Media Bawean, 11 November 2014
Oleh: Muhyiddin Yamin*
Intro...Belajar Pada Bali
Dalam waktu yang tidak lama, Pulau Bawean yang diimpikan sebagai pulau pariwisata akan mengalami pergolakan identitas seperti yang terjadi di Bali. Pada waktu rezim orde Baru, di Bali terjadi pembangunan ekonomi yang tampak dalam wujud mass tourism atau pariwisata massal yang secara hakiki dapat diartikan sebagai perjalanan wisata yang melibatkan banyak orang atau rombongan. Hal tersebut menimbulkan kegelisahan baru, orang bali merasa terasing di tanahnya sendiri dan kehilangan identitas kebudayaan. Banyak lahan pertanian milik petani berubah fungsi menjadi resort wisata yang berbasis modernisme dan terjadi pula komersialisasi budaya yang membuat orang bali semakin kehilangan tanahnya.
Seperti di Bali, kebudayaan Pulau Bawean perlahan-lahan juga akan diperhadapkan dengan modernisasi dan westernalisasi yang meruyak di tengah-tengah kehidupan masyarakat Bawean. Ketika hal itu terjadi, masyarakat Bawean yang selama ini santun secara perlahan akan mulai berubah menjadi masyarakat yang sedikit ”nakal” dan lama-lama akan lupa terhadap identitas ke-Bawean-an nya.
De Facto, perubahan sosial merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan suatu masyarakat, termasuk masyarakat Bawean. Aneka bentuk perubahan ini, di satu sisi memang ada yang berdampak positif bagi kemajuan masyarakat Bawean, namun di sisi lain ada pula yang menimbulkan masalah sosial budaya, termasuk di dalamnya lahirnya penyakit-penyakit masyarakat. Penyakit masyarakat ini dapat kita lihat dalam berita-berita di Media Bawean yang memuat tentang berbagai peristiwa yang terjadi di Pulau Bawean beberapa tahun ini, seperti maraknya kenakalan remaja yang disebabkan kecanggihan produk modernisme yaitu teknologi komunikasi.
Memang, secara pemikiran (cara berpikir) saat ini tidak disebut zaman modern lagi, tapi sudah masuk dalam fase postmodern. Masyarakat modern berbeda dari masyarakat postmodern, tidak saja dalam bentuk semakin kuatnya peranan teknologi informasi dalam kehidupan manusia, tetapi juga bertalian dengan perubahan sosial yang mendasar dalam berbagai aspek kehidupan manusia baik aspek ekonomi, sosial, maupun budaya.
Dalam mengatasi problematika tersebut, akhirnya orang-orang Bali membentuk sebuah gerakan kebudayaan dalam rangka untuk menjadi identitas orang Bali dan orang Bali akhirnya mempunyai identitas hingga saat ini sebagai tempat wisata kebudayaan Hindu-Buda yang masih kental.
Reff......Bawean Harus Siap..!
Pembangunanisme yang akan diterapkan di Bawean menuju pulau wisata tentunya akan menyediakan ruang bagi globalisasi untuk mengobrak-ngabrik kehidupan masyarakat Bawean. Kita tidak harus menolak itu, kita hanya perlu persiapan yang matang untuk menghadapi itu. Dari aspek ekonomi misalnya, apakah rakyat Bawean akan sejahtera jika Bawean menjadi pulau wisata? Atau jangan-jangan gagasan pulau wisata tersebut hanya nafsu pembangunanisme pemerintah saja, tanpa memikirkan kehidupan masyarakat Bawean kelak?
Melihat keadaan masyarakat Pulau Bawean saat ini, kesejahteraan tentunya akan menjadi milik rakyat Bawean karena masih sedikitnya Sumber Daya Manusia (SDM) yang ada di Pulau Bawean. Jika SDM di Bawean masih lemah, maka yang akan menguasai perekonomian di Pulau Bawean kelak bukanlah orang-orang Bawean sendiri, tapi orang-orang yang didatangkan dari luar Bawean yang mempunyai SDM yang lebih tinggi. Oleh karena itu, pendidikan adalah modal utama bagi generasi-generasi Bawean untuk mengambil peranan dalam menuju pulau pariwisata yang sejahtera dan tentunya hal ini butuh proses yang panjang.
Sayangnya, dalam paradigma masyarakat Bawean pendidikan tidaklah begitu penting, yang penting adalah bisa makan, membesarkan anak dan hidup damai bersama keluarga. Pendidikan masih seperti apa yang dinyanyikan bang Iwan Fals “pendidikan adalah anak tiri yang kesepian”. Lagu tersebut sesuai dengan kenyataan yang ada di Pulau Bawean, pendidikan memang selalu dinomor duakan oleh masyarakat Bawean.
Dalam sektor sosial budaya, tokoh-tokoh Bawean harus mendirikan suatu gerakan ke-Bawean-an seperti halnya di Bali, Bawean sebagai “Perawan cantik yang molek” harus dijaga dan dilindungi oleh bapak-bapak yang arif dan bijaksana dari pengaruh asing yang akan merusaknya.
Jika tidak demikian, maka yang terjadi adalah masyarakat Bawean akan dilanda sindrom konsumtif akut, dekadensi moralitas, hingga konflik kekerasan antar sesama orang Bawean yang dipicu oleh perebutan sumber ekonomi serta perbedaan memaknai tradisi. Fakta ini bukanlah mengada-ngada atau mencoba untuk menakut-nakuti. Hal ini hanya menyangkut masa depan Pulau Bawean.
Jadi, yang perlu ditekankan sekali lagi dalam tulisan ini adalah siapkah masyarakat Bawean menjadikan Bawean sebagai pulau pariwisata? Baik dari dari sektor ekonomi, sosial, maupun budaya. Inilah pertanyaan mendasar yang lebih penting dijawab sebelum mensosialisasikan tempat-tempat wisata Pulau Bawean untuk go international.
Berkenaan dengan itu maka saya maupun orang yang membaca tulisan ini memiliki obsesi untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas. Oleh karena itu, saya berharap tulisan ini menjadi wacana awal untuk memasuki wacana yang lebih komprehensif dan lebih mendasar baik secara teoretis, filosofis, maupun praksis yang terkait dengan gerakan ke-bawea-an.
*Penulis adalah perantau yang masih mengasah otak di Yogyakarta.