Peristiwa    Politik    Sosial    Budaya    Seni    Bahasa    Olahraga    Ekonomi    Pariwisata    Kuliner    Pilkada   
adsbybawean
Home » » Keluarga Kecil : Orang Tua - Anak Dari Aspek Nilai

Keluarga Kecil : Orang Tua - Anak Dari Aspek Nilai

Posted by Media Bawean on Kamis, 12 Maret 2009

Media Bawean, 12 Maret 2009

Oleh: A. Fuad Usfa

1. Sejarah Keluarga Berencana di Indonesia

Sejarah Keluarga Berencana (KB) di Indonesia dimulai dengan berdirinya Perkumpulan Keluarga Berencana pada tahun 1957. Menurut Dr. Kun Martiono, seorang akhli kandungan yang juga salah seorang pelopor KB di Indonesia, pada mulanya alat KB diperkenalkan cara India, caranya sebelum mengadakan ‘hubungan’, ambillah sepotong kain kasa, atau kain apa saja dan pada ujungnya dijahitkan sehelai benang, lalu dicelupkan dalam minyak kelapa selanjutnya dimasukkan ke dalam vagina sedalam-dalamnya, pada keesokan harinya kain tersebut dikeluarkan lagi dengan cara menarik benang. Pada perkembangan selanjutnya diperkenalkan spon berbentuk lonjong yang pada ujungnya dijahitkan benang wool, yaitu dengan cara merendam spon dalam air garam, lalu diperas sedikit sebelum dimasukkan dalam vagina, keesokan harinya spon dikeluarkan dengan cara menarik benang wool tersebut. Setelah itu baru berkembang cara-cara kontrasepsi sebagaimana kita kenal sekarang.

Presiden Soekarno tidak berupaya menghalangi penyebar-luasan gagasan KB untuk maksud kesehatan ibu dan anak, sejauh tidak dimaksudkan untuk mengurangi laju pertumbuhan penduduk, sebab menurutnya Indonesia kaya dengan sumber daya alam yang mampu untuk menghidupi 250.000.000 (dua ratus lima puluh juta) penduduk.

Pada 22 Pebruari 1967 Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia mengadakan Konggres Nasional pertama. Pada 23 April 1967 resmi berdiri proyek Keluarga Berencana DKI Jaya yang merupakan proyek pertama yang dilaksanakan oleh Pemerintah. Pada bulan November 1968 Pemerintah mendirikan Lembaga Keluarga Berencana Nasional (LKBN), yang dalam menjalankan tugasnya diawasi dan dibimbing oleh Mentri Negara Kesejahteraan Rakyat. Pada 1969 program Keluarga berencana masuk dalam Pelita I dan merupakan bagian dari Program Pembangunan Nasional. Pada 1970 didirikanlah BKKBN sebagai pengganti LKBN.

Pada Pelita I yang dimulai 1969, program KB dilaksanakan di Pulau Jawa dan Bali yang padat penduduknya, meliputi enam Propensi. Oleh sebab program tersebut dinilai sukses, maka dalam Pelita II program KB diperluas sehingga mencakup 16 Propensi. Selanjutnya dalam Pelita III diperluas lagi sehingga mencakup seluruh Propensi.

2. Pandangan Tentang Jumlah Penduduk

Sejak dahulu kala telah banyak pemikir yang mengemukakan pandangannya, seperti Ibnu Haldun, Giovani Botero, Maltus, Konfusius, Plato, Aristoteles dan lain-lain. Plato dan Aristoteles melihat perlunya penduduk yang optimum, tidak hanya dari sudut ekonomi, tapi juga dari potensi pengembangan jumlah penduduk.Berbeda dari itu, orang Romawi melihatnya dari kepentingan Negara besar, jumlah penduduk yang besar mereka anggap sebagai aset.

3. Nilai Orang Tua – Anak

Penurunan angka kelahiran dan angka kematian menyebabkan proporsi yang berusia muda (15 tahun ke bawah) menurun dan proporsi yang berusia lanjut terus meningkat. Berbeda dengan dahulu yang mana budaya oral (lisan) masih dominant, sekarang orang yang berusia lanjut tidak lagi menjadi panutan atau tempat bertanya mengenai adat tradisi, mereka seolah-olah berada pada posisi termarjinalkan. Upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia seakan hanya berpihak pada kalangan muda, sedangkan kalangan tua menjadi terdesak pada posisi terpinggirkan (marginal).

Jika keberhasilan KB ternyata berimplikasi pada dampak yang sedemikian, maka sesungguhnya sasaran hakiki belum dapat terpenuhi sepenuhnya. Sedang semboyan KB, yaitu kesejahteraan keluarga dengan mengendalikan kuantitas untuk meningkatkan kualitas penduduk. Dalam program pembangunan Indonesia adalah membangun manusia seutuhnya.

Untuk menjelaskan terjadinya fenomena sebagaimana tersebut di atas, dipaparkan ilustrasi berikut:

1. Sanusi dan Jamilah mempunyai dua orang anak, mereka dari keluarga yang berpenghasilan biasa-biasa saja, semua anaknya adalah laki-laki. Betapa bahagianya mereka tatkala dikaruniai anak. Di saat usia sekolah telah sampai mereka disekolahkan, gizi selalu diupayakan terpenuhi dengan baik, bahkan melebihi yang dikonsumsi kedua orang tua mereka. Pada saat memasuki usia sekolah di SMU kedua anaknya tersebut disekolahkan di sekolah favorit, sehingga mereka harus berjauhan dengan orang tuanya, demikian pula tatkala si anak melanjutkan ke Perguruan Tinggi. Pada saat itu si orang tua masih selalu sehat dan kuat, sehingga selalu dapat nyambangi si anak sewaktu-waktu mereka kangen, demikian pula si anak selalu pulang ke orang tua di saat waktu libur tiba.

Waktu telah berjalan, si anak telah tamat sarjana. Singkat ceritera, si anak ketemu jodoh, lalu dikawinkan dengan mengadakan resepsi di sebuah restoran. Untuk segala biaya kedua anak sejak masa bayi hingga biaya sekolah dan perkawinan itu di bawah tanggung jawab orang tua, bahkan untuk itu sang orang tua harus menjual beberapa petak sawah ataupun ladang.

Saat itu anak bungsu berusia berusia 27 tahun sedang anak sulung 25 tahun.Sebagai keluarga baru ekonomi mereka selalu dibantu oleh orang tua yang kala itu si ayah berusia 50 tahun, sedang sang ibu berusia 48 tahun.

Sejak dikaruniai anak mereka sibuk memenuhi kebutuhan anak, dari kebutuhan akan gizi hingga kebutuhan sekolah. Pada saat itu secara berangsur sedikit demi sedikit Sanusi dan Jamilah mulai merasakan suasana lain, jarak geografis dan keadaan dirasa telah menjauhkan mereka dari sang anak, sementara si anak telah sibuk dengan keadaannya sendiri. Kerinduan akan sang cucu telah mulai pula hadir dalam kalbunya. Pernah Sanusi dan Jamilah meminta salah satu cucunya untuk diasuh, tapi dengan berbagai dalih hasratnya itu tidak terpenuhi.

Kesempatan orang tua sambang sudah mulai berkurang, oleh sebab tenaga sudah mulai berangsur surut, kalaulah dapat sambang pula kehadiran sang orang tua itu dirasakan sebagai beban, sebab mereka harus diongkosi dan difasilitasi selama di rumah anaknya. Di saat itulah maka tibul rasa kesepian si orang tua, rasa tidak dibutuhkan serta rasa termarjinalkan muncul pula secara perlahan.

2. Hanafi dan Fatimah mempunya lima orang anak, dua laki-laki dan tiga perempuan, mereka dari keluarga petani. Di saat anak-anaknya berusia menjelang dewasa mereka telah mampu membantu kedua orang tuanya, keadaan yang demikian itu berlanjut setelah mereka memasuki jenjang perkawinan, keakraban mereka dengan kedua orang tuanya (Hanafi dan Fatimah) masih begitu kuat.

Dari gambaran di atas makin jelaslah betapa keberpihakan kepada kesejahteraan anak amatlah diutamakan, sementara keberpihakan pada orang tua terabaikan.

Semboyan KB sebagai ‘keluarga kecil bahagia’ sering menciptakan image bahwa yang dimaksud dengan keluarga adalah sebatas keluarga batih. Bila demikian adanya, maka nilai keluargapun telah turut bergeser yang mana di masa dahulu kehidupan gotong royong dalam keluarga dengan makna keluarga besar yang longgar, kini disekat menjadi sempit, dampak lain yaitu terjadinya dehumanisasi, yaitu dengan termarjinalisasinya kaum tua.

Adapun yang perlu dikritisi secara mendasar berkaitan dengan bahasan diatas adalah program penurunan angka kelahiran melalui KB dengan orientasi pembinaan kesejahteraan keluarga perlu diadakan difinisi yang jelas dengan melibatkan eksistensi kaum tua sebagai subyek dalam kerangka sis
temik.

SHARE :

Posting Komentar

 
Copyright © 2015 Media Bawean. All Rights Reserved. Powered by INFO Bawean