Peristiwa    Politik    Sosial    Budaya    Seni    Bahasa    Olahraga    Ekonomi    Pariwisata    Kuliner    Pilkada   
adsbybawean
Home » , » Kuliah atau Menikah?

Kuliah atau Menikah?

Posted by Media Bawean on Minggu, 18 Januari 2015

Media Bawean, 18 Januari 2015

Sonya Winanda : Pengajar Muda di Bawean

Bibirnya bergetar, matanya merah akibat desakan air mata,tangisannya pecah saat mencium tangan sang nenek yang sedari tadi berdiri mematung di sisi kanan mobil pengantar. Perempuan yang sudah udzur itu tak sedikit pun mengedurkan pelukan, sementara sirine kapal meraung-raung tanda perpisahannya tiba.

Suasana haru demikian pekat. Nanik Ijawati, penerima beasiswa penuh Unuversitas Al-Azhar Indonesia (UAI), berpamitan pada keluarga untuk berangkat ke Jakarta, 28 November lalu. “Ate-ate parajin abelajar, jhe’ sampek atengghel sembhejheng,” bisik sang nenek dalam bahasa Bawean yang berarti “Hati-hati, rajin belajar dan jangan tinggalkan sholat”.

Usia Nanik masih 18 tahun, anak pertama dari tiga bersaudara. Kedua adiknya masih duduk di bangku sekolah, masing-masing di Tsanawiyah dan TK. Sejak lahir, Nanik tinggal di pulau kecil Gili berukuran 400 ribu meter persegi berjarak 2,3 km timur pulau Bawean. Baik Bawean maupun Gili sama-sama tercatat sebagai bagian kabupaten Gresik. Gresik dan Bawean berjarak kurang lebih 120 km perjalanan laut dapat di tempuh empat jam dengan kapal cepat dan 12 jam dengan kapal lambat.

Kaum perempuan, khususnya di pulau Gili, kebanyakan memutuskan menikah di usia muda. Bahkan, menikah selepas sekolah dasar atau menengah sudah menjadi hal biasa. Teguh, salah satu Pengajar Indonesia Mengajar bertugas di sana, mengatakan, “Sangat jarang putra-putri Gili melanjutkan sekolah hingga tingkat universitas. Mereka terkendala biaya dan terbatasnya akses informasi.”

Jika tak ada generator listrik, Gili hanya di temani cahaya bulan dan bintang saat malam hari. Masyarakat di sana belum pernah menikmati aliran listrik dari PLN. Pulau berpenduduk sekitar seribu jiwa itu hanya di aliri listrik dari pukul 18.00 hingga 22.00. sinyal telephon seluler hanya ada di titik-titik tertentu. Maka, setelah listrik pudar, warga lebih memilih tidur.

Di balik segala keterbatasan tersebut , beberapa putra-putri Gili bersemangat melanjutkan pendidikan ; termasuk Nanik. Ia baru saja lulus Madrasah Aliyah (MA) Hasan Jufri, Bawean. Menurut Gus Ali, Kepala MA Hasan Jufri, Nanik salah satu siswa berbakat. Nanik bahkan aktif mengikuti lomba pidato berbahasa Arab.

Nanik tak berani bermimpi besar. Ia takut membebani ibunya. Sejak ayahnya meninggal 2010, ia sehari-hari membantu ibunya, Haliyah, berjualan makanan ringan di madrasah tak jauh dari rumah. Begitu cara mereka bertahan hidup. Maka, Nanik sempat menelan dalam-dalam keinginan untuk kuliah, termasuk memendam cita-cita menjadi guru. Namun, siapa sangka, ia justru dinyatakan lulus sebagai mahasiswa UAI jurusan Sastra Arab. Senang tak terkira ia mendengar kabar tersebut. Tadinya, jika ia tak lulus, pilihannya cuma menikah.

Masalahnya , beasiswa itu hanya menanggung SPP. Biaya pendaftaran, transportasi, akomodasi dan biaya hidup hanya di tanggung mahasiswa. Haliyah, yang semula mendukung putrinya kuliah , ganti mulai cemas. “Nanti Nanik tinggal dimana? Di Jakarta pasti serba mahal, tidak seperti disini.” Ungkapnya khawatir.

Mendengar hal ini, komunitas peduli Bawean yang di gawangi Gus Ali, H. Ma’mang dan basit bergerak cepat menggalang dana dari komunitas Bawean di Qatar untuk meringankan beban Nanik. Para Pengajar Muda dari Yayasan Gerakan Indonesia Mengajar pun menyebarkan kabar ke media sosial untuk mencarikan kakak atau orang tua angkat. Maka, berkat rekomendasi Drs Nadlif Msi, Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Gresik, Nanik juga mendapatkan beaiswa dari Pemerintah Kabupaten Gresik.

Berkah pun tidak berhenti di situ. Berkat prestasinya di semester pertama perkuliahan, Nanik juga mendapatkan Beasiswa Bidik Misi. Mungkin Nanik masih akan sering bersedih karena rindu pada sang ibu dan kampung halaman, atau malah mungkin sempat menyerah. Siapa yang tahu akan jalan yang ia pilih setelah ini? Toh tak ada yang pasti di dunia ini, bukan? Tapi setidaknya, ia dan keluarganya telah menjadi satu dari sedikit masyarakat Gili yang mengambil langkah melompati keterbatasan diri. Setiap orang memiliki keterbatasannya. Namun yang mampu meraih mimpi bukanlah orang pintar, melainkan yag tak pernah menyerah.

SHARE :
 
Copyright © 2015 Media Bawean. All Rights Reserved. Powered by INFO Bawean