Peristiwa    Politik    Sosial    Budaya    Seni    Bahasa    Olahraga    Ekonomi    Pariwisata    Kuliner    Pilkada   
adsbybawean
Home » » Mendamba Umat Pemaaf

Mendamba Umat Pemaaf

Posted by Media Bawean on Jumat, 02 Desember 2016


Tulisan Gus Ali Asyhar

Dalam tiga tahun terakhir ini kita menyimak tontonan yang tidak arif. Dimulai ketika pilpres 2014 antara Jokowi dan Prabowo yang maha sengit. Semua kekuatan disorongkan untuk memenangkan jagonya.

Sepertinya hidup ini hanya untuk pilpres. Uang, media, tokoh agama bahkan ayat-ayat suci diajak berpolitik sehingga menggerus kesucian kitab tersebut. Tak lupa sumpah serapah, caci maki bin mengumpat ditampilkan di media cetak dan dikirim hingga pelosok dusun. Dibumbui gambar-gambar tak lucu yang menista.

Selanjutnya, pilpres usai dan Jokowi JK memenangkan kontestasi. Berakhirnya pilpres ternyata tidak mengakhiri kebiasaan mereka mengumpat. Dalam ceramah yang ditampilkan di youtube isinya ful kebencian. Puluhan celaan dilontarkan dari mulur seorang dai, berjubah dan bersorban. Karena jagonya kalah, maka semua menjadi salah. Langkah yang sudah jelas nan terang benderang baik pun menjadi keliru.

Ketika Presiden Jokowi rajin blusukan ke daerah untuk memantau langsung perkembangan infrastruktur, mereka juga memaki Presiden kok ngurusi lapangan, mestinya cukup mengambil kebijakan. Urusan lapangan adalah domain menteri. Mereka lupa bahwa dulu ketika presiden SBY tidak rajin blusukan, juga diumpat bahwa presiden kok hanya duduk dan tidak mau turun langsung ke lapangan.

Amboy bahkan ketika presiden Jokowi sudah berangkulan dan Prabowo, para kelompok pencaci ini masih tidak terima. Mereka menyebarkan tulisan dengan judul Presiden yang tertukar. Alangkah kasihan mereka, yang tidak mau ikhlas menerima realita. Begitu rumit logika dan kehidupan mereka.

Buntutnya, ketika Jokowi dilantik menjadi presiden maka otomatis wakil gubernur (Ahok) juga dilantik menjadi gubernur DKI Jakarta. Api kian membara, demo besar-besaran digelar di balai kota, kantor DPRD dan bundaran HI. Tujuannya hanya satu, Ahok tidak boleh jadi gubernur DKI.

Namun, negara memiliki aturan dan tata cara yang konstitusional. Ahok tetap dilantik. Mereka tetap demo bahkan mereka mengangkat KH.Fakhrurozi sebagai gubernur rakyat. Alangkah kasihan mereka yang tidak mau menerima realita. Pengangkatan KH. Fakhrurrozi pun tak berpengaruh apa-apa. Ahok terus berjalan didampingi Djarot Saiful Hidayat. Mantan Wali Kota Blitar dua periode yang sukses memindahkan warga di kawasan kumuh ke rumah susun.

Waktu terus berlalu, kini tiba saatnya pilkada serentak Pebruari 2017. Untuk DKI, tiga pasangan maju, diantaranya adalah sang petahana yang sejak lama tidak dikehendaki. Kembali cara-cara lama berulang. Umpatan dan makin berseliweran masuk ke semua kuping saban hari.

Ahok kepleset di Kepulauan Seribu dengan menyebut Surat al-Maidah 51. Bak api yang disiram bensin. Emosi tersulut. Demo besar pun kembali digelar yang memaksa agar polisi segera menetapkan Ahok sebagai tersangka. Tak berhenti sampai di situ, mereka kembali akan menggelar demo untuk memaksa polisi menahannya. Tujuannya satu, Ahok tak boleh ikut pilkda 2017.

Tradisi cacian, umpatan dan nafsu berkuasa ala Arab dibawa ke Nusantara. Mengapa bukan sifat pemaaf Nabi SAW yang dibawa? Mengapa bukan sikap jembar hati Nabi Yusuf yang dijadikan referensi? sejarah telah memberi teladan kepada kita betapa Nabi dicaci orang-orang Mekah dengan menuduhnya sebagai tukang sihir, orang gila, ayat al-Quran dikatakan puisi buatan Nabi bahkan mereka menyatakan bahwa al-Quran adalah sihir Muhamad.

Pertanyaannya, apakah Nabi marah lalu mendemo mereka? Tidak. Nabi memaafkan. Sikap ini menjadikan dakwah islam tersiar secepat angin gurun. Andai Nabi langsung membunuh mereka tentu ceritanya menjadi berbeda. Bahkan sang gembong Munafiq, Abdullah bin Ubay bin Salul yang jelas ingkarnya tidak dihukum. Ketika sang munafiq meningggal dunia, maka Nabi datang bahkan menyelimutinya dengan serban. Pun Nabi Yusuf yang memaafkan saudara-saudaranya yang telah membuangnya ke dalam sumur. Yusuf terlunta-lunta sampai dipenjara.

Ketika nasib Yusuf sudah di atas, ia memaafkan saudaranya. Sikap pemaaf ini juga ditiru oleh Gus Mus ketika diumpat dengan kata-kata kasar (ndasmu) di medsos. Beliau memaafkan dan menanggapinya dengan tawa yang renyah. Begitu pula ketika Mbah Maimoen Sarang dimaki seorang mahasiswi, beliau juga lapang dada. Ketika si mahasiswi sowan ke Mbah Maimoen untuk meminta maaf, beliau tersenyum memaafkan, bahkan beliau juga memeluk anak si mahasiswi yang masih kecil. Kita layak meniru Nabi Muhamad SAW, Nabi Yusuf, Gus Mus dan Mbah Maimoen. Bukan meniru kebiadaban ISIS yang amat merugikan dakwah islam.

Ali Asyhar, Ketua STAIHA Bawean dan Wakil Ketua PCNU

SHARE :
 
Copyright © 2015 Media Bawean. All Rights Reserved. Powered by INFO Bawean