Media Bawean, 9 September 2010
Oleh Aly Asyhar*
Ramadhan 1431 H telah berlalu. Bulan penuh berkah ini telah melatih mentalitas dan paradigma hidup. Ramadlan telah merubah diri kita secara bertahap dari jiwa yang egoistik menjadi jiwa sosial, dari manusia yang selalu bersikap semau gue menjadi insan yang peduli dengan sesama. Semoga.
Berakhirnya Ramadlan harus kita sikapi dengan perasaan sedih bercampur bahagia. Sedih karena bulan penuh karunia itu telah pergi. Jika boleh meminta tentu kita akan minta supaya setahun penuh adalah bulan Ramadlan. Sedangkan rasa bahagia karena baru saja mentas dari kawah candradimuka yang akan menghantar kita menjadi insan kamil dalam sebelas bulan berikutnya. Kita bak bayi yang baru lahir dari rahim ibu kemudian belajar berjalan dan mengoceh. Kita kembali fitri tanpa noda dan dosa.
Sebagai hamba Allah yang dikaruniai akal budi maka sayognyanya tidak kita sia-siakan. Segala dosa dan kesalahan kita di masa lampau jangan pernah terulang kembali karena seorang muslim tidak akan mengulangi kesalahan yang sama. Bila itu terjadi maka tak ada bedanya antara kita dengan keledai yang dungu. Hari raya menjadi momentum awal untuk menata diri yang dimulai dari pembersihan dosa antar sesama. Saling memaafkan dalam satu keluarga, sanak kerabat, tetangga, guru dan sahabat. Memulai dengan berkata baik dan bertindak benar menghindari perkataan sia- sia dan tindakan yang berlebihan. Ibarat mesin semua mesti terpogram dengan baik.
Hari yang fitrah ini selayaknya tidak ternodai dengan kemungkaran. Ada beberapa kebiasaan yang harus dihindari selama merayakan hari fitri ini. Pertama : riya’. Yaitu memamerkan segala kelebihan yang dimiliki dengan harapan mendapat pengakuan dan pujian dari sesama seperti memakai baju yang mewah dan perhiasan yang mencolok. Rasulullah SAW menganjurkan untuk memakai pakaian yang bagus sebagai tanda suka cita tetapi bukan pakaian mewah. Sebab kemewahan hanya akan menyakiti saudara kita yang kekurangan. Masih ada persepsi yang keliru bahwa hari raya kurang afdhal bila baju, perhiasan dan aksesoris lainnya tidak mewah. Bahkan ada yang memaksakan diri menyewa kendaraan mewah hanya untuk menaikkan prestise keluarga di hadapan orang sekitarnya.
Kedua, meremehkan silaturahmi. Akhir-akhir ini budaya silaturahmi mengendur. Seiring canggihnya alat komunikasi seperti HP maka silaturahim dianggap cukup hanya dengan SMS. Padahal silaturahmi dengan saling mengunjungi sungguh diajarkan dalam islam. Kanjeng Nabi SAW. menyatakan bahwa silaturahim bisa menambah rizki dan panjang umur. Yang harus diprioritaskan dalam silaturahim adalah orang tua, sanak kerabat, tetangga, guru dan sahabat. Jangan sampai kita mendahulukan sahabat daripada sanak kerabat dan seterusnya.
Ketiga, maksiat. Mengisi hari bahagia dengan maksiat kepada Allah sungguh perbuatan kufur nikmat. Misalnya , masih saja terjadi ketika suasana hari raya digelar pertunjukan orkes dangdut atau band. Pertanyaanya, dimanakah akal budi panitia penyelenggara dan birokrasi yang memberi izin? Bukankah dengan pertunjukan itu ia telah merusak budaya silaturahim? Waktu yang semestinya bisa digunakan untuk saling mengunjungi sanak kerabat harus tersedot untuk menyaksikan pertunjukan yang penuh kedurhakaan. Contoh lain adalah budaya keliling Bawean dengan kendaraan yang dipenuhi dengan sound system. Lalu sepanjang jalan diputar keras-keras dan penumpangnya berjoget-joget. Duh….rusaknya generasi bangsaku. Apa maunya mereka? Lucunya mereka melakukannya dengan antusias. Mungkin mereka tidak tahu bahwa itu adalah perbuatan sia-sia. Contoh selanjutnya dari kebiasaan maksiat di hari raya adalah mengunjungi tempat wisata dengan pacar. Berboncengan dengan baju yang seronok, perhiasan mencolok, saling peluk dan tertawa sepanjang jalan.
Untuk mengurangi kemaksiatan di hari raya harus ada sinergi antara aparat keamanan, birokrasi dan masyarakat. Misalnya: aparat keamanan harus menindak siapapun yang mengganggu lalu lintas baik saat malam takbiran maupun sesudahnya. Birokrasi pemerintah jangan memberi izin pertunjukan apapun selama masa hari raya supaya masyarakat benar-benar fokus dalam memanfaatkan waktunya untuk silaturahmi. Selanjutnya masyarakat di wilayah yang biasa dipakai rekreasi jangan sampai memperbolehkan wilayahnya untuk dijadikan arena keburukan dengan cara membatasi waktu kunjungan dan aturan-aturan yang lain. Jangan sampai masyarakat ikut mendukungnya dengan menyediakan fasilitas seperti warung dan parkir.
Idul fitri adalah hari kembalinya fitrah manusia. Kita di wajibkan merenungkan artinya. Fitrah manusia adalah kesucian raga, hati dan perbuatan. Kembali fitrah berarti hilangnya sifat-sifat syaitan dari dalam diri kita. Ibarat petinju kita lebih hebat dalam bertanding setelah sebulan penuh latihan. Semoga hari raya tahun ini kita lebih dekat kepada Allah dan segala kemaksiatan berkurang dari dalam diri kita dan bumi Bawean. Amin.
* Ketua Lakpesdam NU Cabang Bawean
Posting Komentar