Peristiwa    Politik    Sosial    Budaya    Seni    Bahasa    Olahraga    Ekonomi    Pariwisata    Kuliner    Pilkada   
adsbybawean
Home » » Catatan Anak Kecil, Menuju 2009 Mencermati Dinamika Politik Masyarakat Pulau Bawean

Catatan Anak Kecil, Menuju 2009 Mencermati Dinamika Politik Masyarakat Pulau Bawean

Posted by Media Bawean on Selasa, 24 Februari 2009

Media Bawean, 24 Februari 2009

Oleh As’ari JS.

Politik terkait dengan kekuasaan. Aktifitas politik adalah aktifitas untuk mendapatkan dan mempertahankan kekuasaan. Tidak sedikit dalam mewujudkan keinginan politiknya menggunakan cara-cara yang melanggar aturan dan moral. Maka terbentuklah image bahwa politik itu kotor. Di samping melanggar aturan dan moral, aspirasi dan kehendak rakyat yang harus diperjuangkan dikesampingkan demi kepentingan individu dan kelompok.

Dulu politik itu mulia, untuk menjaga dan mengatur masyarakat, membentuk dan melestarikan kebersamaan sehingga memungkinkan sebuah komunitas dari berbagai level dan berbagai aliran keagamaan maupun politik bersama-sama membangun masyarakat kota (polis) lebih baik. Maka Aristoteles salah satu pencetus ilmu ini menyebut sebagai seni tertinggi untuk mewujudkan kebaikan bersama ia juga menyebut semua cabang ilmu berada dikendali ilmu politik.

Kemudian Islam datang dengan konsep rahmatan lil alamin. Tentu saja politik juga masuk di dalamnya, karena Islam adalah sebuah doktrin yang universal. Berbeda dengan Aristoteles, Ibnu Taimiyah menyebut semua kewenangan dalam Islam tujuannya hanyalah amar makruf nahi munkar. Pada hakekatnya—tersimbol dalam tugas pengawasan atas orang-orang yang memiliki kekuasaan—berarti mewujudkan partisipasi politik rakyat dalam segala perkara-perkara umum dan juga dalam hukum, berawal dari kewajiban memberikan nasehat (yang tulus) yang mana itu telah diperintahkan oleh Rasulullah. Begitula Abdul Khaliq Farid menjelaskan.

Dari pemaparan diatas berarti ada dua kelompok penguasa yang menjalankan roda kekuasaan di bumi ini untuk mewujudkan kemaslahatan, yaitu pemimpin politik (penguasa) dan pemimpin keagamaan (ulama). Dalam Islam kebaikan masyarakat ditentukan dua golongan ini, di samping juga masyarakat itu sendiri. Nah, diantara dua golongan itu, ulama, kiai (atau sejenisnya) yang mempunyai tanggung jawab untuk memberikan nasehat menempati hirarki tertinggi dalam keagamaan seharusnya juga dalam politik apalagi Indonesia mayoritas Islam dan Bawean adalah 100% Islam.

Untuk meminimalkan kesalahpahaman, penulis akan mengartikan dulu arti ulama, penguasa, dan masyarakat. Quraish Shihab, mengartikan ulama orang yang mempunyai pengetahuan ayat Allah baik yang bersifat kauniyah (fenomena alam) dan quraniyah yang kemudian menimbulkan rasa takut (takwa) kepada Allah. Dalam ilmu sosial predikat ulama tidak hanya kedalaman ilmu agama, tetapi juga berkaitan dengan akhlak dan mendapat pengakuan masyarakat. Pengertian ini tersimbol pada seorang kiai, ustadz/ustadzah yang memiliki lembaga pendidikan keagamaan atau dan yang mengajarkan ilmu agama. Penguasa dalam Islam diartikan ulil amr orang yang memimpin kelompok, masyarakat, dan lebih luas negara. Yang masuk kategori ini adalah Presiden, Gubernur, Bupati, Kepala Desa dan Dusun dan unit terkecil Ketua RT, selain itu yang masuk dalam kategori ini adalah wakil rakyat yang duduk di lembaga DPR/D dan MPR. Sedangkan masyarakat adalah orang yang tidak mempunyai otoritas untuk memimpin secara formal dan informal, atau disebut rakyat.

Sebagaimana dikatakan diatas, ulama menempati posisi yang tinggi dan strategis, ia juga simbol agama, dan penegak atau polisi moral. Tugasnya adalah beramar makruf nahi munkar diranah manapun termasuk di dunia politik. Namun politik bagi ulama Sunni adalah untuk mewujudkan izzul islam wal muslimin. Itulah fungsi ulama sesungguhnya. Ironisnya figur ulama sebagai penegak moral dan simbol agama juga terlibat aktifitas politik praktis yang berorientasi kekuasaan sebagaimana yang dijalankan penguasa. Ulama berlomba-lomba mendirikan partai dan melibatkan diri dalam partai. Sehingga praktis tidak hanya simbol keagamaan hilang pada diri ulama perannya pun menjadi terabaikan. Perjuangan politik ulama dulunya lebih berorientasi pada politik amar makruf nahi munkar, politik kerakyatan yang memperjuangkan kemashlahatan umat, bangsa dan negara.

Posisi tinggi ini, ternyata tidak di senangi bisa juga tidak disadari oleh banyak ulama dan memilih terlibat hiruk-pikuk dan pengapnya politik yang terdistorsif dan terstigma negatif. Pada akhirnya, tidak hanya politisi dengan berbagai sebutan negatif menjadi musuh masyarakat ulama pun seakan telah menjadi musuh masyarakat juga. Maka tidak heran bila ulama dengan fatwa-fatwanya tidak diikuti lagi. Ulama tidak hanya menjadi alat dominasi elit politik tetapi juga menjadi alat legitimasinya. Contoh, setiap lima tahun sekali atau setiap ada kepentingan elit politik tertentu ulama baru didatangi dengan seribu janji yang mengawang di langit dan setiap momen itu pula ulama terpegaruh dengan janji-janji kosongnya. Maksud terpengaruh disini, mereka (ulama) kemudian menyerukan kepada santri dan pengikutnya untuk mendukung salah satu calon elit tertentu. Maka kemudian terjadi tarik-menarik yang tak jarang berakhir dengan perselisihan dan perpecahan. Padahal sudah jelas dalam agama tidak menginginkan sebuah perpecahan dan harus saling mendamaikan sebuah perselisihan antar saudara, apalagi saudara seiman dan seagama (baca: Ali Imron: 103 dan Al-Hujarat: 10).

Ternyata pesan-pesan langit yang pernah dibawah turun Nabi Muhammad kembali tergantung dilangit dan sungguh sampai saat ini masih sulit dibawah turun kembali ke bumi. Perpecahan baik yang bersifat politik atau pun tidak sudah mulai tampak tidak hanya pada level nasional tetapi juga pada level masyarakat lokal yang identik masyarakat tradisional yang masih menjunjung tinggi nilai-nilai kebersamaan. Aspirasi politik masyarakat Bawean yang mayoritas berpaham Nahdlatul Ulama, tentu saja juga akan terpolarisasi kebeberapa aliran politik yang ada.

Masyarakat Bawean adalah masyarakat Islam—untuk tidak menyebut masyarakat yang masih berpendidikan rendah—masih kurang dari informasi-informasi terutama terkait Pemilu 2009 yang tinggal hitung hari, tentu saja merupakan potensi yang cukup besar untuk dimanfaatkan partai-partai baik yang berbasis nasionalis apalagi yang berbasis agama. Siapa lagi kalau bukan pihak yang betul-betul netral, dalam hal ini seharusnya dimainkan ulama yang mengayomi semua golongan.

SHARE :

Posting Komentar

 
Copyright © 2015 Media Bawean. All Rights Reserved. Powered by INFO Bawean