Media Bawean, 7 Maret 2009
Oleh: A. Fuad Usfa
Kiprah wanita dalam sektor publik selalu menjadi pebincangan dari dahulu hingga kini, namun disebalik perbincangan itu sejarah telah berukir sejalan dengan peredaran masa.
Dalam hukum perdata barat hingga memasuki abad XX masih memandang wanita belum cakap. Pada pasal 130 BW (Burgerlijke wet Boek) yang merupakan konkordan dari hukum perdata Belanda yang juga konkordan hukum perdata Prancis yang berakarkan hukum Romawi yang mempunyai banyak pengaruh terhadap hukum modern menyatakan prinsip bahwa setiap orang dianggap cakap kecuali: 1. Orang yang belum dewasa (belum berumur 21 tahun); 2. Orang yang di bawah pengampuan; serta 3. Orang perempuan yang telah kawin. Dari konteks ini dapat dipahami bila di barat muncul gerakan emansipasi yang radikal hingga terujudnya kondisi sosio-kultural sebagaimana terjadi saat ini. Hal ini tak ubahnya seperti munculnya gerakan kebangkitan kembali di bidang pemikiran yang menyebabkan ledakan menggeser agama pada sudut tepi. Di Indonesia ketentuan point 3 telah bertentangan dengan ketentuan dalam Undang-undang perkawinan,
Semenjak masa-masa awal Islam, kaum wanita Islam telah mempunyai posisi keterlibatan bersama kaum laki-laki. Ummu Athiyah turut ke medan perang buat menyediakan makanan, menjaga tenda dan perbekalan serta merawat korban perang perajurit Islam, demikian pula Ummu Sinaan. Aisyah dan Ummu Sulaiman turut beserta Rasulullah SAW dalam peperangan Uhud, Aisyah mengantarkan kendi-kendi kepada para pahlawan, bahkan dalam Perang Unta Aisyah berada pada barisan terdepan sebagai panglima perang, beliau pula sebagai salah seorang perawi hadis terkemuka. Zat Ul Himmah (Zimmah) satriawati di banyak medan perang bahu membahu dengan para pahlawan yang paling berani.
Dalam abad V Hijriyah Syaikha Suhda yang digelari Fakhr un Nisa (kemegahan wanita) memberi kuliah di depan umum di masjid besar Bagdad kepada masyarakat mengenai kesusasteraan, retorika dan puisi. Diskusi-diskusi tak lagi membedakan laki-laki dan wanita, mereka punya hak yang sama dalam berpendapat. Sebut lagi sejumlah nama cendekiawati seperti Labienah, Fatimah, Khadijah, Maryam di Asyibilia, Radiyah yang digelari Najmah Sa’udah (bintang bahagia), Khamdah binti Ziyad di Andalusia, Rabiah Adawiyah dalam jajaran sufi, Syifa’ binti Abdullah yang mana ia atas perintah Rasulullah SAW mengajari Khafsah ilmu tulis-menulis dan selanjutnya Khafsah masuk dalam golongan penulis Wahyu.
Pada paruh abad XIII Masihi Syajaratudduur tampil memimpin tampuk pemerintahan Islam, menjadi Sultanah dengan bergelar al-Mu’tashimat al- Shalihiyah Ummu Khalil Ishmad Dunya Waddin Malikul Muslimin, beliau menjadi sultanah berkuasa penuh 1249–1257 dan mati terbunuh karena kekuasaan direbut lawan politiknya.
Dalam percaturan politik di nusantara wanita Islam tampil terdepan justru dalam pemerintahan kerajaan Islam. Kita tengok kerajaan Islam Aceh abad XVII, 1641–1671 kerajaan dipimpin oleh ‘raja wanita’ bergelar Sultanat Taj’ul Alam Syafiyatuddin Syah, disebut pula Seri Alam Permaisuri, setelah beliau mangkat penggantinya wanita pula bergelar Sultanat Naqiatul Din Nurul Alam, hingga beliau mangkat 1678, selanjutnya digantikan oleh Sultanat Mayat Syah (wanita pula) yang memerintah hingga 1688, setelah beliau mangkat lalu penggantinya wanita pula yaitu Sultanat Kamalat Syah yang memerintah hingga 1699.
Dalam pergerakan kemerdekaan Indonesia kita lihat tampilnya wanita Islam di berbagai lapangan, seperti panglima perang Cut Nyak Dien, Kartini, serta lainnaya yang bergerak di berbagai bidang.
DAFTAR BACAAN
Hamka, 1993, membahas Soal-soal Islam, ed. H. Rusli – Afif, Pustaka Panji Mas, Jakarta M. Hadi Ma’rifat, 2007, Sejarah Al-Qur’an, Al-Huda, Jakarta
Syed Ameer Ali, tth, Api Islam, Sejarah Evolusi dan Cita-cita Islam dengan Riwayat Hidup Nabi Muhammad SAW, Bulan-Bintang.
TM. Hasybi Ash-Shiddiqeqy, tth, Lapangan Perjuangan Wanita Islam, Menara Kudus.
Oleh: A. Fuad Usfa
Kiprah wanita dalam sektor publik selalu menjadi pebincangan dari dahulu hingga kini, namun disebalik perbincangan itu sejarah telah berukir sejalan dengan peredaran masa.
Dalam hukum perdata barat hingga memasuki abad XX masih memandang wanita belum cakap. Pada pasal 130 BW (Burgerlijke wet Boek) yang merupakan konkordan dari hukum perdata Belanda yang juga konkordan hukum perdata Prancis yang berakarkan hukum Romawi yang mempunyai banyak pengaruh terhadap hukum modern menyatakan prinsip bahwa setiap orang dianggap cakap kecuali: 1. Orang yang belum dewasa (belum berumur 21 tahun); 2. Orang yang di bawah pengampuan; serta 3. Orang perempuan yang telah kawin. Dari konteks ini dapat dipahami bila di barat muncul gerakan emansipasi yang radikal hingga terujudnya kondisi sosio-kultural sebagaimana terjadi saat ini. Hal ini tak ubahnya seperti munculnya gerakan kebangkitan kembali di bidang pemikiran yang menyebabkan ledakan menggeser agama pada sudut tepi. Di Indonesia ketentuan point 3 telah bertentangan dengan ketentuan dalam Undang-undang perkawinan,
Semenjak masa-masa awal Islam, kaum wanita Islam telah mempunyai posisi keterlibatan bersama kaum laki-laki. Ummu Athiyah turut ke medan perang buat menyediakan makanan, menjaga tenda dan perbekalan serta merawat korban perang perajurit Islam, demikian pula Ummu Sinaan. Aisyah dan Ummu Sulaiman turut beserta Rasulullah SAW dalam peperangan Uhud, Aisyah mengantarkan kendi-kendi kepada para pahlawan, bahkan dalam Perang Unta Aisyah berada pada barisan terdepan sebagai panglima perang, beliau pula sebagai salah seorang perawi hadis terkemuka. Zat Ul Himmah (Zimmah) satriawati di banyak medan perang bahu membahu dengan para pahlawan yang paling berani.
Dalam abad V Hijriyah Syaikha Suhda yang digelari Fakhr un Nisa (kemegahan wanita) memberi kuliah di depan umum di masjid besar Bagdad kepada masyarakat mengenai kesusasteraan, retorika dan puisi. Diskusi-diskusi tak lagi membedakan laki-laki dan wanita, mereka punya hak yang sama dalam berpendapat. Sebut lagi sejumlah nama cendekiawati seperti Labienah, Fatimah, Khadijah, Maryam di Asyibilia, Radiyah yang digelari Najmah Sa’udah (bintang bahagia), Khamdah binti Ziyad di Andalusia, Rabiah Adawiyah dalam jajaran sufi, Syifa’ binti Abdullah yang mana ia atas perintah Rasulullah SAW mengajari Khafsah ilmu tulis-menulis dan selanjutnya Khafsah masuk dalam golongan penulis Wahyu.
Pada paruh abad XIII Masihi Syajaratudduur tampil memimpin tampuk pemerintahan Islam, menjadi Sultanah dengan bergelar al-Mu’tashimat al- Shalihiyah Ummu Khalil Ishmad Dunya Waddin Malikul Muslimin, beliau menjadi sultanah berkuasa penuh 1249–1257 dan mati terbunuh karena kekuasaan direbut lawan politiknya.
Dalam percaturan politik di nusantara wanita Islam tampil terdepan justru dalam pemerintahan kerajaan Islam. Kita tengok kerajaan Islam Aceh abad XVII, 1641–1671 kerajaan dipimpin oleh ‘raja wanita’ bergelar Sultanat Taj’ul Alam Syafiyatuddin Syah, disebut pula Seri Alam Permaisuri, setelah beliau mangkat penggantinya wanita pula bergelar Sultanat Naqiatul Din Nurul Alam, hingga beliau mangkat 1678, selanjutnya digantikan oleh Sultanat Mayat Syah (wanita pula) yang memerintah hingga 1688, setelah beliau mangkat lalu penggantinya wanita pula yaitu Sultanat Kamalat Syah yang memerintah hingga 1699.
Dalam pergerakan kemerdekaan Indonesia kita lihat tampilnya wanita Islam di berbagai lapangan, seperti panglima perang Cut Nyak Dien, Kartini, serta lainnaya yang bergerak di berbagai bidang.
DAFTAR BACAAN
Hamka, 1993, membahas Soal-soal Islam, ed. H. Rusli – Afif, Pustaka Panji Mas, Jakarta M. Hadi Ma’rifat, 2007, Sejarah Al-Qur’an, Al-Huda, Jakarta
Syed Ameer Ali, tth, Api Islam, Sejarah Evolusi dan Cita-cita Islam dengan Riwayat Hidup Nabi Muhammad SAW, Bulan-Bintang.
TM. Hasybi Ash-Shiddiqeqy, tth, Lapangan Perjuangan Wanita Islam, Menara Kudus.
Posting Komentar