Peristiwa    Politik    Sosial    Budaya    Seni    Bahasa    Olahraga    Ekonomi    Pariwisata    Kuliner    Pilkada   
adsbybawean
Home » » “Kun Varian Falatakun Pakisan”

“Kun Varian Falatakun Pakisan”

Posted by Media Bawean on Selasa, 25 Maret 2014

Media Bawean, 25 Maret 2014

Internalisasi Perilaku Tawaduk Jiwa Kemuridan

Oleh : Sugriyanto 
(Dosen STAIHA BAWEAN-GRESIK)

Pernah suatu ketika dalam kesenyapan yang pekat seorang guru mempraktikkan perilaku tawaduk (hormat) terhadap atasannya (kepala sekolah). Wujud perilaku yang terkategori akhlak mulia (Baca : Bawean-molje) tersebut dimanifestasikan atau diejawentahkan dalam perbuatan ala budaya ketimuran yang sudah mendarah daging dalam segala tindak tanduknya. Kesopanan guru yang dimaksud tergolong unik dan menarik. Sampai detik ini hingga kapan pun perilaku guru itu akan menjadi sebuah ikon kesemestaan akhlak bagi para guru lainnya. Sebut saja Fauzan, S.Pd., guru pengampu mata pelajaran ekonomi dan akuntansi di SMA Negeri 1 Sangkapura pernah sekali datang terlambat dalam hitungan menit karena udzur syar’i telat memasuki ruang rapat. Rapat dinas sudah berlangsung beberapa menit. Guru jebolan Universitas Negeri Jember (Red: Unjem bukan rumpon) tersebut memasuki ruang rapat dengan sikap yang amat tawaduk. Ketawadukan perilaku guru-yang terkenal peramah dan humoris dalam kesehariannya itu- menjadi standar atau tolok ukur yang patut diteladani bersama. Postur tubuh yang atletis, tegap, gempal, tinggi besar dan badan penuh berisi bukan menjadi penghalang baginya dalam melakukan perilaku hormat dan tawaduk terhadap atasan dan sejawatnya. Saat memasuki ruang rapat, Pak Ocang atau Rama Ocang-nama tenarnya- melakukan dengan membungkukkan badannya sembari melepas senyum dan salam takzim dengan menyiripkan lima jari tangan kanannya kearah lantai ruang rapat laksana menanam benih padi berjalan maju (baca: Bawean-manjhek ajhelan ka adek). Perilaku yang tidak dibuat-buat atau spontan inilah yang dapat dikatakan sebagai akhlak sejati seseorang. Beliau bukan hanya sekadar memberi contoh melainkan juga hendak menjadi contoh bagi yang lain termasuk bagi para muridnya. Tentu, peserta rapat lainnya mengulum senyum dengan menabung atau mencelengi tawa kecil yang tertahan selama pelaksanaan rapat hingga dituangkan bersama saat rapat usai. Perilaku ini menjadi “branding” sebagai “trade merek” bagi para pendidik dalam pembiasaan dan internalisasi terhadap perilaku murid di sekolah sebagai perilaku tawaduk dalam jiwa kemuridan.

Sengaja penulis menggunakan pilihan kata (diksi) dengan istilah bentukan kata “kemuridan” bukan “kesiswaan”. Nampaknya pemakaian kata “kemuridan” secara etimologis dan semantis lebih memberikan kesan kekunoan bila dibandingkan dengan kata “kesiswaan” yang lebih memberikan kesan kekinian. Percikan makna yang diperoleh setelah ditelusuri melalui tatabahasa Arab bahwa kata “kemuridan” secara morfologis dari asal kata “murid” yang merupakan isim fiil memiliki arti “berkehendak atau menginginkan”. Penggunaan kata tersebut cukup memberikan makna filosofi yang mendalam, artinya murid datang ke sekolah atau lembaga pendidikan atau pesantren lainnya benar-benar menginginkan atau menghendaki ilmu pengetahuan dan akhlak yang bermanfaat, baik bagi dirinya maupun lingkungannya secara umum. Menginginkan adanya perubahan tingkah laku sejati sebagai perolehan nilai-nilai budi pekerti luhur yang diwariskan para leluhurnya. Nilai rasa yang dikandung oleh kata “murid” lebih menunjukkan status kedekatan secara psikologi dan sosial. Walau secara umum pemakaian kata “murid” tidak selentur penggunaan kata siswa. Buktinya dalam struktur organisasi sekolah yang ada wakasek kesiswaan, pembina OSIS bukan wakasek kemuridan dan pembina OMIS (baca: Organisasi Murid Intra Sekolah). Permainan kata ini merambah pemakaiannya berdasarkan kepantasan dan kelumrahannya saja. Senyatanya, yang acap kali dipakai di sekolah adalah kata “wali murid” bukan “wali siswa” apalagi wali peserta didik. Termasuk ke jenjang yang lebih tinggi tidak dijumpai “maha murid” melainkan “maha siswa”. Murid selalu berdekatan dengan mursyid (Arab: artinya guru).

Sebuah pembiasaan dalam penanaman nilai-nilai akhlak dan budi pekerti menjadi fokus utama dalam tulisan ini. Tidaklah berlebihan apabila seorang guru atau kayai saat ini gencar mengedepankan nilai agama dan moral sebagai usaha merestorasi ambruknya peradaban santri atau murid sebagaimana yang telah ditulis oleh ketua PBNU K.H. Said Aqil Siraj dalam kolom opini sebuah surat kabar beberapa waktu lalu. Sampai kapan pun persoalan etika dan akhlak akan menjadi persoalan krusial seperti kebiasaan cium tangan santri laki-laki kepada kyainya dan cium tangan santri putri terhadap Nyainya pernah diluruskan oleh Bapak Wakil Bupati Gresik Drs. H. Moh. Qosim, M.Si di sela sambutannya beberapa waktu lalu di pondok Pesantren Hasan Jufri Kebon Agung Lebak Sangkapura. Beliau menegaskan bahwa namanya mencium tentu pakai hidung bukan pakai pipi atau kening (baca: Jawa-batuk). Kebanyakan para santri atau murid melakukan cium tangan salah cara penggunaan alat inderanya. Kata “cium” itu tentu menggunakan indera pencium yakni hidung. Budaya tawaduk atau pembiasaan salam mencium punggung telapak tangan harus yang benar dengan menggunakan hidung. Selama ini para murid dan santri mulai tingkat sekolah dasar dan lanjutan kebanyakan tersesat menggunakan cara yang tidak benar alias “lufut” dan amat tidak rasional secara keilmuan. Misal kata penulis sebagai guru mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam, penulis memberikan soal pilihan ganda sebagai berikut. Alat indera yang digunakan untuk mencium adalah ....

A. Pipi B. Dahi C. Hidung D. Jidat

Bagi anak didik atau santri yang cerdas pasti memilih opsen jawaban C.hidung. Yang tidak memilih opsen jawaban C.hidung perlu dipertanyakan kecerdasannya. Jika pada praktiknya salah atau keliru berarti gurunya tidak mengoreksi soal yang telah diberikannya karena antara teori dan praktik harus nyambung. Guru tidak usah gamang atau sungkan untuk meremedi kesalahan muridnya senyampang proses pembelajaran. Bukan guru minta dicium tangannya sebagai bentuk kultus, feodal, dan sejenisnya, melainkan sebagai pembiasaan hal yang benar saja untuk diterapkan kepada kedua orang tua murid di rumahnya atau di masyarakatnya.

Beberapa waktu silam penulis menyaksikan sendiri seorang Ahmad Dhani panglim Maha Dewi atau mantan suami Maiya Estyanti yang langsung menegor peserta Indonesian Idol yang salah mencium tangan bapaknya Dul, El, dan Al tersebut dengan menyentuhkan pipi ke punggung telapak tangan Sang musisi tersebut. Selevel Ahmad Dhani –yang dianggap kerap kontroversi- berani langsung meluruskan salam cium tangan yang salah di layar televisi yang langsung ditonton oleh jutaan manusia. Sementara guru atau kyai terkadang masih berani setengah hati untuk melakukan hal yang sama. Kontro versi salam pakai cium tangan tidak akan ada ‘mari-mari’-nya sampai kapan pun. Kalau persoalan ini dipersengketakan terus malah tidak membuahkan kerja yang produktif. Terkadang yang kerap mempersoalkan adalah mereka yang ilmu keagamaannya tanggung bulan dan bau kencur. Lebih-lebih anaknya tidak masuk dilembaga dimaksud. Seorang pendidik memahami bahwa orang tua murid awal-awal menyerahkan pendidikan anaknya di sekolah atau madrasah atau pondok pesantren sehingga pendidik merasa bertanggung jawab dalam hal pendidikannya. Di sinilah para guru, ustadz, kyai menjadi orang tua kedua di sekolah, madrasah, dan pondok pesantren. Penulis dengan tegas mengatakan agar melakukan salam cium tangan kepada kedua orang tua di rumah terlebih dahulu setelah mendapat pembiasaan salam cium tangan di sekolah.

Sejenak mari kemabli ke landasan idiil dan konstitusi. Tidak sedikit pun keliru kegiatan pananman akhlak dan budi pekerti berupa budaya cium tangan guru yang telah dilakukan oleh pendidik di lembaga pendidikan sebagai wujud bangsa yang beradab. Sejalan dengan Dasar Negara Pancasila yakni sila ke 5 yakni kemanusian yang adil dan beradab. Landasan idiil ini menjadi pilar untuk menciptakan insan-insan masa depan yang mengutamakan dan menjunjung nilai-nilai kebenaran universal sebagai implementasi akhlak mulia. Perhatikan kembali Undang-undang nomor (Red:bukan nomer) 20 tahun 2003 tentang sistem Pendidikan Nasional Bab 1 Ketentuan Umum Pasal 1 ayat (1) dan (2) beriku ini. Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spirituaol keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Pendidikan nasional adalah pendidikan yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berakar pada nilai-nilai agama. Jadi, cukup beralasan dan tidak mengada-ada usaha sadar dari para pendidik untuk terus menginternalisasi perilaku tawaduk dalam jiwa kemuridan di setiap lembaga pendidikan secara umum dan menyeluruh.

Perlu dan layak kiranya tulisan Jamal Ma’mur Asmani tentang Mencium Tangan Guru dalam bukunya berjudul Buku Panduan Internalisasi Pendidkan Karakter di Sekolah sebagai berikut.
Ahmad Rofiq, guru besar IAIN Wali Songo, Semarang, menceritakan hasil penelitian yang dilakukannya di salah satu SMK (Sekolah Menengah Kejuruan) di daerah Jawa Barat. Di sekolah tersebut, siswa dan siswinya nakal melampau batas. Kemudian, dibuatlah aturan baru. Sebelum dan masuk sekolah, semua sisw dan siswi wajib mencium tangan guru mereka. Aturan ini ternyata efektif untuk mendisiplinkan guru dan siswa, sehingga mereka datang dan pulang tepat waktu. Lebih hebat lagi, dari peraturan yang dijalankan secara konsisten ini timbul rasa hormat,segan, dan rendah hati. Tidak hanya di SMK hingga Perguruan Islam Mathali’ul Falah, Pati yang disuh oleh KH. MA. Sahal Mahfudh, tradisi mencium tangan guru masih berlangsung sampai sekarang. Bahkan, mencium tangan ternyata cukup efektif untuk menghilangkan kesombongan dan keangkuhan pada diri seseorang. (2013: 160-162).

Nah, ingat pada Lukamanul Hakim? Penulis semuala membayangkan bahwa Lukamnul Hakim itu orangnya ganteng dan tampan. Malah sebaliknya Umar bin Qois mengatakan dalam bukunya Majdi Asy-Syahari bawha Luqman adalah seorang hamba sahaya yang berkulit hitam. (Red: hitamnya pol), bibir tebal alias biger atau dower, dan bertelapak kaki retak-retak (Baca: Bawean-regghes), selain itu menurut ulama lain dan abu Darda, beliau (Luqmanul Hakim) pencari kayu bakar, tukang kayu, ia tidak diberikan anugerah keluarga, harta dan pangkat. Namun ia seorang yang keras, sering berdiam karena berpikir, tidak pernah tidur siang sekalipun, tidak ada seorang pun yang melihatnya meluda (Bawean-acopa), mengeluarkan ingus (Bawean: aoseng), kencing, buang air besar, mandi, main-main, dan tertawa (2006:13-14). Beliau hidup di masa Nabi Daud, AS.

Luqman berpesan terhadap anaknya tentang pentingnya akhlak yang baik. Allah SWT. memuji akhlak Nabi Muhammad SAW. sebagaimana firman Allah SWT. sebagai berikut. “Dan sesungguhnya kamu (Muhammad) benar-benar berbudi pekerti yang agung “ (al –Qalam :4). Bahkan dalam sebauah hadits Rasulullah SAW. bersabda yang artinya “Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang baik” (HR Ahmad, malik, dan Hakim). Dikuatkan lagi dengan hadits Rasulullah SAW. yang artinya “ Iman seorang mukmin yang paling smpurna adalah orang yang paling baik akhlaknya” ( HR Ahmad dan at-Tirmidzi).

Untuk itu, mari praktikkan akhlak yang mulia dengan tetap mengedepankan ilmu pengetahuan sebagai kunci untuk menaikkan derajat hambanya. Jangan sampai pertambahan ilmu kepandaian menjadikan seseorang pintar dalam kesombongan. Sejurus dengan persilatan lidah penuyh makna dan hikmah “Kun varian falatakun pakisan” artinya kurang lebih demikian. Jadilah padi jangan jadi pakis atau tirulah ilmu padi jangan tiru ilmu pakis. Padi kala muda belum berisi tegak simbol kesombongan sedang pakis masih muda ‘melungker’ merunduk tawaduk walau belum berisi atau berilmu. Akhirnya, manusia akan mewujud menjadi insan kamil yang sejati bukan manusia istilah populernya penter-penter tapolenter! Sama dengn pinpinbo pintar-pintar bodoh...! Naudzubillahi mindhalik…..!

SHARE :
 
Copyright © 2015 Media Bawean. All Rights Reserved. Powered by INFO Bawean