Media Bawean, 30 Mei 2011
Sumber : Surabaya Post
Puluhan ribu warga Bawean merantau hingga ke negeri Jiran. Salah satu penyebabnya, listrik di Pulau Putri (sebutan Bawean) yang tak kunjung terang. Belum meratanya listrik membuat warga pesimistis kampungnya bisa maju, khususnya dari segi perekonomian.
OLEH: ASEPTA YP
Di era perkembangan teknologi yang dahsyat, ternyata separo dari penduduk Pulau Bawean, yaitu sekitar 9.300 keluarga, belum merasakan listrik PLN sama sekali. Hal ini menjadi satu faktor yang mendorong puluhan ribu warga Pulau Putri ini memilih mengadu nasib ke Malaysia, Singapura, atau negara lainnya.
Lambatnya listrikisasi di Bawean membuat warga setempat pesimistis pulau kelahirannya berkembang. Karena itu, 90% dari warga Bawean usia produktif sekarang ini lebih memilih mengais rezeki di tanah perantauan. Angka ini berdasarkan data dari Dinas Tenaga Kerja (Disnaker) Kabupaten Gresik.
Seluruh warga Bawean yang kampungnya hingga kini juga memiliki jaringan listrik, lebih memilih kondisi Bawean di tahun 2010 ke belakang. Saat itu mereka masih dapat merasakan listrik curah, atau listrik curian. Memang ironis, sebab upaya penertiban dari PLN tidak dibarengi pemasangan jaringan dengan cepat. Dengan alasan suplai daya dari pembangkit listrik tenaga diesel (PLTD) PLN belum mampu menerangi seluruh Pulau Bawean yang memiliki keliling pulau sekitar 52 kilometer tersebut.
Berbagai upaya direncanakan oleh PLN untuk memenuhi kebutuhan listrik di Bawean. Mulai dari rencana pembangunan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) hingga rencana memasang kabel bawah laut dari Pembangkit Jawa - Bali (PJB) yang berjarak sekitar 81 mil menuju Bawean. Tapi sampai sekarang belum ada kejelasan terkait realisasi rencana tersebut.
Salah satu daerah di Bawean yang belum terdapat jaringan listrik adalah Dusun Tandel Desa Bululajang Kecamatan Sangkapura. Masuni, kepala dusun setempat mengaku jika warganya sangat membutuhkan penerangan listrik dari PLN. Apabila kampungnya gelap-gelapan seperti sekarang, dia tidak bisa berbuat apa-apa.
“Sebelum listrik curah diputus, kondisi kehidupan masyarakat di Dusun Tandel sangat nyaman dan bisa menikmati listrik walaupun ilegal dan hanya menyala 17 jam sehari," katanya.
Tetapi pasca listrik curah diputus oleh PLN, menurut Masuni, warga Dusun Tandel sepertinya kurang mendapat perhatian dari semua pihak. Listrikisasi yang dijanjikan PLN tidak juga ada realisasinya.
Ada 120 rumah di Dusun Tandel. Untuk penerangan, warga memanfaatkan diesel kampung menyala mulai jam 18.00 sampai jam 22.00. Tarif satu buah bola lampu seharga Rp 20.000 sebulan, untuk satu unit televisi seharga Rp 25.000 sebulan. Listrik sifatnya sudah menjadi kebutuhan primer. Tidak ada listrik di Bawean, menurut Masuni menghambat segala aspek kehidupan di daerahnya.
“Masyarakat buta akan informasi, karena alat komunikasi televisi atau radio sangat terbatas. Anak-anak kami kesulitan belajar pada saat malam hari. Bahkan kami yang ingin membuka usaha, jadi berfikir dua kali karena biayanya sangat mahal jika tidak ada listrik PLN,” paparnya.
Akibatnya, perekonomian warga setempat menjadi terhambat. Karena itu, Masudi memaklumi kalau cukup banyak warganya yang merasa tidak kerasan tinggal di tanah kelahirannya tersebut. Jika kondisi ini berlanjut, mereka pesimis kampungnya dapat berkembang, khususnya dari segi perekonomian.
Hal ini ditegaskan oleh Yati, salah satu warga Tadel. Dia lebih memilih menggantungkan nasibnya di negeri Jiran. Jika menetap di Bawean, dia tidak yakin kondisi perekonomian keluarganya bisa semapan sekarang.
“Kebetulan saya beberapa hari ini pulang kampung menengok keluarga di Bawean. Saya tidak kerasan tinggal di Bawean, kondisinya gelap-gelapan tiap malam. Apa yang bisa kita lakukan di sini? Lebih baik mencari rezeki ke Malaysia yang lebih menjanjikan," ungkapnya.
Dia mengumpamakan dirinya jadi seperti orang lumpuh tinggal kalau tinggal di kampungnya dengan listrik cuma 4 jam sehari. "Menonton televisi saja dibatasi karena ketidakmampuan mesin diesel yang dioperasikan. Kerjapun demikian, terbatas dengan tenaga kasar saja," ujar Yati.
Karena itu dia berharap, pemerintah maupun PLN memperhatikan kondisi kampungnya.Wajar jika keluarga dan tetangganya yang tetap tinggal di kampung Tandel kondisi perekonomiannya jadi susah. "Memang tidak ada yang bisa dilakukan di sini, mestinya ini menjadi program prioritas pemerintah," tambah Yati.
Saat ini, hanya separo keluarga di Bawean yang sudah menikmati listrik selama 24 jam mulai tahun 2011 ini. Separo keluarga lainnya, setelah ada penertiban listrik curah belum ada kejelasannya terkait listrikisasi ini, khususnya di daerah pegunungan, seperti di Desa Grejeg, Kebunteluk Dalem, Balikterus, Teluk Jatidawang, dan Gelam.*
Posting Komentar