Media Bawean, 10 April 2011
Oleh: Musyayana
(Penasehat Media Bawean & Aktivis LSM Perempuan Di Surabaya)
(Penasehat Media Bawean & Aktivis LSM Perempuan Di Surabaya)
Tingkat AKI (Angka Kematian Ibu) dan AKB (Angka Kematian Bayi) masih banyak terjadi di berbagai pelosok daerah yang perekonomiannya masih sangat rendah. Ekonomi lemah menjadikan ibu hamil sulit untuk membiayai pemeriksaan serta perawatan kehamilannya. Bukan hanya itu, hampir setengah dari jumlah persalinan yang terjadi, 40 persen diantaranya tak punya akses kepada bidan yang terlatih. Apalagi untuk mendapatkan penanganan yang cepat, kematian ibu melahirkan paling banyak akibat pendarahan dan telat mendapatkan pertolongan medis.
Angka kematian Anak (AKA) disebabkan beberapa kendala yang seringkali terjadi. Pertama adalah masalah sosiokultural seperti kemiskinan, pendidikan rendah serta norma-norma yang masih mengedepankan budaya patriarki, yang pada akhirnya mengesampingkan peran perempuan di dalamnya. Masalah lain yang tak kalah pentingnya adalah sosio-teknikal. Kendala terakhir inilah yang dirasakan paling banyak menyebabkan AKI, yakni keterbatasannya perempuan dalam mengakses pelayanan kesehatan, tak terampil, dana terbatas, perilaku budaya serta kurang sensitivitas gender dalam lingkungan terdekat.
Ketidakberdayaan kaum ibu masih banyak terjadi di pedesaan. Keterlambatan pertolongan ibu karena memang tidak mempunyai otoritas atas tubuhnya. Berbeda dengan perempuan di kota yang pendidikannya lebih baik (well educated). Bahwa permasalahan kesehatan reproduksi bukan hanya menjadi permasalahan perempuan, namun juga permasalahan laki-laki. Karena substansi kesehatan reproduksi perempuan bukan hanya sekedar melahirkan.
Kabupaten Gresik mempunyai kawasan kepulauan yaitu Pulau Bawean dan beberapa pulau kecil di sekitarnya.. Luas wilayah sekitar Pulau Bawean 196,11 Km2. Sedangkan luas wilayah perairan adalah 5.773,80 Km2 yang sangat potensial dari subsektor perikanan laut. Sedangkan jarak pulau Bawean dari kota Gresik + 80 mill laut, dengan jumlah penduduk 99.890 jiwa yang terdiri dari 47.420 jiwa laki-laki dan 43.470 jiwa perempuan.
Penyumbang angka AKI dan AKB banyak tersebar di daerah sedesaan dan kepulauan. Bawean merupakan salah satu kepulauan yang juga memberikan kontribusi. Sampai saat ini tingkat kematian bayi dan anak di Pulau Bawean cukup tinggi. Pada 20 angka kelahiran terdapat 3 angka kematian bayi (BPS Gresik). Kondisi ini disebabkan oleh lemahnya akses masyarakat terhadap puskesmas dan klinik-klinik kesehatan. Hal ini dikarenakan, Pertama; jumlah puskesmas dan klinik yang relatif sedikit dan tidak menjangkau seluruh wilayah di Bawean. Kedua, kondisi ekonomi keluarga yang lemah sehingga masyarakat cenderung melakukan proses melahirkan dengan bantuan dukun beranak yang mempunyai resiko ringgi terhadap AKI dan AKB. Ketiga, minimnya ketersediaan tenaga medis yang terlatih.
Prasarana medis yang rapuh tersebut semakin mendapat dukungan dengan kondisi riil transportasi laut Bawean-Gresik. Tidak sedikit pasien yang dirujuk ke rumah sakit di Gresik mengalami pendaharan, kelahiran, kematian bayi, dan kematian ibu di atas kapal. Tidak sedikit pula pasien ibu melahirkan yang berhasil dirujuk ke rumah sakit di Gresik tapi tetap dalam cengkeraman AKI dan AKB.
Harapannya, akan ada kebijakan yang sinergis antara pusat dan daerah terkait AKI dan AKB. Pemerintah daerah seharusnya mampu menterjemahkan kebijakan dari pusat dan bantuan lembaga Internasional. Karena pemerintah daerah adalah kanal yang posisinya lebih dekat dengan masyarakat, seharusnya juga mampu menghadirkan data-data otentik terkait problem kesehatan di daerah. Menyediakan lembaga kesehatan yang profesional, tenaga medis yang terlatih, dan penyuluhan kesehatan merupakan tugas pokok pemerintah untuk menciptakan masyarakat yang sehat. Celakanya, pemerintah daerah sering kali tidak mengawal kebijakan yang telah dibuat pada kontrol pelaksaaan, pelaporan, dan evaluasi. Sehingga tidak jarang kebijakan pemerintah daerah sering tumpang tindih, pelaksanaan program yang tidak sesuai mekanisme program, dan tidak ada langka evaluasi untuk mengukur tingkat keberhasilan kebijakan atau program kesehatan di daerah. Akhirnya, masyarakat daerah tetap menjadi sarang problem sosial.
Untuk mempercepat pencapaian Millenium Development Goals (MDGs) tahun 2015 khususnya menurunkan angka kematian ibu dan bayi, tahun ini Kementerian Kesehatan meluncurkan program Jaminan Persalinan (Jampersal). Tujuannya untuk meningkatkan cakupan pemeriksaan kehamilan, pertolongan persalinan, dan pelayanan nifas ibu oleh tenaga kesehatan; meningkatkan cakupan pelayanan bayi baru lahir oleh tenaga kesehatan; meningkatkan cakupan pelayanan KB pasca persalinan; meningkatkan cakupan penanganan komplikasi ibu hamil, bersalin, nifas, dan bayi baru lahir; serta terselenggaranya pengelolaan keuangan yang efisien, efektif, transparan, dan akuntabel.
Peserta program Jampersal adalah ibu hamil, ibu bersalin, ibu nifas (pasca melahirkan sampai 42 hari) dan bayi baru lahir (0-28 hari) yang belum memiliki jaminan biaya kesehatan. Peserta program dapat memanfaatkan pelayanan di seluruh jaringan fasilitas pelayanan kesehatan tingkat pertama dan tingkat lanjutan (RS) di kelas III yang memiliki Perjanjian Kerja Sama (PKS) dengan Tim Pengelola Jamkesmas dan BOK Kabupaten/Kota.
Pelayanan Jampersal ini meliputi pemeriksaan kehamilan ante natal care (ANC), pertolongan persalinan, pemeriksaan post natal care (PNC) oleh tenaga kesehatan di fasilitas kesehatan pemerintah (Puskesmas dan jaringannya), faskes swasta yang tersedia fasilitas persalinan (Klinik/Rumah Bersalin, Dokter Praktik, Bidan Praktik) dan yang telah menanda-tangani Perjanjian Kerja Sama (PKS) dengan Tim Pengelola Jamkesmas Kabupaten/Kota. Selain itu, pemeriksaan kehamilan dengan risiko tinggi dan persalinan dengan penyulit dan komplikasi dilakukan secara berjenjang di Puskesmas dan RS berdasarkan rujukan.
Dalam Kebijakan Operasional sebagaimana tercantum dalam SK Menkes No. 515/Menkes/SK/III/2011 tentang Penerima dana Penyelenggaraan Jamkesmas dan Jampersal di pelayanan Dasar untuk tiap Kabupaten/Kota tahun anggaran 2011 diatur beberapa poin, diantaranya pengelolaan Jampersal di setiap jenjang pemerintahan (pusat, provinsi, dan kabupaten/kota) menjadi satu kesatuan dengan pengelolaan Jamkesmas dan Bantuan Operasional Kesehatan (BOK). Pengelolaan kepesertaan Jampersal merupakan perluasan kepesertaan dari program Jamkesmas yang mengikuti tata kelola kepesertaan dan manajemen Jamkesmas, namun dengan kekhususan dalam hal penetapan pesertanya.
Sementara pelayanannya diselenggarakan dengan prinsip Portabilitas, Pelayanan terstruktur berjenjang berdasarkan rujukan. Untuk pelayanan paket persalinan tingkat pertama di fasilitas kesehatan pemerintah (Puskesmas dan Jaringannya) didanai berdasarkan usulan rencana kerja (Plan Of Action/POA) Puskesmas. Untuk pelayanan paket persalinan tingkat pertama di fasilitas kesehatan swasta dibayarkan dengan mekanisme klaim. Klaim persalinan didasarkan atas tempat (lokasi wilayah) pelayanan persalinan dilakukan. Dana untuk pelayanan Jamkesmas termasuk Jampersal merupakan satu kesatuan (secara terintegrasi) disalurkan langsung dari Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara (KPPN) Jakarta V ke Rekening Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota sebagai penanggung jawab Pengelolaan Jamkesmas di wilayahnya dan Rekening RS untuk fasilitas kesehatan tingkat lanjutan (pemerintah dan swasta).
Yang menjadi pertanyaan kaum perempuan, khususnya kaum Ibu di Kabupaten Gresik, Kapan program Jampersal tersebut diberlakukan di Kabupaten Gresik? Mengingat makin banyaknya jumlah kematian Ibu dan Bayi di Kabupaten Gresik, khususnya Pulau Bawean yang secara geografis terisolir dan fasilitas kesehatannya sangat buruk. Saya pikir pemerintah kabupaten Gresik juga mendukung gagasan International Conference on Population and Development (ICPD) di Kairo 1994, dan khususnya mendukung program Jampersal yang digagas oleh Kementrian Kesehatan Republik Indonesia.
Posting Komentar