Peristiwa    Politik    Sosial    Budaya    Seni    Bahasa    Olahraga    Ekonomi    Pariwisata    Kuliner    Pilkada   
adsbybawean
Home » » Birokrasi Dan Pemasungan Demokrasi

Birokrasi Dan Pemasungan Demokrasi

Posted by Media Bawean on Kamis, 06 November 2008

Media Bawean, 6 November 2008

Oleh : Musyayana

(Sebuah Gugatan Untuk Arogansi Oknum Kecamatan Sangkapura)

Cita-cita demokrasi adalah terwujutnya tatanan masyarakat yang adil, sejahterah, berdaulat dan demokrastis. Otonomi daerah adalah bagian dari setrategi untuk mewujudkan cita-cita tersebut. Dimana daerah punya wewenang penuh untuk mengatur daerahnya. Tapi bukan pada konteks memanfaatkan otoritas dan kekuasaan untuk menindas rakyat yang dipimpinnya. Dimana dengan otonomi daerah diharapkan lahir regulasi-regulasi yang responsif terhadap kepentingan rakyat, bukan atas kepentingan kelompok penguasa dan kroninya.

Posisi birokrasi dalam otonomi daerah sebagai bapor (barisan pelopor) dalam mewujudkan cita-cita demokrasi. Dimana dalam konteks sejarah Indonesia, birokrasi adalah representatif dari kekuasaan negara yang menjadi tembok pembatas antara negara dan rakyat. Pemanfaatan peran birokrasi inilah yang menjadi awal perilaku korup birokrasi. Pada era reformasi dengan semangat demokrasi mencoba merobohkan tembok pembatas kekuasaan negara. Harapannya negara menjadi lebih dekat dengan rakyat; responsif terhadap kepentingan rakyat, lahir regulasi yang anti kekuasaan, birokrasi yang bersih (bebas dari kolosi, korupsi dan nepotisme).

Konteks Birokrasi Di Bawean

Demokrastisasi kebijakan pelayanan publik menjadi sebuah kewajiban. Dimana pelayanan publik menjadi arus komunikasi antara pemerintah dan rakyat . Birokrasi berkewajiban membangun pelayanan publik yang nyaman bagi rakyat, bukan lagi menjadi alat kekuasaan negara. Reformasi pelayanan publik bukan hanya berlaku untuk wilayah perkotaan, namun seluruh wilayan Indonesia, termasuk reformasi pelayanan publik di pulau Bawean.

Menjadi tugas masyarakat, khususnya lembaga-lembaga NGO, LSM dan Media untuk memonitoring pelaksanaan otonomi daerah dan reformasi pelayanan publik. Begitu juga reformasi birokasi dan pelayanan publik di pulau Bawean.

Sampai saat ini perilaku birokrasi di pulau Bawean masih mencerminkan perilaku birokrasi di zaman orde baru, dimana masyarakat diposisikan sebagai target dari kekuasaan.

Pada konteks monitoring reformasi pelayanan publik, peran media sangat diperlukan. Dimana media menjadi transformasi gagasan dan berita. Sejak runtuhnya kekuasaan orde baru maka pemasungan atas hak-hak media (cetak dan elektronik) pun seharusnya telah runtuh. Harapnnya media akan tampil sebagai agen perubahan untuk mengawal demokrasi sejati di republik ini. Ini menjadi keharusan yang tidak bisa ditawar lagi.

Media Bawean sampai saat ini menjadi satu-satunya jawaban bagi terbukanya kran komunikasi antar masyarakat Bawean di penjuru dunia, menjadi media yang sangat informatif, dan menjadi alat mempercepat proses demokrastisasi di pulau Bawean. Fakta pemasungan hak-hak media dalam rangka menghambat arus transformasi gagasan dan berita terjadi di pulau Bawean, dimana MEDIA BAWEAN menjadi korban dari arogansi birokasi di Bawean.

Menjadi tugas pokok media untuk memberitakan temuan fakta apapun di masyarakat, pun fakta bobroknya perilaku birokrasi. Kasus Media Bawean dan oknum kecamatan Sangkapura adalah bukti sikap reaksioner sekcam sangkapura (Wardi). Dimana pada kasus ini terjadi insinkronikasi alibi antara Camat dan Sekcam Sangkapura.

Camat Sangkapura (Suhaemi) mengatakan bahwa tutupnya kantor kecamatan pada 30 Oktober jam 13.30 wib karena pengawai kecamatan lembur di malam hari. Lembur bukan menjadi alasan yang rasional bagi tutupnya kantor kecamatan. Karena kecamatan adalah kantor pemerintahan yang kerjanya diatur oleh undang-undang, bukan lembaga swasta yang mana kewenangan apapun atas kebijakan direktur.

Sedangkan alasan Sekcam "Takut kambing masuk dalam kantor kecamatan Sangkapura”.

Alasan Sekcam ini pun termentahkan oleh Peraturan Desa Sawahmulya Nomor 04 Tahun 2008 tentang larangan melepas dan menambat ternak peliharaan di tempat umum.

Tidak ada alasan apapun bagi oknum kecamatan Sangkapura untuk mengkebiri hak-hak media untuk memberitakan kejadian-kejadian faktual di masyarakat. Karena hal ini telah diamanatkan dalam otonomi daerah, yaitu peran serta media dalam membantu percepatan proses demokrasi.

Sikap Dedi (Satpol PP Sangkapura) yang militeristik sangat jauh dari konteks alam demokrasi di Indonesia. Mengancam dan mengintimidasi adalah bentuk-bentuk perilaku militer yang sudah ketinggalan zaman. Satpol PP adalah perangkat negara untuk membantu suksesnya pelayanan bagi masyarakat, bukan lagi menjadi alat birokrasi. Saat ini rakyat lah pemegang penuh kekuasaan di republik ini, bukan pemerintah. Jadi seharusnya Satpol PP menjadi alat bagi rakyat bukan birokrasi. Tentunya perilaku arogan Sekcam dan Dedi Satpol PP mendapat legitimasi dari Camat Sangkapura. Disinilah kapasitas dan kinerja Camat Sangkapura mulai kita sangsikan.

Dalam kasus ini Birokrasi Kecamatan Sangkapura telah menjadi musuh bagi tegaknya demokrasi. Ketika menjadi musuh bagi tegaknya birokarsi maka secara otomatis akan menjadi musuh bersama bagi kader-kader revolusiner pulau Bawean.

Pemkab Gresik harus responsif terhadap perilaku oknum kecamatan Sangkapura. Membiarkan kondisi ini sama saja dengan sepakat atas penindasan terhadap nilai-nilai demokrasi. Reformasi birokrasi harus benar-benar direalisasikan pada birokrasi di Gresik, bukan lagi sekedar menjadi wacana.

“Tunduk Tertindas atau Bangkit Melawan, Sebab Mundur adalah Penghianatan. Berjuang Bersama Rakyat Merebut Demokrasi Sejati !!”

SHARE :

Posting Komentar

 
Copyright © 2015 Media Bawean. All Rights Reserved. Powered by INFO Bawean