Media Bawean, 23 September 2008

Otonomi daerah menurut Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 adalah kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan perundang-undangan. Pelayanan publik yang diberikan oleh pemerintah daerah akan mempengaruhi minat para investor dalam menanamkan modalnya di suatu daerah. Excelent Service harus menjadi acuan dalam mendesain struktur organisasi di pemerintah daerah. Dunia usaha menginginkan pelayanan yang cepat, tepat, mudah dan murah serta tarif yang jelas dan pasti.
Pemerintah perlu menyusun Standard Pelayanan bagi setiap institusi (Dinas) di daerah yang bertugas memberikan pelayanan kepada masyarakat, utamanya dinas yang mengeluarkan perizinan bagi pelaku bisnis. Perizinan berbagai sektor usaha harus didesain sedemikian rupa agar pengusaha tidak membutuhkan waktu terlalu lama untuk mengurus izin usaha, sehingga tidak mengorbankan waktu dan biaya besar hanya untuk mengurus perizinan. Deregulasi dan Debirokratisasi mutlak harus terus menerus dilakukan oleh Pemda, serta perlu dilakukan evaluasi secara berkala agar pelayanan publik senantiasa memuaskan masyarakat.
Transportasi laut berperan penting dalam dunia perdagangan internasional maupun domestik. Transportasi laut juga membuka akses dan menghubungkan wilayah pulau, baik daerah sudah yang maju maupun yang masih terisolasi. Sebagai negara kepulauan (archipelagic state), Indonesia memang amat membutuhkan transportasi laut. Vallega (2001) dalam perspektif geografis mengingatkan bahwa tantangan globalisasi yang berkaitan dengan kelautan adalah transportasi laut, sistem komunikasi, urbanisasi di wilayah pesisir, dan pariwisata bahari. Karena itu diperlukan kebijakan kelautan (ocean policy) yang mengakomodasi transportasi laut di sebuah negeri bahari. Perkembangan transportasi laut di Indonesia sampai saat ini masih dikuasai oleh pihak asing. Di bidang transportasi laut, Indonesia ternyata belum memiliki armada kapal yang memadai dari segi jumlah maupun kapasitasnya.
Data tahun 2001 menunjukkan, kapasitas share armada nasional terhadap angkutan luar negeri yang mencapai 345 juta ton hanya mencapai 5,6 persen. Adapun share armada nasional terhadap angkutan dalam negeri yang mencapai 170 juta ton hanya mencapai 56,4 persen. Kondisi semacam ini tentu sangat mengkhawatirkan terutama dalam menghadapi era perdagangan bebas.
Sampai tahun 2001 tercatat ada 1.762 perusahaan pelayaran. Dari jumlah tersebut, perusahaan pelayaran yang memiliki kapal berbobot sampai 174 gross ton (GT) ada 126 perusahaan, yang memiliki 175 GT-4.999 GT ada 6.070 perusahaan, dan 5.000 GT ada 129 perusahaan. Sisanya adalah sebanyak 809 perusahaan pelayaran yang kondisinya tidak memiliki kapal atau hanya mencarter.
Perusahaan pelayaran yang mempunyai kapal adalah PT Pelni dengan 44 kapal, Pertamina (35 kapal), Meratus (19 kapal), PT Arpeni (18 kapal), Berlian Laju Tanker (9 kapal), dan PT Pusri dan Bahtera Adiguna masing-masing 7 kapal (Dirjen Hubla). Anehnya, perusahaan yang memiliki kapal bukan perusahaan yang benar-benar memiliki core business dalam angkutan laut, tetapi mereka mengoperasikan kapal tersebut sebagai sarana penunjang kegiatan industrinya.
Peluang pengembangan transportasi laut dan sarana pendukungnya, yakni pelabuhan, diharapkan mampu memberikan kontribusi yang signifikan secara ekonomi. Potensi nilai ekonomi dari sektor ini minimal mencapai 6 miliar-9 miliar dollar AS dengan dasar perhitungan jumlah nilai ekspor dan impor sekitar 90 miliar dollar AS per tahun, di mana 7-10 persen adalah porsi transportasi laut. Kontribusi transportasi laut terhadap PDB sektor kelautan atas harga berlaku tahun 1998 mencapai 7,42 persen.
Dalam membangun transportasi laut, kebijakan kelautan yang dikembangkan harus ditinjau dari empat aspek, yakni pertama dari aspek perangkat lunak. Caranya dengan mengembangkan berbagai kebijakan yang mendukung, termasuk meratifikasi hukum-hukum laut internasional yang mendorong berkembangnya pelayaran nasional. Kalau perlu sebagai langkah awal bekerja sama dengan pelayaran asing baik secara regional maupun bilateral. Indonesia perlu meratifikasi beberapa konvensi internasional menyangkut private maritime law dengan menyesuaikan ketentuan-ketentuan hukum pusat maritim di Indonesia dengan ketentuan-ketentuan internasional tersebut.
Agar armada nasional berkembang, maka peraturan yang memberatkan, kebijakan perpajakan yang terlalu tinggi serta berbagai penyebab ekonomi biaya tinggi lainnya, harus dihilangkan. Berikutnya adalah aspek perangkat keras. Untuk itu perlu kebijakan yang meningkatkan jumlah armada pelayaran nasional, baik untuk kapal niaga maupun kapal penumpang, dengan cara merumuskan kebijakan tentang pengembangan industri perkapalan nasional. Adalah suatu ironi, sebuah negara kepulauan semacam Indonesia tidak memiliki industri perkapalan yang tangguh.
Berkembangnya industri perkapalan diharapkan meningkatkan armada transportasi laut nasional. Ini selanjutnya akan meningkatkan perdagangan domestik antarpulau dan membuka akses keterisolasian bagi daerah-daerah yang berada di pulau-pulau kecil perbatasan seperti Pulau Nias, Natuna, Weh, Miangas dan Bawean. Dengan demikian, perekonomian masyarakat di pulau-pulau perbatasan dapat lebih berkembang. Industri perkapalan akan menunjang jasa perhubungan antarpulau di daerah yang berbasiskan kepulauan seperti Maluku, Riau Kepulauan, Bangka Belitung, NTT, dan NTB, maupun Irian Jaya, sekaligus industri pariwisata baharinya. Daerah-daerah yang memiliki taman laut seperti Bunaken, Wakatobi, Pulau Tujuh, pulau Bawean dan Takabonerate, tentu bisa berkembang lebih baik lagi.
Transportasi laut Gresik-Bawean hingga saat ini masih sangat memprihatinkan. Dalam satu tahun sudah dipastikan ada armada laut yang hengkang dari trayek Gresik–Bawean. Akibatnya, arus penumpang menjadi terhambat. Padahal transportasi laut adalah satu-satunya jalur penghubung Pulau Bawean dengan daratan Jawa. Transportasi laut ini yang menjadi sentra perekembangan ekonomi masyarakat Bawean. Kondisi transportasi laut Gresik Bawean saat ini lebih memprihatinkan. Kebijakan pemerintah menaikkan harga BBM menjadi awal keterpurukan transportasi luat Gresik-Bawean. Tarif kapal Gresik-Bawean akhirnya disepakati naik 25 persen dari tarif lama. Kesepakatan itu berdasarkan rapat kenaikan tarif kapal yang dipimpin Wakil Bupati Gresik Sastro Soewito diikuti perwakilan Camat Sangkapura dan Tambak, Administrator Pelabuhan (Adpel) Gresik dan manajemen PT Inti Makmur Sejahtera selaku pengelola KM Ekspres Bahari 8-B (EB 8-B), pada tanggal 30 Mei 2008.
Tarif lama kelas ekonomi ditambah asuransi dan pas kapal sebesar Rp 105 ribu perorang, kini menjadi Rp 125 ribu. Untuk kelas eksekutif bila ditambah asuransi dan pas kapal menjadi Rp 140 ribu dari tarif lama Rp 115 ribu. Kelas VIP naik menjadi Rp 165 ribu dari tarif lama Rp 135 ribu. Khusus pelajar dan anak-anak bila ditambah asuransi dan pas kapal mengalami kenaikan antara Rp 20 ribu hingga Rp 30 ribu. Kelas ekonomi yang semula hanya Rp 85 ribu menjadi Rp 105 ribu. Sedang kelas eksekutif naik menjadi Rp 115 ribu dari tarif lama Rp 85 ribu dan tarif anak-anak maupun pelajar untuk kelas VIP menjadi Rp 135 ribu dari Rp 105 ribu. Tentunya penetapan tarif baru ini sangat berpengauh terhadap kehidupan masyarakat Bawean. Perlu diketahui bahwa sampai saat ini tarif kapal Gresik-Bawean adalah tarif termahal di Indonesia untuk jarak tempuh 80 mil laut. Masyarakat tidak punya kuasa untuk menolak tarif tersebut karena tidak ada alternatif transportasi laut yang lain.
Sudah empat bulan ini (Mei-Agustus 2008) trayek Gresik-Bawean hanya dilayani oleh satu armada, yaitu KM Ekspres Bahari 8-B (EB 8-B). Kondisi ini semakin memperpuruk pelayanan Dinas Perhubungan Gresik. Akibatnya banyak calon penumpang yang tidak bisa berangkat (Gresik-Bawean PP) karena tiket kapal selalu habis seminggu sebelum keberangkatan. Banyak masyarakat Bawean yang terlantar dan kehabisan bekal di kota Gresik karena harus menunggu lama untuk mendapatkan tiket kapal. Kondisi ini semakin diperparah oleh ulah para calo tiket. Calo tiket kapal selalu menjual tiket dengan harga yang sangat mahal, bisa mencapai 200 % dari harga yang sudah ditetapkan. Prilaku para calo ini seolah-olah mendapat legitimasi dari pihak managemen kapal. Masyarakat yang datang ke kantor Express Bahari untuk membeli tiket selalu pulang dengan kecewa. Bagian tiketing operator tersebut selalu mengatakan tiket sudah habis sampai keberangkatan untuk minggu depan. Malah masyarakat diarahkan untuk membeli tiket lewat calo. Masyarakat yang tidak sabar untuk berlayar ke Bawean memilih melakukan pelayaran lewat Tuban dan Madura. Tentunya dengan perahu kayu yang tidak mempunyai standart keselamatan.
Melihat kondisi transportasi laut Gresik – Bawean tersebut tidak membuat Pemerintah Kabupaten Gresik dan Dinas Perhubungan untuk segera mencari solusi alternatif. Menambah armada, dengan mengundang investor untuk berinvestasi pada sektor transportasi laut Gresik-Bawean atau Pemkab Gresik membeli sendiri armada khusus penyebangan Gresik-Bawean. Pun Dinas Perhubungan Gresik terlihat belum serius menyikapi masalah diatas, terbukti tidak ada penambahan jadwal kapal walau terjadi penumpukan calon penumpang. Konspirasi antara Manajeman KM. Express Bahari dengan para colo tiket belum juga diusut tuntas. Apalagi pada musik mudik lebaran. Selalu saja transportasi laut menjadi persoalan besar bagi masyarakat Bawean, tapi tidak bagi Pemkab Gresik dan Dinas Perhubungan Gresik. Hal ini karena tidak ada solusi yang progresif atas persoalan pelayana public tersebut.
Posting Komentar