Peristiwa    Politik    Sosial    Budaya    Seni    Bahasa    Olahraga    Ekonomi    Pariwisata    Kuliner    Pilkada   
adsbybawean
Home » » May Day 2009Merentas Sistem Ketenagakerjaan Yang Berpihak Pada Kaum Buruh Perempuan

May Day 2009Merentas Sistem Ketenagakerjaan Yang Berpihak Pada Kaum Buruh Perempuan

Posted by Media Bawean on Jumat, 01 Mei 2009

Media Bawean, 1 Mei 2009

Oleh : Musyayanah

May Day adalah Peringatan Hari Buruh Internasional yang disebagian besar Negara di dunia menjadikannya sebagai hari libur kerja. Terpasungnya hak-hak industrial (ekonomi-politis) kelas pekerja merupakan kondisi yang melatari lahirnya perjuangan kelas. Dimana pada awal abad 19 ditandai dengan berkembangannya sistem ekonomi kapitalis yang mengubah sistem industri di negara-negara Eropa Barat dan Amerika Serikat. Sistem ekonomi kapitalis memaksa kalangan industri melakukan pemangkasan upah buruh dan penerapan jam kerja yang cukup panjang. Logikanya bahwa biaya produksi yang bisa ditekan untuk tetap mendapatkan keuntungan yang besar adalah upah buruh. Kondisi tersebut melahirkan perlawanan dari kelas pekerja. Kaum Buruh Cordwainers merupakan penggagas pemogokan pertama kelas pekerja Amerika Serikat pada tahun 1806. Pemberlakuan sistem jam kerja hingga 20 jam per hari menjadi isu besar yang memicu aksi mogok kerja kelas pekerja Amerika Serikat hingga dimeja hijaukan.



Aksi perlawanan kelas pekerja tentunya bukan kondisi yang diinginkan oleh kalangan pengusaha dan pemegang kekuasaan. Perang Dunia I (1914) telah mengorbankan nyawa kaum buruh dalam jumlah besar. Kekaisaran Rusia meminta kalangan pengusaha menyumbang buruh-buruh yang berkerja pada pabriknya untuk dikirim ke medan perang, baik sebagai anggota pasukan garis depan ataupun sebagai tentara cadangan. Kalangan pengusaha akan memilih buruh-buruh yang progresif dan kelompok buruh yang rawan melakukan aksi perlawanan terhadap kebijakan-kebijakan pengusaha untuk dikirim ke medan perang. Faktanya, Perang Dunia I telah dimanfaatkan oleh kelompok pengusaha untuk mematahkan aksi perlawanan kelompok buruh.

Sikap Partai Sosial Demokrat Jerman yang memilih untuk mendukung ”perang” oleh pemerintahanya menjadi pemicu kekacauan gerakan sosialis di seluruh dunia. Akhirnya, gerakan buruh Jerman malakukan mobilisasi kelompok buruh untuk berperang melawan buruh-buruh dari negara lain. Sikap "sosial-chauvinisme" ini akhirnya berakibat pada pemusnahan gerakan buruh, dimana kelompok buruh mengalami menurunan jumlah yang sangat besar dan hilangnya kaum buruh yang progresif revolusioner. Kondisi perang juga berakibat pada tingginya aktivitas kelompok militer. Sehingga sangat berpengaruh terhadap aktivitas gerakan revolusioner kaum buruh. Medio Januari 1915, hampir semua jaringan gerakan buruh revolusioner Rusia telah berhasil dihancurkan oleh polisi dan tentara Rusia.

Secara umum, gerakan buruh mengalami kehancuran yang hebat. Para buruh harus patuh dengan penerapan disiplin militer di lingkungan pabrik, yang akhirnya kaum buruh tidak mampu menolak perintah pengusaha untuk bangkit menopang senjata di medan perang. Akibat banyaknya buruh laki-laki yang dikirim ke medan perang, para pengusaha mengisi kebutuhan tenaga kerja mereka dengan buruh-buruh perempuan-yang selain dianggap lebih patuh, juga dapat diupah lebih murah. Meningkatnya jumlah buruh perempuan dan buruh-buruh muda yang tidak pernah terlatih dalam perjuangan buruh menyebabkan rapuhnya gerakan buruh. Perempuan merupakan korban utama yang diserahkan oleh Rusia demi Perang Dunia Pertama. Memang, korban tewas dalam pertempuran mungkin 99% terdiri dari laki-laki. Namun, mereka adalah ayah dan suami dari banyak keluarga rakyat pekerja. Kekaisaran Rusia tidak mau tahu dengan nasib keluarga yang ditinggalkan suami atau anak atau saudara-saudara yang tewas di medan laga. Untuk mengisi perut mereka dan anak-anak mereka, mereka dipaksa menjadi pencari nafkah bagi keluarga. Di samping itu, kekurangan tenaga kerja (seperti sudah disebutkan di muka) membuat Kekaisaran Rusia menerapkan wajib-kerja (work draft) pada kaum perempuan Rusia. Yang terjadi adalah kaum perempuan Rusia mengalami penindasan berganda, di rumah oleh sistem patriarki dan di pabrik oleh sistem kerja-upahan. Mereka harus bekerja lima belas sampai delapan belas jam di pabrik, lalu masih harus melaksanakan "kewajiban" kerja-kerja domestik di rumah.

Konteks kaum buruh di Rusia tidak berbeda jauh dengan konsisi riil kaum buruh perempuan di Indonesia. Kebijakan Revolusi Hijau ( 1965) merupakan kebijakan awal yang menggeret kaum perempuan pada kerja-kerja industri (pabrik). Kebijakan Revolusi Hijau telah menjauhkan kaum petani terhadap akses tanah garapan. Revolusi Hijau telah memaksa petani meninggalkan varietas unggul petani lokal, dan beralih pada varietas dari luar luar negeri. Akhirnya yang terjadi justru ketergantungan yang berlebihan terhadap varietas luar. Petani diwajibkan menanam bibit tanaman yang pemerintah datangkan dari luar negeri, yang mereka sebut sebagai varietas unggul. Tidak hanya berhenti pada penyediaan bibit unggul, petani akhirnya terjebak pada ketergantungan baru yaitu penggunaan pupuk dan pestisida dari luar negeri bukan lagi pada produk petani lokal, karena bibit tersebut akan benar-benar menjadi bibit unggul jika dipupuk menggunakan pupuk luar negeri yang satu paket dengan bibit unggul. Pun pada penggunaan pestisida untuk mengusir dan membunuh hama tanaman. Kebijakan ini tentunya berdampak pada tingginya biaya produksi pertanian.

Tingginya biaya produksi sektor pertanian ternyata tidak dibarengi dengan harga jual komoditas pertanian lokal. Pada kondisi inilah kelompok petani lokal pengalami guncangan. Pilihan untuk tetap mempertahankan lahan pertanian dengan resiko biaya produksi yang tinggi, serta harga jual komoditas yang rendah atau melepas lahan garapan mereka yang tidak lagi memberikan keuntungan dan merubah kondisi ekonomi keluarga petani lokal. Ternyata, sebagian besar petani memilih untuk melepas lahan pertanian mereka dan beralih menjadi buruh tani. Faktanya nasib buruh tani tidak lebih baik dari pada petani. Relevansi kondisi tersebut dengan kaum perempuan adalah kaum perempuan merupakan penyumbang tenaga terbesar dalam aktivitas pertanian. Ketika terjadi perubahan sistem pertanian maka korban terbesar adalah kelompok petani perempuan.

Kondisi di desa yang tidak lagi mampu menghadirkan kehidupan yang layak, membuat sebagian besar masyarakat desa mengambil pilihan untuk melakukan urbanisasi. Kalangan pelaku bisnis/pengusaha melihat gelombang urbanisasi ini sebagai modal produksi. Melimpahnya jumlah tenaga kerja perempuan tak terdidik memberikan peluang bagi pengusaha untuk menerapkan sistem pengupahan yang kontradiktif dengan nilai kerja kaum buruh perempuan. Terlibatnya kaum perempuan pada kerja-kerja produksi di pabrik bukanlah akhir dari persoalan ekonomi mereka. Justru peran buruh perempuan di pabrik menghadrikan petaka baru bagi kehidupan kaum perempuan. Petaka itu adalah menetapan upah minim dibalut dengan jam kerja yang panjang dan fasilitas kerja yang seadanya. Kini semakin sempurnalah nasib buruk yang dialami buruh perempuan.

Minimnya ketersediaan tenaga kerja perempuan yang punya skill, menjadikan kendala tersendiri bagi kelompok buruh perempuan untuk bersaing dengan buruh laki-laki bahkan sesama buruh perempuan sendiri. Fenomena buruh migran, buruh gendong di pasar-pasar induk, dan buruh perempuan pada sektor informal merupakan fakta carut marutnya sistem ketenagakerjaan negara kita. Negara sebagai institusi yang secara alamiah mendapat mandat untuk mengawal kesejahteraan rakyat, faktanya, tidak jarang, malah menganaktirikan buruh dan memproteksi korporasi besar. Negara dengan vulgarnya menyuguhkan kebijakan fasilitas monopoli, lisensi, tata niaga, kartel, keringanan pajak, dan prioritas kredit kepada korporasi. Kaum buruh perempuan merupakan korban terbesar dari skandal negara dan korporasi.

Memangkas upah buruh dan tidak memberikan tunjangan serta dapat memecat dan mengangkat sesuka hati menjadi pilihan para pemodal besar hari ini untuk mengatasi over produksi, disamping mencari bahan mentah yang murah serta pasar baru untuk menjual produknya. Fakta hari ini sistem yang dipakai untuk mempekerjakan buruh adalah sistem kerja kontrak dimana kesepakatan kerja ditentukan oleh kontrak antara pengusaha dan buruh yang dalam peraturan perundangan-undangan Indonesia No 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan tercantum perjanjian kerja tertentu dan perjanjian kerja tidak tentu. Sistem yang kedua adalah sistem kerja outsourcing atau dalam peraturannya disebutkan penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan. Dari segi substansinya buruh dipekerjakan dalam satu perusahaan akan tetapi dia tidak menjadi pekerja tetap disana, dia sebenarnya bekerja pada perusahaan penyedia jasa kerja dan nanti dia diserahkan kepada perusahaan mana yang mau mempekerjakannya. Sistem ini menjadikan buruh atau tenaga kerja saat ini menjadi sangat fleksibel dan mudah sekali untuk dicopot atau dipecat dan diganti dengan yang lainnya, serta buruh tidak lagi dIberi tunjangan-tunjangan karena segala upah serta mekanisme pembayaran sudah ditetapkan di awal pada saat pembuatan kontrak bersama antara buruh dan perusahaan dan semua substansi kontraknya dibuat oleh pengusaha. Kebijakan tersebut sangat sinergis dengan program imperialisme untuk mencari buruh-buruh murah dan lagi-lagi memangkas ongkos produksi mereka untuk mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya.

Jumlah buruh migran Indonesia sangat signifikan, dari tahun ke tahun mengalami peningkatan. Berdasarkan data Komisi Nasional Perempuan (2001) berjumlah 372 ribu orang. Tahun 2002 sebanyak 585 ribu orang, tahun berikutnya berjumlah 340 ribu orang, pada Januari-Juli 2004 sebanyak 97 ribu orang. Dari jumlah tersebut 73 persen merupakan buruh migrant perempuan. Sebanyak 88 persen dari jumlah tersebut bekerja sebagai pekerja rumah tangga. Buruh migran perempuan memiliki peluang ekonomi bagi pembangunan. Jumlahnya lebih dari separuh populasi migran. Di Indonesia sendiri berdasarkan sumber Depnakertrans, dari tahun 2001 hingga Juli 2004 mencapai 3,236 miliar dolar AS atau Rp 29,12 triliun. Jumlah tersebut belum termasuk buruh migran tidak berdokumen yang jumlahnya diperkirakan lebih besar. Keberadaan Undang-Undang No. 39 Tahun 2004 tentang Tenaga Kerja Luar Negeri sekedar memberi legitimasi hukum. Kecenderungan yang ada selama ini menyangkal keberadaan para pekerja yang bermigrasi tanpa dokumen resmi. Proses migrasi dari tenaga kerja kita dianggap sebagai permasalahan prosedural belaka dan bukan sebagai persoalan HAM. Kondisi ini tidak memberikan jalan keluar yang nyata untuk memberikan perlindungan terhadap buruh migran perempuan.

Kondisi perempuan yang berkerja pada ranah domestik (Pembantu Rumah Tangga) tidak lebih baik dari buruh pabrik, buruh tani, buruh migran, buruh gendong, dan perempuan yang berkerja pada sektor informal lainnya. Sampai saat ini, keberadaan Pembantu Rumah Tangga (PRT) tidak tersentuh oleh undang-undang yang memproteksi mereka. Akhirnya, perempuan yang menjadi PRT tidak punya hak atas penentuan upah dan penyelesaian kasus secara hukum.

Sampai kapan kita akan menjadi buruh di negara kita sendiri?

Atas nama rakyat dan kaum buruh Indonesia, kami menuntut:

1. Lindungi Hak Asasi Kaum Buruh
2. Perbaiki Sistem Pengupahan Nasional
3. Hapus Sistem Kerja Kontrak dan Outsourcing
4. Segera Sah-kan Undang-Undang Perlindungan Pembantu Rumah Tangga (PRT)
5. Perbaiki Sistem Pengadilan Industrial
6. Lindungi Hak Berserikat untuk Kaum Buruh

SHARE :

Posting Komentar

 
Copyright © 2015 Media Bawean. All Rights Reserved. Powered by INFO Bawean