah). Yang lebih jauh lagi dari Gresik adalah ke Balikpapan (red: bisa ke akhirat). Ingat, tanpa ting bahwa sejarah berbicara senyatanya Pulau Bawean pernah menjadi wilayah karesidenan Surabaya. Kedekatan Suraba terhadap Pulau Bawean terpahat abadi dalam kidung kenangan masa silam yang tetap lestari serta terkemas apik dalam nyanyian rakyat berikut.

“Kiyung…dimma Jhebe? Elaokna Sorabheje…” Arti bebasnya “Beo…di mana Surabaya?” Jawab Beo “Sebelah selatan Surabaya”. Capek deh!!!

SHARE :
 
Copyright © 2015 Media Bawean. All Rights Reserved. Powered by INFO Bawean