Peristiwa    Politik    Sosial    Budaya    Seni    Bahasa    Olahraga    Ekonomi    Pariwisata    Kuliner    Pilkada   
adsbybawean
Home » » Kaca Benggala
(Refleksi Isra’ Mikraj 1435 H)

Kaca Benggala
(Refleksi Isra’ Mikraj 1435 H)

Posted by Media Bawean on Rabu, 28 Mei 2014

Media Bawean, 28 Mei 2014

Oleh : Ali Asyhar 
Dosen STAIHA Dan Wakil Ketua PCNU



Hasan bin Ali bin Abi Thalib memiliki kebiasaan luhur. Rumahnya selalu dibuka 24 jam untuk melayani musafir. Siapapun boleh mampir dan mengenyangkan perutnya. Suatu hari ada musafir dari Arab pedalaman (Fulan). Setelah kenyang ia bermaksud membungkus makanan untuk oleh-oleh. Hasan bertanya “ Wahai Fulan, untuk siapakah makanan yang engkau bungkus itu?” Fulan menjawab “ Sebelum ke sini, tadi aku melihat orang tua di pinggir kota yang hanya makan roti kering. Alangkah senangnya dia jika aku bawakan makanan darimu”. Hasan menangis tersedu-sedu “ Wahai Fulan, ketahuilah bahwa orang tua itu adalah ayahku yaitu Ali bin Abi Thalib. Ia bekerja keras di kebun kurma supaya aku bisa menjamu para tamu”.

Kisah di atas adalah satu dari beberapa ketaladanan para sahabat Nabi. Ali bin Abi Thalib ikhlas mendermakan dirinya dengan bekerja keras untuk orang lain. Sahabat Nabi adalah segolongan manusia yang mendapat pendidikan langsung dari manusia pilihan Muhamad SAW. Kehidupan para sahabat adalah periode keemasan perkembangan islam. Mereka menyebar ke segenap penjuru dunia dengan membawa misi mulia yaitu mengagungkan agama Allah. Keteladanan para sahabat membuahkan hasil yang gemilang. Islam bersinar dari Jazirah Arab, Afrika, Asia bahkan Eropa Timur dalam tempo singkat.

Terbentuknya kepribadian yang indah ini adalah hasil dari keteladan yang dicontohkan oleh Rasul. Para sahabat melihat langsung tahapan-tahapan kehidupan Nabi. Sebagai manusia biasa Nabi hidup sewajarnya. Menikah, memiliki anak, makan, minum, pergi ke pasar dan bergaul dengan masyarakat. Akhlak yang mulia menghiasi semua peri kehidupan Nabi. Para sahabat menyaksikan bagaimana cara Nabi bertutur kata , mengelola emosi, memberi solusi atas problem masyarakat, mengatur ekonomi dan memimpin warga yang plural. Mereka belajar dari Nabi untuk menjadi orang yang berkarakter berani, tangguh, pemaaf, cerdas, pekerja keras dan visioner. Nabi benar-benar seimbang dalam meletakkan kehidupannya antara menjadi hamba Allah, rasul dan warga masyarakat. Seimbang antara ritualisme dan peran social. Ritual yang dijalankan oleh Rasul selalu beratsar kepada peran social.

Materialisme vs Agama

Manusia membutuhkan keseimbangan antara lahir dan batin. Terpenuhinya kebutuhan lahir dan batin menghasilkan manusia yang berkualitas. Sebaliknya , manusia yang mengabaikan salah satunya akan pincang kehidupannya. Orang yang dikarunia harta melimpah tetapi kering rohaninya maka kerusakan yang akan ia ciptakan. Sebutlah para dictator dunia. Adolf Hitler meyakini bahwa ras Aria adalah keturunan termulia. Akibatnya ia membantai jutaan umat Yahudi Eropa. Sejenis dengan Hitler adalah Mussolini, Idi Amin dan Radovan Karadjik yang membasmi warga muslim Bosnia. Sebaliknya manusia yang dipenuhi dengan ritualisme tapi masa bodoh dengan kebutuhan dunia juga akan menelorkan manusia yang terbelakang pendidikan,ekonomi dan peradabannya.

Sekali lagi, islam adalah agama yag seimbang. Dari itu islam menolak teori Augus Comte yang menyatakan bahwa positivisme,rasionalisme dan materialisme akan menggeser peran agama. Yang terjadi justru sebaliknya. Bahwa semakin orang berfikir rasional maka semakin ia meyakini kebesaran tuhan. Semakin manusia tercukupi kebutuhan materinya maka semakin ia membutuhkan vitamin rohani yaitu agama. Pendapat Augus Comte yang diamini oleh Max Weber dan Emile Durheim bisa dibenarkan jika bertolak dari pemikirannya Karl Mark. Sebagai Begawan teori materialisme Mark meyakini bahwa agama hanyalah satu-satunya harapan bagi masyarakat tertindas. Surga dan balasan hari akhir hanyalah ilusi orang-orang frustasi karena kalah dengan penguasa.

Pendapat Mark ini mentah oleh realitas keagamaan orang-orang kota. Di tengah kematangan finansial,pendidikan dan kesibukan kerja menyebabkan rohani manusia haus sentuhan agama. Masyarakat perkotaan berduyun-duyun membentuk majlis taklim dan tarekat untuk memuaskan dahaganya. Masjid-masjid di perkotaan justru ramai oleh jamaah shalat rawatib dan berbagai kegiatan keagamaan. Tidak hanya itu, tiap-tiap kantor dan perusahaan dipastikan memiliki masjid atau mushala. Mereka rajin mendatangkan para dai untuk sekedar memberi kultum dan sebagainya.

Mari Bangun Pagi

Seorang tokoh Yahudi berujar “ Yang kami takuti dari umat islam hanya satu yaitu ketika jamaah shalat subuhnya seramai shalat jum’ahnya”. Ucapan ini patut kita renungkan. Jika umat islam benar-benar mengikuti sunah Nabi SAW pasti ia akan bangun pagi. Rasulullah mewajibkan dirinya shalat malam lalu rehat sebentar menunggu jamaah shalat subuh. Bisa kita perkirakan bahwa Rasul bangun setengah jam sebelum shalat subuh.

Alangkah indahnya bila umat islam sudah bangun setengah jam sebelum adzan subuh. Ia bisa menunaikan shalat malam, berdzikir lalu berjamaah shalat subuh. Setidaknya ada tiga manfaat bangun pagi : Pertama : untuk kesehatan. Udara pagi sangat baik untuk kesehatan manusia. Kedua : Bisa berjamaah subuh. Ketiga : memiliki waktu yang banyak untuk memulai aktifitas. Sebaliknya, bangun siang akan mengakibatkan penyakit,ketinggalan jamaah shalat dan waktu menjadi sempit.

Buya Hamka selalu membuka pintu jendelanya sebelum adzan subuh. Ia memberi contoh kepada para putranya bahwa dengan membuka jendela pagi hari berarti kita telah membuka pintu-pintu rizki Allah untuk datang.

SHARE :
 
Copyright © 2015 Media Bawean. All Rights Reserved. Powered by INFO Bawean