Peristiwa    Politik    Sosial    Budaya    Seni    Bahasa    Olahraga    Ekonomi    Pariwisata    Kuliner    Pilkada   
adsbybawean
Home » » Belajar Jujur Pada SIAMI

Belajar Jujur Pada SIAMI

Posted by Media Bawean on Kamis, 23 Juni 2011

Media Bawean, 23 Juni 2011

Oleh : Ending Syarifuddin*)

“Diusir tetangga karena membongkar kecurangan --Guru yang meminta alif, anak siami, memberikan sontekan kepada teman-temannya pada saat ujian nasional bulan mei lalu di SDN Gadel II, Surabaya. Pen.-- Siami mendapat dukungan luas. Teladan dari keluarga sederhana”. (Majalah Tempo edisi 26 Juni 2011). 

Di tengah hingar-bingar kasus - kasus amoral yang menimpa sejumlah elite di negeri ini dan tidak sedikit orang yang mulai kehilangan kepercayaan dan harapan, berita ini benar-benar menjadi sayatan atas gelembung bisul dalam dunia pendidikan kita. 

Adalah SIAMI, anak kampung dari pasangan Kawi dan Sutri, memberi sedikit pelita bagi kesadaran kita bahwa kita masih patut optimis menghadapi masa depan, dan luar biasanya, Allah “mengutus” SIAMI – dari kalangan orang biasa, bukan priyayi, bukan Kiai, Bukan Guru, Bukan Ustadzah, bukan menteri, bukan presiden, bukan tokoh masyarakat--- untuk menegur kita semua. Saya memiliki keyakinan,–kalau kita mau berfikir— ini adalah peristiwa yang LUAR BIASA, karena beberapa hal: Pertama, SIAMI memberi semacam “syarah” –untuk tidak mengatakan gugatan-- atas “matan” tradisi keagamaan kita yang mulai luntur. Mengapa SIAMI ? Nama yang memperlihatkan latar belakangnya yang “abangan” ini menjadi semacam “utusan” Tuhan untuk menegur kita yang berlatar tradisi santri. Menegur Syarifuddin, Nazaruddin (Dua nama beraroma santri yang sekarang santer tersangkut kasus amoral) dan termasuk kita semua yang memiliki nama dan tradisi santri. 

Dan anehnya, peristiwa ini berlangsung tak lama setelah Tuhan “mengutus” Udin Sedunia untuk membuat lagu satire, lagu kocak yang sebenarnya mengandung olok-olok untuk kelompok Santri -agamawan – yang diwakili orang-orang yang bernama belakang din (yang artinya agama) – yang telah jauh meninggalkan tradisi besarnya, akhlakul karimah, berupa kesantunan, kesahajaan, kesederhanaan, kewira’i-an, keguyuban, persaudaraan, dan tak terkecuali kejujuran.

SIAMI jelas menohok ke dasar sanubari dan doktrin kaum santri, terlebih --jika memang benar—SIAMI bukanlah lulusan pesantren atau madrasah. SIAMI belajar dari guru Sorganya, Sutri, Ibu Siami sendiri. Ibu Sutri selalu menanamkan kejujuran pada anak-anaknya. “Kami memang tidak kaya”, kata Ibu Sutri, “tapi jangan miskin kejujuran”. Ini pulalah yang sekarang diwariskan oleh Siami pada anaknya, Alif Achmad Maulana. 

Hebohnya kasus Siami adalah pertanda mulai redupnya akhlakul karimah di lingkungan masyarakat kita. Telah bergesernya orientasi hidup masyarakat kita. Kejujuran hanya bisa ditemukan di museum, karena telah menjadi scarcity (barang langka). Na’udzubillah. 

Kedua, Nama SIAMI adalah sosok yang mewakili kaum Alit (bahasa jawa yang berarti orang kecil), bukan dari kalangan elite (kalangan atas). Saya meyakini bahwa Allah SWT merangkai sebuah peristiwa tidak ada yang serba kebetulan. Allah memiliki rahasia besar atas ciptaannya. Dan salah satunya adalah pelajaran “kejujuran” yang datang dari masyarakat kecil, yang tumbuh dari bawah, di tempat persemaian yang tulus dan bersahaja. Bukan kejujuran yang di tanam secara paksa dan sekenanya, seperti kebijakan Mahkamah Agung dalam membuat Kantin Kejujuran yang “bangkrut” di sejumlah sekolah. 

Jika setiap kita adalah pemimpin, maka hati-hati dalam membuat kebijak(sana)an untuk rakyatnya/ yang dipimpinnya. Bertindaklah atas dasar prinsip kemaslahatan ummatnya, bukan kemaslahatan sendiri (Tasharruf al-imaam ala al-rakyah manuthun bi al-maslahah). Ini berlaku mulai dari komunitas terkecil, seperti yang dicontohkan oleh Ibu Sutri, keluarga sampai komunitas Negara atau bahkan dunia. 

Dalam kepemimpinan dibutuhkan karakter dan jiwa besar, cerdas dan kreatif. Kepemimpinan seperti ini tidak mensyaratkan harus berpendidikan tinggi. Buktinya, Pemimpin-pemimpin besar dunia, tak terkecuali di negeri kita, banyak yang tidak berlatar pendidikan tinggi. Ini berlaku di berbagai bidang, Suksesor di bidang Bisnis-tekhnologi misalnya, kita mengenal Thomas Alfa Edison (Penemu Lampu & Pendiri General Elektrik); Henry Ford (Pendiri Ford Motor); Bill Gates (Pendiri Microsoft); Ted Turner (pendiri CNN); Michael Dell (Pendiri Dell Computer); Steve Jobs (Pendiri Apple Computer); Ralph Lauren (Pendiri Polo). Mereka adalah beberapa contoh orang sukses yang tak memiliki ijazah perguruan tinggi.

Dan Ketiga, SIAMI bukanlah dari kalangan berpendidikan. Pendidikan formalnya hanya SMP PGRI di Kedungrukem, Gresik. Siami menjadi semacam responsi atas kegusaran beberapa kalangan berkaitan dengan gersangnya nilai-nilai keutamaan pendidikan karakter dalam dunia pendidikan kita. Pendidikan menjadi hanya rutinitas formal dan angka-angka. Pendidikan yang diharapkan akan memberi nilai lebih bagi kemanusiaan, tidak cukup memberikan solusi atas problem kemanusiaan melainkan telah memenjarakan kemanusiaan kita sendiri. Pendidikan kita lebih banyak berhenti dalam indikator-indikator kuantitas, ketimbang kualitas. Lebih banyak mengejar jumlah siswa dan gedung yang bagus, ketimbang output siswa yang berprestasi & berkarakter. Celakanya, sekolah juga memberi asupan yang paradox. Di kelas Guru Agama mengajari siswa untuk berakhlakul karimah dan bersikap jujur, tapi di ujian Guru menganjurkan sebaliknya? Astagfirullah. Benar pula, belum kering diskursus public berkenaan pendidikan karakter dan Pancasila, Siami sedang menjadi Guru kita semua. 

Adakah Sosok SIAMI di Bawean? Pertanyaan seperti ini tentu membuncah dalam kesadaran primordial saya. Kita rindu sosok pribadi dari kalangan Agamawan yang berfikir dan berjiwa besar yang terus menjadi tempat berteduh dan oase yang menyejukkan bagi ummat (rahmatan lil aalamin) tanpa batas (suku, golongan dan partai). Agamawan yang jujur menebarkan rahmat dan ukhuwwah, bukan perpecahan. Agamawan yang menjadi curahan hati (curhat) dari semua kalangan, dari mulai politisi, santri atau bajingan. Kita rindu Pemimpin yang lebih mendahulukan kebutuhan ummat ketimbang kenikmatan sendiri dan sesaat. Kita rindu Pemimpin yang mau hidup sederhana dan bersahaja, bukan pemimpin yang hidup berfoya-foya atas hasil jarahan harta Negara.

Dan semua kerinduan kita itu akan terobati, apabila fondasi pembangunan karakter bangsa kita, yaitu pendidikan, tidak hanya sekedar dilakukan reformasi melainkan kita rekonstruksi dan transformasi. Hal ini karena, pendidikan kita sudah seperti penyakit akut dan kronis. Dari beberapa informasi yang saya dapat dari praktisi pendidikan di Bawean, Instruksi sontekan seperti yang terjadi di SDN Gadel II, Surabaya itu, di Bawean bukanlah isapan jempol belaka. Konon sudah terjadi bertahun-tahun. Tapi, saya husnudzdzon, semoga semua prestasi hasil ujian nasional di Bawean bukan karena sontekan. Sebab jika itu terjadi, kita telah menanam bom waktu untuk generasi kita, mencetak generasi yang ambigu, generasi yang tidak jujur, generasi yang mengalami –dalam istilah psikologi—split personality. Dan jika itu masih terjadi, kita telah melakukan dosa besar dan berjamaah karena telah mencetak calon pemimpin yang tidak jujur dan amanah. Padahal keunggulan bangsa-bangsa besar seperti Jepang, Korea, AS, Inggris, dan Cina, karena pendidikan mereka mencetak generasi yang selain cerdas juga berkarakter kuat: generasi yang tidak pernah takut gagal, generasi yang berani mencoba, berani terhadap resiko, kreatif dan siap sukses (tidak lupa diri). Mereka tidak hanya melihat hasil melainkan proses, bahwa sesuatu yang diproses dengan cara tidak benar hasilnya pasti tidak benar. 

Ala Kulli hal, Kalau itu masih terjadi di Bawean, kayaknya kita harus malu pada Siami, Sosok pribadi berjiwa SANTRI dari orang berlatar Abangan, mewakili kalangan orang kecil yang berjiwa besar , dan mencerminkan pribadi berkarakter dari kalangan tidak berpendidikan tinggi. Pendek kata, Siami sedang mengajari kita semua kaum agamawan, kaum Elit dan Kaum Berpendidikan untuk berfikir ulang tentang paradigm dan metode dalam keagamaan, kepemimpinan dan pendidikan kita. Maka, bersatulah kaum agamawan, kaum elit dan pendidik untuk mengajarkan kejujuran. Wallahua’lam.

*) Wakil Sekretaris Pengurus Pusat LP-Ma’arif NU; Tenaga Ahli Anggota DPR-RI bidang Pendidikan, dan Direktur Eksekutif HUMAN INSTITUTE Jakarta.

SHARE :

Posting Komentar

 
Copyright © 2015 Media Bawean. All Rights Reserved. Powered by INFO Bawean