Media Bawean, 18 Mei 2013
Kategori Pelajar
Nama Penulis : Muhammad Rahel
Alamat : Pamona, desa Sidogedungbatu,
Sangkapura, Gresik
Sekolah : SMA Ibrahimy Sukorejo Situbondo
Kelas : XII IPA
Di kalangan remaja, wisata Pulau Bawean memiliki nilai eksotis tersendiri yang sudah sepantasnya disandingkan dengan destinasi wisata di daerah-daerah lainnya. Tidak berlebihan jika wisata Pulau Bawean dijadikan kebanggaan dan aset berharga yang dimiliki oleh masyarakat pulau Puteri. Bagaimana mungkin kita menafikan keindahan alamnya semisal pulau Noko, pulau Selayar, danau Kastoba, pantai Mayangkara, gunung Rabet dan beberapa tempat yang tidak mungkin penulis sebutkan semuanya. Pertanyaan mendasar Saat ini adalah, tinggal seberapa jauh sumber daya manusianya mampu untuk mengelola wisata yang penuh dengan nilai estetis itu.
Menurut hemat penulis, perlu adanya semacam planning dan implementasi yang konkrit berupa dukungan yang sifatanya konstruktif dari berbagai pihak, baik dari pemerintah daerah maupun dari masyarakat serta peran aktif remaja pada khususnya, sehingga nantinya bisa dijadikan penunjang untuk destinasi wisata.
Dalam realitanya, remaja adalah salah satu pihak yang menduduki peran strategis untuk mengembangkan potensi wisata. Tidak dapat dipungkiri jika remaja adalah bagian yang tak terpisahkan dari kemajuan wisata Pulau Bawean. Hal ini bisa kita buktikan, pada saat hari-hari besar, seperti hari Raya Idul Fitri ataupun hari Raya Idul Adha, mayoritas yang berkunjung ke berbagai tempat wisata di dominasi oleh kaum remaja. dan Hal semacam ini dianggap lumrah karena selaras dengan dendang abang haji Rhoma Irama “masa muda adalah masa yang berapi-api”. tidak heran jika spirit darah muda lebih tinggi dari yang tua untuk mengunjungi wisata Pulau Bawean.
Dilain hal, berbagai persoalan baru mulai bermunculan ditengah-tengah rasa cinta kaum remaja terhadap wisata Pulau Bawean, hal itu berupa nilai-nilai dan etika yang tidak lagi relevan dengan nilai-nilai dan etika keislaman. Tidak sedikit kita jumpai aksi brutal dan tindakan kriminal yang diaktori oleh kaum remaja, sebut saja aksi ugal-ugalan, pertengkaran, bahkan berzina di tempat wisata juga merupakan problem bagi semua pihak yang harus diselesaikan. Aksi ini merupakan pelecehan terang-terangan terhadap nilai eksotis wisata yang kita banggakan. jika aksi amoral remaja yang semacam ini terus saja dipertahankan atau bahkan kita acuhkan, maka akan berdampak mengganggu stabilitas keamanan, ketentraman, dan kenyamanan. dan bahkan bukan tidak mungkin nilai estetis dan eksotis wisata pulau Puteri akan lenyap.
Menurut analisis penulis, realita yang telah terjadi ditengah-tengah etika kaum remaja yang makin bobrok, disebabkan karena minimnya etika nilai keislaman, dalam artian kurangnya tindakan positif dari aplikasi rasa syukur di kalangan masyarakat khususnya kaum remaja terhadap limpahan anugerah keistimewaan wisata, sehingga hal ini berdampak negatif terhadap kelangsungan nilai eksotis wisata.
Pada dasarnya etika amoral remaja yang terjadi di Pulau Bawean merupakan suatu yang sangat ironis, hal ini mengingat secara keseluruhan masyarakatnya adalah pemeluk agama islam. Bukankah sudah menjadi rahasia umum, “jika pulau bali menjadi destinasi parawisata domestik maupun pariwisata mancanegara dikarenakan memiliki identitas atau karakter pada budayanya" (baca: blogspot.com/hubungan pariwisata dan budaya), artinya ada nilai budaya yang sama sekali tidak terkontaminasi dengan masuknya budaya barat, sehingga hal ini menjadi daya tarik tersendiri untuk pariwisata mengunjungi Pulau Bali. Bali saja bisa, mengapa Pulau Bawean tidak bisa?. Sebenarnya jika ada komitmen yang kuat dalam diri masyarakat untuk menjadikan Pulau Bawean sebagai destinasi wisata, disamping juga ada upaya untuk mempertahankan nilai budaya keislaman sebagai identitas, maka bukan hal yang mustahil jika wisata Bawean nantinya akan memiliki pamor yang eksotis di kancah nasional atau bahkan di kancah internasional dan cepat atau lambat semua itu akan terealisir.
Pada dasarnya etika amoral remaja yang terjadi di Pulau Bawean merupakan suatu yang sangat ironis, hal ini mengingat secara keseluruhan masyarakatnya adalah pemeluk agama islam. Bukankah sudah menjadi rahasia umum, “jika pulau bali menjadi destinasi parawisata domestik maupun pariwisata mancanegara dikarenakan memiliki identitas atau karakter pada budayanya" (baca: blogspot.com/hubungan pariwisata dan budaya), artinya ada nilai budaya yang sama sekali tidak terkontaminasi dengan masuknya budaya barat, sehingga hal ini menjadi daya tarik tersendiri untuk pariwisata mengunjungi Pulau Bali. Bali saja bisa, mengapa Pulau Bawean tidak bisa?. Sebenarnya jika ada komitmen yang kuat dalam diri masyarakat untuk menjadikan Pulau Bawean sebagai destinasi wisata, disamping juga ada upaya untuk mempertahankan nilai budaya keislaman sebagai identitas, maka bukan hal yang mustahil jika wisata Bawean nantinya akan memiliki pamor yang eksotis di kancah nasional atau bahkan di kancah internasional dan cepat atau lambat semua itu akan terealisir.
Langkah Kedepan yang harus kita lakukan adalah evaluasi kembali setiap aspek kehidupan, terutama dari sistem pendidikan dan pengawasan terhadap remaja, serta adanya upaya penanaman nilai-nilai spiritualitas. karena peroses inilah yang nantinya akan melahirkan sumber daya manusia yang berkualitas IMTAQ dan IPTEK. tidak cukup hanya mengandalkan remaja sebagai ujung tombak penunjang wisata Pulau Bawean, perlu juga dukungan dari semua pihak sehingga akan terwujud kesolidan di setiap lini sumber daya manusianya.
Dalam menyambut Pulau Bawean sebagai destinasi wisata, sekali lagi sangat dibutuhkan dukungan yang sifatnya konstruktif dari semua pihak, baik dari pemerintah daerah maupun masyarakat, generasi muda maupun yang tua, sehingga apa-apa yang menjadi harapan dan cita-cita masyarakat terkait Pulau Bawean sebagai destinasi wisata, bisa dengan mudah terwujud. dan tentunya dengan tetap mempertahankan nilai budaya keislamannya sebagai karakteristik wisata Pulau Bawean. Terakhir yang menjadi pertanyaan adalah, apakah masyarakat bawean mau merealisasikan semua itu?.
‘Salam satu jiwa untuk kesatuan dan kemajuan Bawean’