Peristiwa    Politik    Sosial    Budaya    Seni    Bahasa    Olahraga    Ekonomi    Pariwisata    Kuliner    Pilkada   
adsbybawean
Home » » Mengurai Simpul-Simpul Masalah
Transportasi Laut Bawean – Gresik

Mengurai Simpul-Simpul Masalah
Transportasi Laut Bawean – Gresik

Posted by Media Bawean on Rabu, 10 Oktober 2012

Media Bawean, 10 Oktober 2012

Oleh : Baharuddin
Ketua STAIHA Bawean.

Icha, begitulah biasanya gadis itu disapa. Hari itu keponakan mantan Kepala Desa Kebuntelukdalam Sangkapura Bawean, Pak Ibrahim, sedang bersedih. Sambil merebahkan badannya dikursi ia bergumam “Kalau tidak ada kapal sampai hari Kamis, tidak ada lagi kesempatan untuk menemui ayah dan ibuku di Malaysia. Icha pantas susah karena untuk membeli tiket pesawat yang terancam hangus itu ia kumpulkan berbilang bulan, bahkan tahun. Sejak kecil ia sudah ditinggal orang tuanya untuk mengais rizki di negeri jiran. Rupanya mereka kurang beruntung, sehingga begitu tamat Madrasah Aliyah Icha bernisiatif untuk menemui ayah bundanya senyampang Luswaenah tetangganya juga akan ke Malaysia.

Dalam suatu acara dihalaman SMP UMMA Sangkapura Bawean, dihadapan wali murid dan sejumlah warga Bawean, Suplan, Bupati Gresik pada saat itu, pernah berkata bahwa, “Bawean tidak dipisahkan oleh laut, tapi disatukan oleh laut”. Pada kesempatan yang lain, penggantinya, Bupati Wasiaji pernah berujar bahwa, “Tanpa Bawean, Kabupaten Gresik bukanlah Gresik”. Setiap Bupati Gresik mempunyai ungkapan tersendiri tentang Bawean. Bupati Sambari Halim dan pendahulunya KH. Robah Maksum pun juga demikian. Hanya saja Bupati sekarang lebih kongkrit, setidaknya jalan lingkar Bawean digarap lebih serius. Ungkapan-ungkapan yang dikemukakan para petinggi Gresik itu nuansanya lebih dekat kepada wacana, sebatas angin surgawi terutama dalam bidang transportasi laut.

Tahun 1890 pemerintah colonial Belanda mendirikan perusahaan pelayaran bernama KPM (Koninkelijitke Paketvaart Maattscappi) dan merupakn satu-satunya perusahaan yang oleh pemerintah diberikan hak mnopoli di bidang pelayaran di Indonesia. Pada tahun 1936, dengan disahkannya undang-undang perkapalan (Indische Scheepvartet) memberikan banyak fasilitas bagi perusahaan pelayaran KPM. Hal itu menyebabkan perusahaan KPM berkembang pesat dan mampu menyelenggarakan pelayaran di seluruh wilayah perairan Indonesia termasuk Bawean. Adalah Kemas Haji Jamaluddin bin Kemas Haji Said, seorang pedagang tekstil dan bahan makanan turunan Palembang menjadi agen perusahaan pelayaran tersebut yang dikelola dengan kongsi Cina untuk jalur Surabaya-Bawean-Banjarmasin-Singapura.

Pada tahun 1942, dengan adanya pendudukan Jepang di Indonesia, kapal-kapal niaga digunakan untuk melayani keperluan tentara Jepang, sehingga hampir semua pelayaran niaga terhenti operasinya. Tapi untuk jalur Surabaya – Bawean – Banjarmasin – Singapore tidak terpengaruh. Kapal yang melayani rute tersebut adalah KM. Van Goen. Kemudian ketika semua perusahaan yang didirikan oleh Belanda dinasionalisir, maka tahun 1957 perusahaan pelayaran KPM dan seluruh kekayaannya antara lain berupa 79 kapal berkapasitas lebih dari 135.000 DWT diserahkan kepada PN.PELNI. Sejak itulah sistim pelayaran di Indonesia menjadi kacau. Satu-satu kapal yang melayari Surabaya (Gresik) – Bawean tenggelam. Dimulai tahun 1957 menjelang Ramadlan , KM GC 7 yang memuat puluhan santri dan pedagang tenggelam -- menewaskan banyak penumpangnya -- sampai tahun 1992 KM. Vomini Wini karam sebelum karang Nyamuang. Dalam rentang waktu tersebut sekitar 10 Kapal Motor dan Kapal Layar Motor mengalami nasib yang menyedihkan. Tahun 1960 karena kelesuan ekonomi banyak perusahaan pelayaran swasta nasional mengalami kepailitan. Pada saat itu warga Bawean dimulai oleh Kemas Aman (lagi-lagi turunan Palembang) melakukan motorisassi perahu layar dengan desain khusus menjadi Perahu Layar Motor (PLM) Bawean Express. Menyusul kemudian Bawean Murni, Murni 2, Aji Raya, Aji Raya 7, Arta Jaya, Tirta Bakti, Kastoba, Mahkota, Barvo , Maha Jaya, dan Masa Jaya. Semuanya dimiliki putera-putera Bawean. Bawean tidak lagi terisolasi. Dengan semangat bahari, para pemuda Bawean dengan perahu Layar Motornya tidak hanya menghubungkan Bawean – Gresik, tapi menjangkau setiap kaki langit di tujuh penjuru angin sampai ke Sampit Kalimantan, Bangka Belitung, Kijang Kepulauan Riau, Lombok dan Sulawesi. Keberanian pelaut Bawean itu persis seperti yang diungkapkan oleh Ernest Hamingway dalam novelnya The Old Man and The Sea. Sayang, mereka lemah di manajemen. Ketika keadaan ekonomi di Indonesia kurang menguntungkan dunia pelayarana karena tingkat inflasi yang tinggi ( 300%) hal ini menyebabkan banyak perusahaan pelayaran yang kesulitan dana untuk memperbaharui armada disamping kondisi prasarana pelayaran yang semakkin menurun, antara lain fasilitas pelayaran niaga dan navigasi semakin menambah buruknya situasi pelayaran niaga saat itu, semakin mempercepat pula bangkrutnya pelaku bisnis pelayaran Bawean. Semuanya kolap. Transportasi laut kembali macet. Dalam situasi yang demikian, masyarakat kembali menggunakan perahu tradisional. Sebagian pengusaha PLM yang bangkrut itu pelan-pelan mencoba bangkit. Menyewa kapal motor jenis Ro-Ro. Tapi kapal tersebut benar-benar tidak layak untuk manusia karena bercampur dengan barang, sayur dan bahkan hewan. Untunglah pemerintah menurunkan kapal canggih, Jet Foill, suatu kapal dengan menggunakan mesin pesawat terbang Boing 747, bodinya dibuat oleh PT. PAL yang dpimpin BJ. Habibi. Dengan terbang dua meter diatas permukaan laut, jarak Bawean – Gresik sepanjang 90 mile hanya di tempuh dua jam. Pada saat itu tidak hanya harkat dan martabat penumpang terdongkrak, nama Bawean pun semakin terangkat.

Hanya sekitar tiga tahun kapal canggih itu melayani Bawean. Ditarik dengan alasan yang tidak jelas. Kembali kapal jenis Ro-Ro menggantikannya sampai akhirnya – karena tidak laik laut – diganti oleh Kapal Cepat Express Bahari yang menempuh Bawean – Gresik sekitar tiga jam. Hanya sekitar tujuh tahun kapal cepat itu melayani Bawean dengan alasan yang sama : tidak laik laut karena dibuat dari fiber. Dalam setiap masa transisi, ada saja kapal pengganti seperti kapal perang, kapal jurusan Surabaya – Kalimantan atau sebaliknya yang diminta singgah di Bawean, yang biasanya didahului dengan unjuk rasa. Sebelumnya, PT. Pelni pernah juga mengoperasikan kapal nya dan membuka kantor cabang di Bawean, sayangnya tidak reguler. Suatu penyelesaian sesaat.

Dengan berhentinya KM. Express Bahari, dan tidak jelasnya pengganti kapal itu, masyarakat Bawean kembali resah. Sejumlah elemen masyarakat Bawean menulis surat bahwa banyak tiket pesawat yang hangus, izin tinggal yang over stay, kegiatan masyarakat yang terganggu bahkan batal, hilangnya kesempatan bekerja di negeri jiran karena terlambat datang dan sebagainya. Lalu dalam keadaan seperti itu, pemuda Bawean melakukan unjuk rasa, rakyat menghujat anggota dewan karena dianggap tidak becus menyuarakan aspirasi mereka, sebaliknya anggota dewan ikut sibuk mencari kapal sambil – biasanya – membagi bungkusan nasi kepada calon penumpang yang terlantar, sebagian membuat pernyataan bahwa, “fraksi kami tidak henti-hentinya memperjuangkan lancarnya transportasi laut dari/ke Bawean”, dan Bupati mengundang sejumlah Kiyai dan tokoh Bawean lainnya untuk dimintai pendapatnya sambil kembali menyatakan bahwa Pemkab Gresik berencana untuk membeli kapal sendiri dan menghidupkan kembali Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) PT. Gresik Samudera.

Jika pemerintah mempunyai political will, simpul-simpul permasalahan transportasi laut dapat diurai secara terencana dan pasti. Pendirian BUMD dalam bidang pelayaran adalah salah satu pilihan yang cerdas. Hampir semua kabupaten/kota di Indonesia Timur memiliki perusahaan pelayaran sendiri. Pertanyaan yang mengemuka : kenapa PT Gresik Samudera yang didirikan pada tahun 1996 tidak jalan? Apakah modal yang tidak memadahi, ataukah SDM nya yang dibawah standar?. Adakah proses pendirian PT itu sesuai dengan aturan?. Lantas sejauh mana anggota dewan melakukan pengawasan terhadap BUMD tersebut?.

Maka, saatnya semua pihak menggunakan akal sehat. Hentikan menghujat kegelapan, segera nyalakan lilin. Para pemuda dan mahasiswa Bawean gantilah unjuk rasa dengan konsep pemecahan masalah yang rasional. Meminjam ungkapan teman-teman mahasiswa GMNI di tahun 80 an, dari pendekar pejuang dan pejuang pendekar, menuju pemikir pejuang dan pejuang pemikir. Kepada rakyat, hentikan meminta anggota Dewan untuk mendatangkan kapal, sebab tugas dewan hanya sebatas melakukan legislasi, penganggaran dan pengawasan. Kepada anggota Dewan hentikan membangun citra dengan cara ikut-ikutan mencari kapal, sebab mencari kapal adalah pekerjaan makelar, tugas Anda adalah dibidang regulasi. Kalau perlu Dewan dapat menggunakan hak inisiatif nya untuk membuat (menyempurnakan) Peraturan Daerah tentang Pelayaran. Kepada Bupati, hentikan mengundang Kyai dan tokoh masyarakat lainnya untuk membahas persoalan yang memang bukan bidangnya, akan lebih afdlol mengundang Prof. Dr. Daniel Rasyid “dukunnya” kapal dari Fakultas Perkapalan ITS Surabaya. Atau mengundang Prof. Dr.Joko, dosen Pasca Sarjana UNAIR untuk minta bantuan dalam hal analisis bisnisnya. Dan kepada Kyai, tidak perlu menghadiri acara seperti itu, katakan dengan lembut kepada beliau, bahwa “bidang itu bukan domain kami, antum a’lamu bi umuridunyakum”.

Semoga janji Bupati bahwa tahun 2013 Pemkab akan memiliki kapal sendiri benar-benar menjadi kenyataan dan Icha, gadis mungil Kebuntelukdalam itu kembali mempunyai asa bertemu dan memeluk ayah dan bundanya dengan hangat.

SHARE :
 
Copyright © 2015 Media Bawean. All Rights Reserved. Powered by INFO Bawean