Peristiwa    Politik    Sosial    Budaya    Seni    Bahasa    Olahraga    Ekonomi    Pariwisata    Kuliner    Pilkada   
adsbybawean
Home » » Nyalo = Ngorup

Nyalo = Ngorup

Posted by Media Bawean on Selasa, 23 September 2008

Media Bawean, 23 September 2008


Oleh :
H. Thoriqul Haq, MML*
(Wakil Sekjend DPP PKB)


Calo, istilah ini sudah sangat populer dari pelosok desa sampai ke gedung Istana, caranya mudah saja, kalau ada saudara menjadi pejabat dan punya posisi pengabil kebijakan, apalagi jadi pimpinan tertinggi, minta saja jatah, dengan alasan meringankan beban kerja. Pasti di beri dan ditanggung beres, tanpa ada tender.

Gaya calo memang sudah tidak bisa ditahan, menulari siapa saja tanpa membedakan status sosial, dimana mana, orang berebut mangsa mendapatkan upah tanpa norma dan etika, peraturan di negeri kita dianggap pajangan, di kantor-kantor, tempelan tulisan “jangan melalui calo” dijadikan hiasan sok teratur, ucapan para pejabat di koran-koran dan tv-tv, “akan menghapus percaloan” dijadikan komoditi kenaikan pangkat. Bahkan seluruh pejabat dari tingkat desa sampai para pembantu presiden, bahkan juga seorang presiden, para juru kampanye Pemilu, ikut-ikutan ngomel anti calo. Ndak tahu kalau saudara-saudaranya ternyata calo dan koruptor juga.

Lihat saja pola percaloan di kantor-kantor Kepala Desa, buat KTP ada yang bertarif 10 ribu hingga 30 ribu, itu kalau di desa, kalau di kota bisa 100 ribu, bahkan di Jakarta bisa 300 ribu, bisa pesan umur, ganti nama keren, status perkawinan, minta dua jam jadi. Para aparat ini sudah sangat siap dengan segala permintaan warganya, tinggal minta pesanan yang seperti apa, sudah lengkap daftar tarif yang akan disodorkan. Tidak hanya itu, calo-calo ini beroperasi hingga pembuatan segala macam surat, mulai surat keluarga, surat-surat tanah, beberapa surat pengantar ke instansi lain, misalnya, surat pengantar kelakuan baik ke Polsek, surat pengantar nikah ke KUA. Wah, pokoknya semua itu ada tarif yang variatif, tergantung permintaan.

Lain halnya dengan orang-orang yang nyalo disekeliling pak Camat. Beberapa proyek pembangunan jalan antar desa, sudah menjadi makanan empuk yang tak habis-habis. Coba bayangkan, aspal jalan yang anggaran biayanya untuk lima tahun, di-caloi tidak sampai dua tahun. Dan jalan itu-pun kembali berlobang. Namanya calo, alasannya-pun dicaloi juga. Mulai anggaran yang membengkak, biaya akomodasi, tenaga terbatas, perawatan alat-alat, kerusakan mesin, dan tentu banyak lagi.

Sementara di instansi pelayanan unum, imigrasi, kantor polisi, dinas pajak, hingga ke sarana umum, terminal, stasiun, bandara, pelabuhan, toilet, sudah menjadi pelatihan yang turun-temurun, untuk mengembangkan minat dan bakat nyalo. Misalnya, di imigrasi Waru Surabaya, seorang yang naik mikrolet jurusan Joyoboyo-Waru turun di depan kantor imigrasi, pasti ditanyai para calo yang siap menguruskan paspor. Ndak peduli orang tadi mau ngurus paspor atau tidak. Sedangkan di kantor Polisi beda lagi, seorang yang akan ngurus SIM, cukup tanya di pintu gerbang kantor Polisi, pasti akan diantar ke ruang pengurusan dan tinggal duduk, lima menit kemudian pasti akan dipanggil untuk foto, setelah itu selang dua menit, SIM-pun sudah jadi dengan kwitansi pembayaran Rp 250.000. Padahal biaya resminya tidak semahal itu. Lho gimana ndak mau bayar, lha wong sudah jadi.

Memang tidak habis pikir. Tidak selesai disitu. Percaloan ini lebih fulgar, ketika menengok ke sarana umum. Katakanlah terminal bis. Tak percaya ? coba ke Pulogadung, terminal bis antar propinsi di Jakarta Timur, calon-calon penumpang yang akan ke propinsi lain, justru menjadi incaran para calo, loket-loket tiket yang sudah ada seakan tidak berfungsi, di loket atau di calo sama saja, semua sudah ada konspirasi dengan calo. Kalau ndak mau, lebih parah lagi, para calon penumpang ini bisa ditarik paksa, digelandang, dan dibentak. Nyalo-nyalo seperti itu sudah jadi menu harian.

Nah, di pelabuhan Gresik lain lagi. Tiket kapal Gresik-Bawean yang biasanya mudah didapat di loket tiket pelabuhan Gresik, menjadi tidak menentu. kadang ada, kadang tidak ada. Tentu ini adalah lahan “penikam” bagi para calo, yang pasti dengan lebih tinggi, bahkan harga bisa dua kali lipat, atau hingga 300 ribu. Bayangkan banyak warga Bawean yang mempunyai keperluan mendadak dan emergency (darurat-kesusahan) harus disusahkan pula oleh ulah calo. Uh. Memang calo ini kurang ajar..!

Agaknya, praktek-praktek percaloan ini sudah membumi dihati masyarakat, terutamanya sebagai alternatif kerja. Karena cukup mudah, dengan mengandalkan servis mulut yang meyakinkan dan sedikit rayuan, sudah bisa coba-coba menjadi calo.

Lain di masyarakat, lain juga gaya para pejabat. Mereka lebih gila, bahkan nominal yang dipertaruhkan tidak ratusan ribu atau jutaan. Tetapi sudah ratusan juta bahkan milyaran. Apa ndak hebat. Kalau ingin tahu, cobalah nguping ke bursa pencalonan gubernur, bupati atau wali kota. Para makelar jabatan ini tanpa rikuh pakewuh menentukan harga untuk sebuah jabatan.

Bahkan para wakil rakyat di gedung DPR yang merepresentasikan rakyat Indonesia, justru sangat terpupuk untuk saling berlomba menjadi calo terhebat. Coba bayangkan, beberapa kasus anggota DPR yang nyata-nyata ketangkap basah men-calo-i proyek-proyek daerah. Tapi namanya DPR (bukan hanya DPR pusat lho..), alasannya macam-macam. Anggaran komunikasi anggota pansus di DPR, anggaran tambahan karena harus segera diputuskan, anggaran transportasi untuk survey lapangan. Wah, pokoknya alasannya ilmiah, supaya kalau dimuat di koran tidak memalukan.

Gaya-gaya calo ini sangat variatif. Ada yang pakai istilah agen, ada juga yang menggunakan “jasa pengurusan resmi”, kalau di DPR menggunakan pansus, di Pemda menggunakan konsorsium. Cara dapatnya-pun berbeda-beda, ada yang jadi anaknya, saudaranya, kawan dekatnya, bahkan kalau jadi menantunya sangat bisa untuk jadi calo. Tinggal bagaimana ngaturnya.

“Caloisme” tampaknya tengah mewabah. Kondisi ini membuat sebagian orang selalu terfikir dan merasa tidak aman. Orang minta sumbangan-pun akan di curigai, orang mau beli tiket bis jadi bingung, orang mau bertamu juga dicurigai. Memang serba susah. Hampir semua sektor kelangsungan kehidupan sosial sudah menjadi kantong-kantong calo. Dan budaya ini telah menjadi sektor lapangan kerja baru. Mau menyalahkan siapa ? Presiden, Menteri, Gubernur, Bupati, Wali Kota,. Lha wong mereka semua kadang-kadang juga jadi calo!

Terus, apa bedanya nyalo dan ngorup (korupsi), bahasa ini bisa masuk dalam terminologi yang sama. Karena secara relasional hampir mendekati proses kinerja yang sama. Seperti sinonim-nya mencuri, ngutil, ngerampok, ngembat, nyopet. Kalau melihat dari pandangan leksikologinya, akan memiliki perbedaan makna fisik. Karena kondisi sosiologi dan psikologinya berbeda. Tapi imbas sosialnya sama, merugikan dan penipuan terhadap orang lain. Pak Kades, Pak Camat, Bupati, Gubernur merugikan warganya, DPR merugikan rakyat. Dalam terminologi yang lebih komplek, proses ini dinamakan pengistilahan relational meaning.

Ala Kulli Hal. Kesempatan dalam kesempitan ! ah, tidak. Indonesia itu-kan luas. Tapi, mau ke Aceh takut, dijawa sudah penuh, di Papua terlalu sepi, di Kalimantan kebakaran hutan, di Sulawesi konflik, di Timor-Timur sudah pisah, Dimana lagi ?

SHARE :

Posting Komentar

 
Copyright © 2015 Media Bawean. All Rights Reserved. Powered by INFO Bawean