Peristiwa    Politik    Sosial    Budaya    Seni    Bahasa    Olahraga    Ekonomi    Pariwisata    Kuliner    Pilkada   
adsbybawean
Home » » Menelisik Eksistensi Pencak Silat Bawean

Menelisik Eksistensi Pencak Silat Bawean

Posted by Media Bawean on Jumat, 13 Februari 2015

Media Bawean, 13 Februari 2015

Sebuah Kajian historis sebagai Aset Budaya Lokal

Oleh : Ahmad Muzakki, S.Pd. (Guru Penor SMAN 1 Sangkapura)


Silat Bawean sama dengan silat melayu lainnya, bahkan silat Bawean corak ragamnya sama banyaknya dengan aliran-aliran silat pada umumnya. Mungkin yang membedakan adalah hanya divariasi langkah serta dituntut untuk lembut (gemulai dan rancak) artinya Lebih banyak menonjolkan Intertaimennya. Agar enak ditonton dan dilihat. Sedangkan teknik kuncian gesutan dan lain-lain sama dengan beladfiri lainnya mungkin hanya berbeda teknik (sedikit). 

Yang perlu saya Informasikan bahwa Silat Bawean yang dibahas komunitas di sini adalah Silat Kemanten atau bahasa Baweannya ” PENCAK PANGANTEN”,. Pencak panganten Bukan ‘POKOLAN” Sebab Pokolan yang sebenarnya tidak pernah Dipelajari orang umum apalgi dipertunjukkan. Bahkan Tidak masuk dalam klasifikasi yang diperbolehkan oleh IPSI. walaupun Pencak Panganten dan Pokolan sama-sama menjadikan langkah sebagai dasarnya.. 1. Pencak Kemanten (mengutamakan Keindahan gerak) 2. Pokolan ada dua macam yaitu, 1. Pokolan yang mengutamakan gerak tangan. 2. Pokolan yang mengutamakan Gerak Kaki Kedua jenis Pokolan ini hanya bertujuan secepatnya melumpuhkan lawan (Tetapi dilarang Keras mendahului menyerang,

Intinya kalau bisa damai atau saling memaafkan Itulah jalan terbaik).. Selebihnya bagi Komunitas Silat yang penasaran dan ingin mengetahu lebih bnayak mengenai Silat Bawean sebaiknya datang lngsung Ke Bawean.. (endy) samber gledek: Kang Endy, Bisa diceritakan sejarahnya? Salam endy: Salam hormat saya dan salam kenal mas james… Saya ini hanya tahu dari cerita orang tua-tua….. Menurut sekelumit orang dari mulut ke mulut. Silat Bawean itu banyak dipengaruhi oleh budaya Jawa dan melayu, sebab penduduk aslinya memang berasal dari Jawa, tepatnya Blambangan, waktu terjadinya perang paregreg.. Kemudian pendatang baru bermunculan dan menetap, seperti Sulawesi (Bugis, Makasar, Mandar), Kalimantan (Banjar, dayak dan lainnya), Sumatra (palembang, Minang, Bengkulu Dll), Madura. 

Kemudian di perkaya lagi oleh masyarakat Perantau asal Bawean yang kembali ke Pulau Bawean setelah puas merantau barang kali. Menjadikan Budaya Khusunya Silat Bawean itu menjadi bervareasi. Soal Keindahan Pencak Panganten, Yang diadopsi dari Budaya Melayu dan dijadikan Adat turun temurun mengakibatkan Silat yang semula kaku dari aliran apapun menjadi lebih luwes dan enak dilihat karena dipertontotnkan pada khalayak umum. Apalagi Sekarang sudah menjadi Komoditas yang bisa bernilai ekonomis (he.he…) bagi yg pandai memanfaatkan speluang lho.. lewat (Intertainment) dan acara-acara budaya, jadi makin luwes saja. 

Sedangkan mengenai Pokolan, Dari tutur pinutur para tetuo sepuh… itupun sangat langka yang ahli dibidangnya… Sebagian berasal dari Sisa-sisa Perajurit Majapahit pimpinan Ranggalawe… yang didalamnya mungkin termasuk orang bawean dan tuban.. makanya Silatnya hampir mirip (bahkan banyak memiliki kesamaan. Yang membedakan adalah hasil akhirnya… Ingat! “Jangan pernah mendahului, kalou diserang dan tidak bisa menghindar apa boleh buat, jalan damai dan maaf lebih diutamakan” ….. Kalau Tuban mungkin lebih lunak.. kalau Pokolan Bawean prinsipnya cepat selesai, cepat selamat…. Tap rata-rata memilih kabuuurrr… he.he… Dan di Pokolan ini, banyak yang dimodifikasi menjadi lebih ringkas dan simple. Yang Asli Bawean Itu Pokolannnya Ringkas dan Simple sementara yang campuran Tuban lebih kepada strategi… Ini tidak saya publikasikan…. Karena pertimbangan.. 

Sulitnya rekan2 melacak yang jenis Pokolan ini. Sudah hampir tidak ada. Kalaupun ada orangnya gak bakalan mau ngasih tahu.. Semoga dapat memberikan gambaran walau sedikit. Setelah adu pedang usai, disusul duel tangan kosong. Keduanya sampai begulingan di atas panggung. Inilah pencak silat Bawean. Atraksi ini biasa ditampilkan pada momen-momen tertentu.

Dulu, pencak silat memang sangat terkenal di Bawean. Hal ini meruipakan bekal wajib bagi seorang yang akan ditasbihkan menjadi lelaki. Pencak silat juga menjadi sarat utama, sebelum kaum lelaki Bawean merantau. Orang yang mahir memainkan pencak silat ini disebut pendekar (dibaca: pan-dhi-kar). Keberadaan seorang pendekar juga keluarganya, sangat dihormati dan ditokohkan oleh warga setempat, karena selain mereka dapat memberikan rasa aman, juga menjadi tumpuan penduduk untuk berobat.

Pasalnya, banyak pendekar menguasai ilmu tabib. Bahkan mereka dapat menyembuhkan orang patah tlang dengan hanya menyiramkan air. Namun, pendekar ini tidak mau disebut dukun, karena mereka tidak memelihara jin, sebagaimana umumnya dimiliki dukun-dukun di Bawean.

Karena ilmunya pula, seorang pendekar juga disegani kawan maupun lawan. Selain itu juga ditakuti. Konon dulu, jika penduduk akan membangunkan pendekar yang tengah tidur, mereka tak boleh menyentuh badannya, sebab bisa menjadi korban jurus reflek sang pendekar.

Caranya, harus berdiri dari jarak sekitar 1 meter, lalu sentuhlah ujung jemari kakinya, sembari memanggil namanya dengan halus. Dengan demikian, si pendekar akan bangun tanpa melukai.

Setiap pendekar memiliki karakteristik ilmu silat berbeda, jurus-jurus ilmu ini mereka adopsi atau menggabungkan ilmu silat dari China, semenanjung Malaysia atau dari Jawa itu sendiri.

Tak heran jika ditemukan pendekar ahli kuntau, juga ada yang ahli memakai senjata tajam, semisal tombak dan trisula (orang Bawean biasa menyebut tik-pie). Adapun daerah yang banyak memiliki pendekar terkenal adalah desa Daun dan Gunung Teguh. Biasanya, para pendekar ini memiliki perguruan silat sendiri. Semakin besar nama si pendekar, semakin banyak pula muridnya hingga merambah daerah lain.

Sungguh menjadi kebanggaan tersendiri bagi anak muda Bawean saat itu, jika menjadi murid seorang pendekar besar atau biasa dipanggil pan-dhi-kar raje, itu. Selain stratanya dalam pergaulan ikut naik, juga dia sama diseganinya oleh kawan maupun lawan.

Karena mengusiknya, berarti tengah membangunkan tidur sang guru. Jika lebih beruntung, si murid akan mendapat warisan berupa ilmu kanuragan khusus, atau pusaka sang guru jika mangkat nanti. Namun ini sangat sulit terjadi, sebab biasanya si guru akan melihat abak-anaknya terlebih dulu.

Umumnya jenis pusaka ini berupa keris, pedang dan tombak. Namun pusaka yang paling populer adalah besi kuning (dibaca: bes-se koneng). Karena bisa membikin pemiliknya kebal senjata. Entah benar atau tidak, karena hingga saat ini saya belum pernah menyaksikan seperti apa dan bagaimana kehebatan besi kuning itu sendiri. Pada saat-saat tertentu, pendekar-pendekar ini turun sdari perguruannya. Saat itu mereka tanding kehebatan masing-masing. Inilah cikal bakal pertunjukan seni pencak silat di Pulau Bawean.

Hingga era 80-an seni pencak silat ini masih ramai dipentaskan bersama kesenian Bawean lain seperti mandiling, samman bahkan bangsawan (saya kupas di bawah), utamanya saat ada pengantin, atau hajatan orang kaya lainnya.

Pementasan pencak silat ini biasanya selalu diiringi tabuhan, dua orang menabuh gendang dan satu orang pemukul gong. Atraksi pertama akan dilakukan oleh seorang lelaki yang selanjutnya bertindak sebagai wasit, yang melakukan jurus persembahan dengan dua pedang.

Selanjutnya, pedang tersebut diserahkan pada dua pendekar yang akan bertarung yang biasanya berbusana khas melayu (sebagai payung budaya di Pulau Bawean), dengan sarung songket digulung.

Dan, mulailah dua pendekar ini bertarung. Sebelum beradu, semula mereka memamerkan keindahan jurus-jurus masing-masing. Hingga ada aba-aba, “Sosor….” Dari sang wasit, maka mereka mulai kontak fisik.

Jika dirasa kontak fisik itu mulai membahayakan, maka sang wasit tadi akan melerai. Begitulah. Yang menang, tentu yang paling bisa bertahan dari gempuran jurus lawan. Namun, setelah era 1980-an pementasan pencak silat ini sudah jarang digelar. Gaung pendekar dan perguruannya pun tak seperti dulu. Meski masih ada, sudah jarang. Meski begitu, tradisi berguru silat masih ada di kalangan remaja Bawean.

Jika si murid dinilai sudah tamat, maka si guru akan melakukan ritual khusus. Saat itu si murid diminta membawa ayam muda putih mulus, beberapa meter kain mori putih, dan rendaman air bunga. Semua ini bisa dibeli di Pasar Sangkapura. Tanpa menyebut pun, biasanya si pedagang akan tahu bahwa itu akan dipakai sebagai pentasbihan sebagai tanda tamatnya belajar ilmu silat.

Soal bagaimana ritual pentasbihan itu, saya sendiri tidak tahu bagaimana ritualnya, karena saya tak pernah berguru silat. Namun yang saya dengar, ritual itu dilakukan pada malam buta.

SHARE :
 
Copyright © 2015 Media Bawean. All Rights Reserved. Powered by INFO Bawean