Peristiwa    Politik    Sosial    Budaya    Seni    Bahasa    Olahraga    Ekonomi    Pariwisata    Kuliner    Pilkada   
adsbybawean
Home » » KUNCI UN ADALAH SN
Benturan Idealisme dan Pragmatisme

KUNCI UN ADALAH SN
Benturan Idealisme dan Pragmatisme

Posted by Media Bawean on Senin, 14 April 2014

Media Bawean, 14 April 2014

Oleh : Sugriyanto (Dosen STAIHA Bawean Gresik)

Potret dunia pendidikan di Indonesia kerap kali mengalami gempuran silih berganti, terutama kesilih-bergantian kata dan istilah yang terus terjadi hingga membuat para insan pendidik terkadang berkeluh kesah atas kesukaan bangsa ini mengubah istilah tanpa diikuti perubahan signifikan terhadap kualitas kemajuan pendidikan itu sendiri. Terbukti Human Development Indeks (HDI) tahun 2005 pernah merilis bahwa Indonesia menduduki peringkat ke 110 dari 170 negara dalam kemajuan tingkat pendidikannya. Salah satu penyebabnya adalah rendahnya minat baca masyarakatnya. Bahkan, pernah seorang profesor dalam seminar nasional sehari menyampaikan bahwa kurikulum di Indonesia sudah berubah sebanyak tujuh kali namun belum memberikan kemajuan yang berarti. Bila dibandingkan dengan negara seasia seperti Jepang sejak merdeka 1942 hingga saat ini belum mengalami perubahan terhadap kurikulumnya. Namun, tingkat pendidikan dan kemajuan di negara Sakura atau Matahari Terbit itu sudah meroket melampaui negara-negara maju lainnya. Iri banget...!

Betapa runyam dan menggelikan sekaligus senang-senang gimana gitu bila semua istilah dalam dunia pendidikan selalu mengalami perubahan. Semisal, pada lembar soal UN sudah dua tahun terakhir ini terdapat istilah kata bar code sebagi penanda paket. Pemakaian istilah bar code hendaknya dipertimbangkan kembali untuk menyelinap dalam dunia pendidikan. Semua tahu bahwa kata “bar” itu bisa berarti tempat minum-minuman keras. Bahkan dalam istilah perhotelan pun dikenal istilah bar tender sebagai pengoplos jenis minuman. Mungkin, secara psikologis alangkah berhati-hatinya bila pemakaian istilah tersebut disalin atau dipindai menjadi kode PIN atau bentuk kode rahasia lainnya. Konotasi makna dari kata “bar” jangan sampai terpahat di benak para pelajar. Alhasil, pelajar tidak berperilaku bar-bar.

Penulis takjub juga saat menyaksikan adanya istilah baru dengan kata “remote” pada kardus soal UN tahun ini tatkala diturunkan dari kapal Expres Bahari 1 C yang sandar di Dermaga Sangkapura Pulau Bawean beberapa waktu lalu. Soal dalam kardus bertuliskan “remote” yang dikawal ketat oleh petugas kepolisian dengan senapan laras panjang membikin penulis penasaran apa arti kata atau istilah “remote” itu. Padahal dalam keseharian hampir di setiap rumah penduduk pengguna barang elektronik sejenis tele visi dan perangkat digital reciever dan sebangsanya juga pakai remote control. Setelah penulis menjelajah arti kata atau istilah “remote” dalam kamus, ternyata makna kata “remote” berarti jarak jauh atau terpencil. Istilah itu patut dipertahankan wahai Pak Menteri agar status Pulau Bawean tetap terkategori daerah jarak jauh dan terpencil. Termasuk persoalan tunjangan kemahalan berhak diberikan kepada seluruh pendidik atau guru yang tulus dan ikhlas mengabdi dalam upaya mencerdaskan kehidupan bangsa walau berada di daerah jauh atau terpencil seperti di Pulau Bawean.

Mungkin, agar menjadi kesepahaman bersama istilah kurikulum perlu sedikit dimaktubkan dalam tulisan ini. Acap kali dengan latahnya pula kata “kurikulum” terlontar dalam setiap kesempatan terutama di lingkungan pendidikan, akan tetapi hakikat makna dari kurikulum itu sendiri terkadang terabaikan. Mengacu pada Peraaturan Pemerintah Republik Indonesia nomor 32 tahun 2013 atas perubahan Peraturan Pemerintah nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan di sana dinyatakan dengan gamblang bahwa “kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu” Penjelasan tersebut selaras dengan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945 dan perubahannya pada Bab XIII mengenai Pendidikan dan Kebudayaan pasal 31 ayat (3) yang berbunyi sebagai berikut. “Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur dengan undang-undang” Sedangkan mengenai isi, bahan pelajaran dan segala tetek bengek pendidikan sudah diundangkan secara hierarki dan terkonsep matang. Di mana letak cela kelemahannya?

Mari, jelajahi bersama dengan saksama hakikat pendidikan itu sendiri. Dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pasal 1 angka 1 menyatakan bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Justru itu, ranah pendidikan meliputi tiga aspek yakni pengetahuan (kognitif), sikap (afektif), serta keterampilan (psikomotorik). Berpijak dari terminologi pendidikan yang begitu mulia dan bersahajanya kenapa coreng-moreng perilaku bangsa ini terus menjerumuskan diri dalam lembah hitam. Selama ini yang ditonjol-tonjolkan dan diagung-agungkan adalah kecerdasan intelektual yang berkontribusi dalam keberhasilan dan kebaikan hidup manusia hanya berkisar 20 % sedangkan kecerdasan spiritual keagamaan dan kecerdasan emosional (sabar) yang memberi kontribusi keberhasilan dan kebaikan mencapai 80 % minim sentuhan. Kasus korupsi, gratifikasi, manipulasi, kejahatan kerah putih dan sejenisnya dilakukan oknum intelektual jebolan perguruan tinggi dan universitas ternama di Indonesia, bahkan tidak tanggung-tanggung jebolan universitas luar negeri yang bonafide dengan saringan otak atau intelektual yang boleh dikatakan “hebat” nyatanya melakukan perbuatan yang menyimpang dari esensi pendidikan yang pernah dijalaninya. Mungkin, ke depan fit and propertest perlu menggunakan pendekatan spiritual keagamaan sebagai wujud pengendalian diri.

Sejenak kembali ke topik awal yakni penyelenggaran Ujian Nasional (UN) yang sudah di depan mata para peserta didik. Spirit untuk menggelar hajat besar negara berupa Ujian Nasional (UN) tahun 2014 ini gaungnya kurang menggelegar dibanding penyelenggaraan tahun sebelumnya. Turunnya temperatur kesemangatan ini diakibatkan oleh laju keseiringan dengan hajatan nasional lainnya yakni gawe KPU melaksanakan pemilihan anggota legislatif. Konsentrasi tidak terfokus pada satu kegiatan yang sana-sama berskala nasional. Detik-detik menjelang UN, debar-debar jantung terus berdegup cepat laksana berada di putaran papan roal coaster bagi peserta didik, orang tua peserta didik, guru, bahkan tak terkecuali pemerintah yang punya gawe dalam mengantarkan kesuksesan pelaksanaan UN tahun ini sebagai barometer untuk tujuan dalam skala nasional dan internasional pun turut berdebar. Agar debar-debar itu ritmenya konstan modalnya adalah sabar dan belajar serta berdoa (istighotsah) untuk meraih keberhasilan. Sungkem dan minta rida kepada kedua orang tua dan guru menjadi tradisi kebaikannya. Musallah sekolah hampir penuh setiap hari dengan kegiatan doa bersama. Fenomena para peserta didik menjelang UN penuh diisi kebaikan. Sungguh naif bila UN dianggap pemicu kenakalan remaja. Justru sebaliknya UN lebih banyak plusnya dibandingkan minusnya. Dulu-dulunya, sekolah sebagai penentu kelulusan menjadi sasaran empuk kemarahan dan anarkisme peserta didik yang dinyatakan tidak lulus. Hanya, koreksinya jika memang kecerdasan intelektual menyumbang 20 % keberhasilan hidup seyogyanya UN berupa soal pilihan ganda yang ujug-ujugnya mengukur kecerdasan intelektual sebagai penentu kelulusan mematok tidak perlu melebihi prosentase idealnya.

Alangkah bersahajanya apabila semua pihak memahami dengan benar apa sebenarnya esensi dan urgennya UN itu? Berpijak dari sebuah Permendikbud ( baca: bukan Permendiknas lagi) nomor 66 tahun 2013 pada Bab II tentang Standar Penilaian Pendidikan bahwa pengertian Ujian Nasional (UN) adalah sebagai berikut. “Ujian Nasional yang selanjutnya disebut UN merupakan kegiatan pengukuran kompetensi tertentu yang dicapai peserta didik dalam rangka menilai pencapaian Standar Nasional Pendidikan, yang dilaksanakan secara nasional” Sebagai kata kunci adalah kata “ujian” yang sudah dipahami bersama urgensi dan esensinya. Lumrahnya, setiap manusia tidak akan pernah terlepas dari ujian, baik ujian ringan, sedang, maupun berat dari Sang Pencipta. Bangsa ini melalui kementrian pendidikan yang kewenangannya dilimpahkan sepenuhnya kepada Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) sebagai lembaga independen untuk mengukur pencapaian kompetensi tertentu akan menguji peserta didik baik tingkat dasar hingga tingkat lanjutan.

Untuk membuka cakrawala kesepahaman bersama perlu diketahui bahwa hasil UN itu digunakan untuk :
a) salah satu syarat kelulusan peserta didik dari satuan pendidikan;
b) salah satu pertimbangan dalam seleksi masuk kejenjang pendidikan berikutnya;
c) pemetaan mutu; dan
d) pembinaan dan pemberian bantuan untuk peningkatan mutu.

Jika terdapat kalangan yang menolak pelaksanaan UN perlu dipertanyakan tidak adakah perhatian dan bantuan pemerintah terhadap sekolahnya? Hanya memang pemerintah perlu menyederhanakan kembali patokan prosentase nilai kelulusan sehingga UN bukan menjadi penentu segala-galanya. Bahkan pernah terlontar ungkapan “panas tiga tahun, dihapus hujan tiga hari” , artinya selama kurang lebih tiga tahun masa studi siswa haruskah kandas di UN yang digelar selama tiga hari ini?

Di dalam bukunya Ali Rif’an yang berjudul Rahasia Kedahsyatan Sabar dirinci bahwa salah satu kesabaran yang ada dalam hidup ini adalah kesabaran dalam menuntut ilmu. Syaikh Nu’man mengatakan “ Betapa banyak gangguan yang harus dihadapi oleh seseorang yang berusaha menuntut ilmu. Maka dia harus bersabar untuk menahan rasa lapar, kekurangan harta, jauh dari keluarga dan tanah airnya. Sehingga dia harus bersabar dalam upaya menimba ilmu dengan cara menghadiri pengajian-pengajian, mencatat dan memperhatikan penjelasan serta mengulang-ulang pelajaran dan lain sebagainya”. (2010:15-16). Kita semua yakin bahwa sesungguhnya Allah SWT. selalu bersama atau menyertai orang-orang yang sabar. Maksudnya, yang bersama kita adalah penjagaan dan pertolongn-Nya. Sabar juga merupakan kunci kesuksesan dalam hidup ini. Sebagaimana diterangkan dalam Al-Qur’an yang artinya demikian “ Hai orang-orang yang beriman, bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu dan tetaplah bersiap siaga dan bertakwalah kepada Allah supaya kamu sukses (beruntung).” (Q.S. Ali Imran : 200). Sudah menjadi sebuah proposisi bahwa antara idealisme dan pragmatisme terkadang berjalan tidak seiring alias berbenturan. Termasuk, harapan dan kenyataan hasil UN pun kerap kali melenceng keluar dari prediksi. Sebagai kunci utama kesuksesan UN (Ujian Nasional) adalah SN (Sabar Nasional). Karena peserta didik ditimpa dengan ujian secara nasional, maka peserta didik pun hendaknya bersabar secara nasional pula. Semoga kesuksesan selalu bersama atau menyertai anak-anak Indonesia, khususnya anak-anak di Pulau Bawean yang merindukan kesuksesan dan keberhsilan. Amin...!

SHARE :
 
Copyright © 2015 Media Bawean. All Rights Reserved. Powered by INFO Bawean