Media Bawean, 31 Mei 2011
Oleh : Musyayana (Penasehat Media Bawean & Aktivis NGO di Surabaya)
Untuk mempercepat pencapaian Millenium Development Goals (MDGs) tahun 2015 khususnya menurunkan angka kematian ibu dan bayi, tahun ini Kementerian Kesehatan meluncurkan program Jaminan Persalinan (Jampersal). Tujuannya untuk meningkatkan cakupan pemeriksaan kehamilan, pertolongan persalinan, dan pelayanan nifas ibu oleh tenaga kesehatan; meningkatkan cakupan pelayanan bayi baru lahir oleh tenaga kesehatan; meningkatkan cakupan pelayanan KB pasca persalinan; meningkatkan cakupan penanganan komplikasi ibu hamil, bersalin, nifas, dan bayi baru lahir; serta terselenggaranya pengelolaan keuangan yang efisien, efektif, transparan, dan akuntabel.
Pelayanan Jampersal ini meliputi pemeriksaan kehamilan ante natal care (ANC), pertolongan persalinan, pemeriksaan post natal care (PNC) oleh tenaga kesehatan di fasilitas kesehatan pemerintah (Puskesmas dan jaringannya), faskes swasta yang tersedia fasilitas persalinan (Klinik/Rumah Bersalin, Dokter Praktik, Bidan Praktik) dan yang telah menanda-tangani Perjanjian Kerja Sama (PKS) dengan Tim Pengelola Jamkesmas Kabupaten/Kota. Selain itu, pemeriksaan kehamilan dengan risiko tinggi dan persalinan dengan penyulit dan komplikasi dilakukan secara berjenjang di Puskesmas dan RS berdasarkan rujukan.(http://depkes.go.id)
Dalam Kebijakan Operasional sebagaimana tercantum dalam SK Menkes No. 515/Menkes/SK/III/2011 tentang Penerima dana Penyelenggaraan Jamkesmas dan Jampersal di pelayanan Dasar untuk tiap Kabupaten/Kota tahun anggaran 2011 diatur beberapa poin, diantaranya pengelolaan Jampersal di setiap jenjang pemerintahan (pusat, provinsi, dan kabupaten/kota) menjadi satu kesatuan dengan pengelolaan Jamkesmas dan Bantuan Operasional Kesehatan (BOK).
Program Jaminan Persalinan (Jampersal) bertujuan penurunkan tingkat angka kematian bayi dan ibu hamil, pada saat proses persalinan. Untuk menerapkan program ini, sosialisasi merupakan salah satu kunci keberhasilan program pemerintah yang mulai dilaksanakan tahun ini dan Ikatan Bidan Indonesia (IBI) harus siap menjadi ujung tombak dalam program ini.
Faktanya program Jampesal masih punya banyak kelemahan, Diantaranya, banyak rumah sakit pelat merah, baik milik pemerintah provinsi maupun kabupaten dan kota, yang mengakali pelayanan program. Kelemahan tersebut mengakibatkan kerugian negara yang cukup besar. Sebab, program jamkesmas tahun ini saja menelan biaya Rp 972,9 miliar, untuk 76,4 juta penduduk miskin. Sedangkan biaya jampersal menyentuh angka Rp 922,7 miliar, untuk 2,6 juta ibu hamil.Jaminan khusus untuk perempuan itu diberikan tidak hanya kepada keluarga miskin. Syaratnya, pasien harus mau melahirkan di puskesmas rujukan. Tapi, dalam penerapannya, banyak syarat administrasi yang mempersulit pelayanan jampersal. Salah satunya adalah surat nikah. Menurut komisi IX, jampersal diberikan kepada seluruh perempuan yang melahirkan. Baik yang berstatus istri maupun hamil di luar pernikahan. Berkaitan dengan beberapa kendala tersebut, Menkes Endang Rahayu Sedyaningsih berjanji segera memperbaikinya. Untuk persoalan di rumah sakit, dia menuturkan bahwa sebenarnya sudah ada UU yang mengatur, yaitu UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dan UU Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit.(indopost, 31 Mei 2011)
Tingkat kematian ibu dan anak banyak terjadi di perdesaan. Kesadaran akan pentingnya memeriksakan kandungan pra persalinan, paradigma berpikir masyarakat pedesaan yang masih tabuh untuk pergi ke tenaga medis dan fasilitas kesehatan yang kurang memadai menjadi faktor penyebab tingginya tingkat kematian ibu dan anak. Pada konteks masyarakat Bawean, sangat rentan terjadi kematian ibu dan anak karena sampai saat ini yang ada hanya puskesmas yang sangat sederhana, secara geografis Bawean terpisah 88 mill laut dengan Gresik daratan sehingga sangat sulit untuk bagi pasien rujukan untuk mengakses pelayanan kesehatan (rumah sakit, red) apalagi problem transportasi laut Bawean-Gresik sampai saat ini tidak tuntas. Akhirnya sering terjadi persalinan tidak terduga di atas kapal perjalanan ke Gresik, dimana kondisi seperti ini sangat berbahaya bagi keselamatan ibu dan bayi. Tingginya jumlah pasien ibu hamil yang dirujuk ke Gresik disebabkan minimnya tenaga medis yang kredibel dan fasilitas kesehatan yang minim.
Peran bidan desa sangat berpengaruh terhadap suksesnya program Jampersal. Dibutuhkan sosok bidan yang punya kopetensi minimal dalam memberikan keselamatan dan kesehatan pada Ibu dan anak. Karena keselamatan ibu dan bayi ada di pundak mereka. Mereka lah yang sangat dekat dengan pasien, yang diharapkan mampu mendeteksi dini kondisi kehamilan dan kesehatan ibu, serta kesehatan janin dan bayi. "kompetensi yang harus ditingkatkan itu setidaknya menyentuh aspek pelayanan keluarga berencana, konseling selama kehamilan, melahirkan, sampai balita. Kalau bidan tidak bisa melayani ini, berarti bukan bidan,” ujar Gunarmi Hadi SKM, Ketua Ikatan Bidan Indonesia (IBI) Jawa Tengah. (http://tenaga-kesehatan.or.id)
Kasus yang terjadi di Bawean, Rafika (19 th.) melahirkan di Puskesmas Tambak, hari kamis (19/5/2011) Rp.1.550.000. Sedangkan Siti Mukarramah (17 th.) melahirkan di rumahnya (minggu-22/5/2011),dan Muawiyah (19 th.) melahirkan di rumahnya tanggal 28 April 2011, keduanya dikenakan biaya persalinan sebesar Rp.500ribu.(http://bawean.net, 30 Mei 2011) merupakan bukti kongkrit dari gagalnya proses sosialisasi program Jampersal kepada masyarakat dan buruknya mental tenaga medis (bidan, red) di Bawean. Harusnya dinas kesehatan Gresik lebih responsif menyikapi kasus tersebut, dan selanjutkan menyusun langkah-langkah preventif. Disinilah pentingnya pengawalan program Jampersal oleh semua stakeholder, sehingga program ini (jampersal,red) benar-benar mampu menjadi motor menentasan kasus kematian ibu dan anak.
Posting Komentar