Peristiwa    Politik    Sosial    Budaya    Seni    Bahasa    Olahraga    Ekonomi    Pariwisata    Kuliner    Pilkada   
adsbybawean
Home » » Bertransaksi Dengan Aman Ditengah Kompleksitas Sosial

Bertransaksi Dengan Aman Ditengah Kompleksitas Sosial

Posted by Media Bawean on Selasa, 30 September 2008

Media Bawean, 30 September 2008

Oleh: A. Fuad Usfa


1. Pendahuluan

Manusia adalah makhluk sosial, di manapun tidak akan bisa survive hanya dengan seorang diri, melainkan dengan mengembangkan prinsip tolong-menolong. Oleh sebab itu kita mengenal kelompok. Pada kelompok ini terdapat kelompok kecil dan kelompok besar.

Kelompok kecil misalnya keluarga inti, yang terdiri dari ayah, ibu dan anak. Anak dapat bertahan hidup karena bantuan orang tua, orang tua membesarkan anak dengan mengajarkan tata nilai tertentu. Bila seandainya antar keluarga itu dipisahkan oleh jarak teritorial yang saling berjauhan dengan berbagai pengalaman yang berbeda, baik pengalaman pisik ataupun psikis maka akan membawa pada konsekwensi adanya perbedaan tata nilai yang dianut dan dikembangkannya.

Kelompok besar misalnya marga, suku, ras ataupun organisasi-organisasi yang dikembangkan atas dasar kepentingan.

Baik individu maupun kelompok pasti mempunyai kepentingan, dari situ pula transaksi timbul. Transaksi adalah persaksian antar pihak yang satu dengan pihak lainnya, dapat juga disebut perjanjian atau persetujuan antar pihak, misalnya jual-beli, si penjual sebagai pihak yang menyatakan menyerahkan sesuatu barang, sedang pihak pembeli adalah pihak yang menyatakan membayar dengan uang. Contoh lainnya, misalnya utang-piutang, sewa-menyewa, dan berbagai macam lainnya.

Pada masyarakat yang sederhana transaksi cukup dilakukan secara sederhana, oleh sebab kepentingan-kepentingan masih bersifat sederhana dan tata nilai pun masih belum tercampur dengan tata nilai yang datang dari berbagai kelompok, artinya tata nilai masih dalam lingkup tata nilai kelompoknya semata, yang di terima dari masa kecil oleh anggota kelompok itu dan ketergantungan akan kelompoknya masih sangat kuat, sehingga kontrol sosial masih mampu mengendalikan perilaku anggota kelompok.

Berbeda dengan dalam masyarakat yang sudah kompleks, dimana satu persoalan harus dipahami dari berbagai kepentingan yang berbeda, dan individu tidak hanya terpaku dalam satu kelompok saja, melainkan sudah masuk dalam berbagai kelompok yang lainnya, bahkan bisa berpindah-pindah atas dasar kepentingan mereka, misalnya orang Bawean, bahkan ia bukan hanya dalam kelompok orang Bawean saja, misalnya dalam kelompok dagang, kelompok partai politik, kelompok organisasi keagamaan, kelompok persekongkolan ‘mafia’ (barangkali?, naudzubillahi minadalik), kelompok ekonomi, sosial, budaya, profesi dan sebagainya, yang sering antara satu dengan yang lainnya saling bertindih. Dalam kondisi inilah peran hukum sangat urgen, bila hukum tidak mampu mengendalikan, maka kondisi sosial akan sangat memprihatinkan, disini pula moralitas betul-betul diuji. Jadi dalam kelompok yang sudah kompleks sudah sangat komplek pula fariabel yang terkandung di dalamnya. Untuk itu kita tidak bisa membacanya secara hitam-putih, melainkan memerlukan kecermatan dan kecerdasan. Dalam kelompok yang sudah kompleks inilah keamanan dalam bertransaksi sangat dibutuhkan.

Dalam bahasan ini marilah kita berbicara transaksi dalam lingkup hukum perdata, dengan memperhatikan pada kecenderungan kompleksitas problema sebagaimana telah digambarkan sekilas dalam pendahuluan di atas.

2. Prinsip ‘safety’

Sebagaimana telah di utarakan pada tulisan yang lalu, hukum privat itu digantungkan pada peribadi-peribadi, manakala pada peribadi-peribadi itu terdapat kebuntuan, maka Negara sebagai organisasi besar yang melingkupi peribadi-peribadi itu terpaksa turun tangan untuk melakukan penyelesaian dalam sengketa peribadi-peribadi, oleh sebab itu dibutuhkan perangkat aturan tentang peribadi-peribadi, yaitu hukum peribadi-peribadi atau hukum perdata.

Dalam hukum perdata kalau terjadi sengketa antar peribadi, selesaikanlah secara peribadi, bila tidak, maka dapat diselesaikan di Pengadilan. Untuk penyelesaian di Pengadilan diperlukan apa yang disebut dengan bukti atau pembuktian. Pembuktian harus atas dasar apa yang disebut alat bukti.

Alat bukti dalam hukum perdata berbeda dengan alat bukti dalam hukum pidana. Coba perhatikan di bawah ini:

Alat bukti dalam hukum pidana (pasal 184 KUHAP):

1. Keterangan Saksi

2. Keterangan Ahli

3. Surat

4. Petunjuk

5. Keterangan Terdakwa

Sedang dalam hukum perdata (pasal 1866 Burgerlijke Weboek/BW):

1. Surat (pasal 1868 dst, 1874, 1902 BW)

2. Saksi (pasal 1895 dst BW)

3. Persangkaan (pasal 1915 dst BW)

4. Pengakuan (pasal 1923 dst BW)

5. Sumpah (pasal 1929 dst BW)

Alat-alat bukti sebagaimana tersebut di atas itu adalah merupakan alat bukti yang sah.

Oleh sebab itu, bila menyangka, mendakwa (pidana), atau menggugat (perdata), maka perhatikan keberadaan alat-alat buktinya, kita tidak boleh sekedar menyangka atau menggugat, sebab salah-salah seseorang yang sesungguhnya berada pada pihak yang benar malah menjadi salah, bahkan bisa-bisa berurusan dengan pidana, naudzubillahi min dzalik. Maka itu kehati-hatian dalam melakukan transaksi amatlah penting.

Amat banyak kasus dimana orang-orang ‘pandai’ yang merampas hak dengan bertameng di balik hukum dan mereka bisa memenangkan perkara, mengapa?, kuncinya pada bukti.


Bisa pula terjadi, bila mereka melakukan transaksi sekarang, antar mereka bisa jadi tidak ada masalah, tapi siapa yang bisa menjamin di kemudian hari, setelah mereka dipanggil kehadiratNYA, kemudian digantikan oleh generasi setelahnya, yaitu antar anak-anak dan cucu-cucu mereka.

Oleh sebab itu bila melaksanakan transaksi hendaknya dilakukan secara tertulis, dan hendaknya disertai setidaknya dua orang saksi dan berilah tanda tangan kesaksian. Bahkan kalau harus formal, misalnya jual-beli tanah, maka SEGERALAH diformalkan sekalian, JANGAN menunggu-nunggu. Perbuatan semacam itu adalah merupakan perbuatan yang bertanggung jawab, baik bagi para pihak setelah transaksi dibuat maupun setelah masa ke belakang, termasuk pada anak turunnya kelak. Tentu hal seperti itu juga berlaku bagi harta waris, sebab di masa sekarang banyak dijumpai antar saudara kandung (keluarga) rusak hubungan, bahkan saling tuntut di Pengadilan, dan bahkan juga saling membawa perkara tersebut ke perkara pidana, seperti misalnya kasus yang terjadi di Malang tentang sengketa harta waris sudah bertahun-tahun hingga kini belum selesai dan hingga merembet pula pada perkara pidana.

Apakah harus dibuat di atas segel atau materai?, lakukanlah yang demikian itu, oleh sebab merupakan tindakan yang terpuji dan bertanggung jawab, karena telah memenuhi kewajiban kepada Negara, tapi ingat..!!, bahwa itu bukan merupakan sarat sahnya perjanjian. Jadi walau dibuat di atas kertas biasapun perjanjian (transaksi) itu adalah sah adanya, asal telah memenuhi sarat sahnya perjanjian dan yang demikian itu tetep berlaku sebagai undang-undang bagi pembuatnya. Hanya saja bila kelak surat yang tersebut terakhir tadi harus dijadikan alat bukti di Pengadilan harus dileges. Perlu ditekankan disini, bahkan perjanjian tetap sah andaikata dibuat secara lisan sekalipun, hanya saja persoalannya pada pembuktian kelak kemudian hari, bila sekiranya terdapat kasus.

Sebagai catatan: 1). Yang perlu diingat, perhatikan betul-betul redaksi perjanjian serta jangan sekali-kali memberi tandatangan di atas kertas/blangko kosong. 2). Janganlah melihat apakah itu orang pandai atau tidak, guru, dosen, tokoh agama, petani, nelayan, dan sebagainya. Dalam hal ini perlakukanlah mereka dengan sama, tidak perlu sungkan, mesti egaliter, bersikaplah zakelijke. InsyaAllah orang yang beriktikad baik akan sanggup melakukan sesuatu yang baik pula, terlebih lagi untuk masa kehadapan.

Apa saja syarat sahnya perjanjian?. Adapun syarat sahnya perjanjian dapat kita lihat dalam pasal 1320 BW, yaitu:

1. Sepakat

2. Cakap

3. Mengenai suatu hal tertentu

4. Kausa atau sebab yang halal.

Syarat pada nomor 1 dan 2 merupakan syarat subyektif, artinya apabila tidak dipenuhi maka perjanjian dapat dibatalkan. Sedang syarat pada nomor 3 dan 4 adalah merupakan syarat obyektif, artinya apabila tidak dipenuhi maka perjanjian batal demi hukum.

Penulis tidak tahu apakah kasus-kasus berkaitan dengan bukti tulis ini pernah terjadi ataukah tidak di Pulau Bawean, bila tidak, sebagai antisipasi tentu lebih baik atau dalam bahasa lain berbuat yang lebih baik itu adalah lebih utama.

SHARE :

Posting Komentar

 
Copyright © 2015 Media Bawean. All Rights Reserved. Powered by INFO Bawean