Peristiwa    Politik    Sosial    Budaya    Seni    Bahasa    Olahraga    Ekonomi    Pariwisata    Kuliner    Pilkada   
adsbybawean
Home » » Konservatisme Dan Pragmatisme Di Desa

Konservatisme Dan Pragmatisme Di Desa

Posted by Media Bawean on Kamis, 27 November 2008

Media Bawean, 27 November 2008

Oleh: Musyayana

Ketika kebijakan otonomi daerah dan otonomi desa diterapkan pada tahun 2001, desa sebagai basis pemerintahan paling bawah mulai melakukan proses adaptasi. Langkah-langkah restrukturisasi mulai dilakukan, meskipun mempunyai derajat yang bervariasi antara satu desa dengan desa yang lain. Masyarakat dan pemerintah secara bersama-sama mulai menciptakan good governance, suatu tatanan pemerintahan yang bersih dan terkontrol. Bagi mereka yang punya cita-cita membangun kehidupan sosial politik yang baik, sepertinya sekaranglah waktu yang tepat untuk mempraktikkan the real democracy.

Ada dua isu penting berkaitan dengan good governance dan demokrasi desa adalah partisipasi dan profesionalisasi. Secara normatif, keterlibatan masyarakat dalam proses politik menjadi syarat mutlak, karena dengan partisipasi akan melahirkan kontrol masyarakat atas jalannya pemerintahan. Jika masyarakat memiliki ruang dan kapasitas untuk melakukan kontrol yang dilandasi oleh aturan main yang jelas dan tegas, maka penyalagunaan wewenang dalam pengelolaan pemerintahan relatif dapat dieliminasi. Disinilah persoalan itu muncul. Seberapa besar kapasitas yang dimiliki masyarakat untuk menggunakannya sebagai mekanisme kontrol? Faktanya mekanisme kontrol masyarakat hanya sebatas horisontal sedangkan kran pada relasi vertikal tidak terbuka lebar kendati potensi dan kapasitas sudah tersedia. Meskipun atmosfir perubahan telah merebak dan menemukan mementumnya di era reformasi pada level grassroot, eksperimentasi secara praksis belum bisa dilakukan. Kultur feodal seringkali dianggap sebagai faktor penghambat, selain problem struktural seperti ketidakjelasan sistem kontrol yang disepakati. Kekuasaan dominatif yang terwujud dalam relasi patron-client masih mendapatkan toleransi untuk hidup, terutama dalam urusan politik. Misalnya sistem “penokohan” dalam pemimpin desa tidak dibarengi oleh kesadaran kritis masyarakat, dan menjadi ladang kemapanan kultur harmoni atau anti konflik.

Diluar ketidakoptimalan fungsi institusi sosial dalam proses politik di tingkat desa, dengan terbentuknya Badan Perwakilan Desa (BPD), sebenarnya telah menumbuhkan harapan baru. BPD dianggap sebagai urat nadi perwujudan demokrastisasi di tingkat desa. Memang agak sulit mewujudkan demokratisasi jika hanya mengandalkan partisipasi warga baik secara personal maupun kelembagaan, tanpa diikuti secara integral kemampuan eksekutif secara memadai. Disinilah problem profesionalisme patut kita koreksi. Dimana sistem kontrol sebagai landasan akuntabilitas lembaga publik yang memadai sebenarnya tidak secara positif berkolerasi bagi lahirnya kesejahteraan warganya, jika pengelolaan sistem pemerintahan tidak dibarengi dengan kemampuan aparat birokrasi desa didalam menjawab segala kebutuhan warga. Tentunya profesionalisme disini tidak hanya dipahami sekedar pemenuhan sumber daya manusia yang kapabilitas. Misal; faktor pendidikan. Tetapi lebih sekedar itu adalah aparat pemerintahan hendaknya mendapatkan legitimasi kuat dari warga desa pemilihnya, memiliki visi dan atau wawasan pemberdayaan dan demokratisasi, merintis dan membangun jaringan diluar desa dalam rangka pertarungan kapasitas yang kooperatif, serta memiliki keberanian dalam melakukan perubahan dihadapkan pada sikap konservatisme yang hingga saat ini masih mengakar dalam kesadaran aparat birokrasi itu sendiri.

Konservatisme sendiri terwujud dari keengganan aparat untuk melakukan perubahan sistem menuju struktur dan mekanisme yang demokratis. Sisa-sisa kultur lama memang menjadi kendala tersendiri bagi reformasi biokrasi. Kendati kepala desa yang konon mempunyai segudang visi perubahan untuk membawa institusi pemerintahan desa ke arah yang profesional, tapi kenyataannya hampir semua institusi itu terbukti tidak didukung oleh kemampuan staf aparat yang secara integral mampu mengadaptasikannya. Dimana acapkali langka-langka personal selalu terbentur oleh mekanisme formal. Akibatnya, one man show oleh sang kepala desa tidak dapat dihindarkan. Jikalau demokrasi dipahami sebagai proses transformasi kelembagaan dan bukan personal, tentunya langkah-langkah “jalan pintas “ tersebut tidak cukup prospektif.

Sikap prakmatisme menjadi fakta lain yang menjadi penghambat proses demokratisasi. Pragmatisme banyak terjadi dalam bentuk pelembagaan money politic, yang saat ini sedang gencar diserang oleh kaum reformis. Harus diakui secara jujur, meskipun pilihan memberantas Korupsi, Kolosi dan Nepostisme (KKN) telah menjadi good will secara kolektif, namun semua itu masih dalam kesadaran semu. Dalam berbagai kasus ditunjukkan bahwa pada setiap pemilihan pemimpin masih disertai “sogokan” sebagai tiket untuk menduduki jabatan politik formal. Disini kita butuh solusi strategis untuk mengikis budaya dan sikap konservatisme dan pragmatisme di masyarakat.

SHARE :

Posting Komentar

 
Copyright © 2015 Media Bawean. All Rights Reserved. Powered by INFO Bawean