Peristiwa    Politik    Sosial    Budaya    Seni    Bahasa    Olahraga    Ekonomi    Pariwisata    Kuliner    Pilkada   
adsbybawean
Home » » Puasa Dalam Multi Dimensi Dan Tradisi

Puasa Dalam Multi Dimensi Dan Tradisi

Posted by Media Bawean on Kamis, 11 Juli 2013

Media Bawean, 11 Juli 2013

Mengintip Lebih Dekat 
Tradisi Daerah dalam Ramadhan 
Oleh : Sugriyanto 

Sebelum memasuki ulasan lebih jauh tentang puasa akan lebih afdal bila dipersembahkan sebuah untaian kebahagian dalam menyambut tibanya bulan suci Ramadhan dengan jargon utama “Marhaban Ya Ramadhan, Ahlan wa Sahlan.”

Puasa secara logat atau bahasa seakar dengan kata imsak (Baca: Bawean-dukduk) yang artinya mencegah atau menahan. Terutama mencegah keinginan hawa nafsu dari sikap dan perbuatan yang dapat membatalkan pahala puasa. Secara hukmiyah puasa dapat diartikan perbuatan menahan makan dan minum serta menahan segala sesuatu yang dapat membatalkan pahalanya sejak menjelang terbit fajar (subuh) hingga tenggelamnya fajar (magrib) dengan ketentuan yang telah ditetapkan. Sebagai bulan “seribu berkah” puasa memiliki berbagai macam aspek tradisi yang unik dan menarik dari tiap-tiap daerah.

Renungan yang mengemuka dalam benak umat Islam di dunia saat ini tentang datangnya bulan yang di dalamnya terjadi peristiwa awal turunya kitab suci Al-Qur’an kali pertama tepatnya pada tanggal tujuh belas Ramadhan. Secara simbolis kewajiban menunaikan rukun Islam sudah ditetapkan oleh Allah Azzawajalla pada peristiwa Isra’ Mi’raj. Sehingga menurut nalar tidaklah keliru urutan rukun Islam yang lima telah ditetapkan terlebih dahulu oleh Rasulullah SAW dalam sebuah sabdanya yang dirawikan oleh Imam Bukhari dan Muslim dari Ibnu Umar r.a yang artinya kurang lebih sebagai berikut.
“Islam itu dibangun atas lima sendi, yaitu : bersaksi bahwa tidak ada Tuhan yang patut disembah kecuali Allah SWT dan sesungguhnya Nabi Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan shalat, menunaikan zakat, berpuasa pada bulan Ramadhan dan menunaikan haji ke Baitullah bagi siapa yang kuasa menjalankan.”(Bukhari dan Muslim). 

Jelas, dari hadits di atas posisi zakat dalam urutan rukun Islam mendahului puasa akan tetapi pelaksanaan penunaiannya kerap kali di akhir puasa atau memasuki 1 Syawal bahkan menjelang shalat Id. Mengapa demikian? Menurut penegasan dari KH. Hazin Zainuddin karena yang dimaksud zakat yang dikeluarkan dalam bulan diturunkannya malam lailatul qadar itu adalah zakat fitrah untuk menyempurnakan kesucian umat Islam setelah sebulan berpuasa untuk menuju kembali kepada fitrah. Urutan itu pun sudah dinashkan dalam Al-Qur’an sehingga tak terbantahkan lagi. Termasuk kewajiban menjalankan puasa mengapa dimulai sejak tanggal 1 Ramadhan? Padahal Al-Qur’an yang berisi perintah menjalankan kewajiban itu baru diturunkan pada malam ke-17 bulan Ramadhan. Sinkronkah antara perintah kewajiban dengan implementasi pelaksanaannya? Masih menurut Kyai Kharismatik dan sepuh tersebut bahwa secara simbolis sudah ditetapkan pada peristiwa Isra’ Mi’raj.

Sebagai penguat ketentuan penetapan awal pelaksanaan diwajibkannya puasa yang secara simbolis ditetapkan pada peristiwa Isra’ Mi’raj, ada baiknya bila dinukilkan sebuah keterangan dalam kitab “Sirah Nabi Muhammad SAW” yang ditulis oleh Imaduddin Abul Fida’ Isma’il bin Umar bin Katsir al-Qaisi al-Qurasyi al-Dimasyqi dengan asma masyhurnya Ibnu Katsir pada pasal 5 halam 99 dengan sub judul Pengalihan Kiblat dan Diwajibkannya Puasa Ramadhan adalah sebagai berikut. “Pada bulan sya’ban, pada tahun yang sama, kiblat kaum Muslimin dialihkan dari baitul Maqdis ke Ka’bah. Pengalihan itu terjadi tepatnya pada awal bulan keenam belas setelah kedatangan Rasulullah SAW ke Madinah. Sahabat yang pertama kali shalat menghadap Ka’bah adalah Abu Sa’id bin al-Mu’alla dan sahabatnya sebagaimana diriwayatkan oleh an-Nasa-i. Puasa Ramadhan juga mulai diwajibkan, demikian pula zakat fitrah telah diwajibkan sehari sebelumnya.” (Al-Hafizh Ibnu katsir: 2010: 99). 

Senada dengan hal yang termaktub di atas Moh. Abdai Rathomy dalam bukunya yang berjudul Penuntun Khutbah Komplit menerangkan pula bahwa turunnya kewajiban berpuasa itu diterima oleh Rasulllah SAW di Madinah , yaitu pada hari Senin tanggal 2 bulan Sya’ban sesudah beliau hijrah dapat dua tahun.Terang sudah kepada kita bahwa ditetapkannya pelaksanaan puasa bukan berdasarkan turunya wahyu (Nuzulul Qur’an) pada tanggal 17 Ramadhan melainkan sudah ditetapkan sebelumnya yakni pada bulan Sya’ban. Namun, tentang kewajiban melaksanakan puasa bagi orang-orang beriman sudah dinashkan dalam surat Al-baqarah yang artinya kurang lebih demikian. “Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (QS Al-Baqarah: 183).

Bila diperhatikan dengan cermat pada ayat tersebut terdapat klausa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu (Muhammad SAW) mengandung arti bahwa ada Nabi-Nabi yang menjalankan puasa sebelum Nabi Muhammad SAW. Siapa sajakah Nabi-Nabi itu di antaranya? Selama ini awam hanya mengenal puasa Daud. Hal ini perlu dicerahkan kembali bahwa ada Nabi lain yang memiliki kebiasaan puasa yang perlu diketahui. Seperti yang tertuang dalam kitab berjudul “Kisah Para Nabi” yang ditulis oleh Ibnu Katsir pada halaman 114 diceritakan bahwa “Nuh mengerjakan puasa dahr ( sepanjang masa) kecuali hari idul Fitri dan Idul Adha. Daud berpuasa setengah dahr (sehari puasa, sehari tidak puasa). Sedangkan Ibrahim berpuasa tiga hari dalam satu bulan ( HR. Thabrani).

Bagaimana dengan tradisi yang menghiasi kedatangan bulan penuh keramat ini? Letak kekeramatan bulan Ramadhan salah satu di antaranya menurut hemat penulis bahwa posisi bulan “Seribu Berkah” ini dalam urutan bulan-bulan Hijriyah menempati pada posisi angka ke- 9. (1. Muharram 2. Safar 3. Rabiul Awal 4. Rabiul Akhir 5. Jumadil Awal 6. Jumadil Akhir 7. Rajab 8. Sya’ban 9. Ramadhan 10. Syawal 11. Dul Qaiddah 12. Dzul Hijjah). Angka 9 merupakan angka tertinggi dalam bilangan Arab. Sungguh hal ini merupakan sebuah anugerah dari Allah SWT. tentang rahasia pengurutan bulan suci Ramadhan pada tataran ke -9. Orang tua pun seringkali menyampaikan tentang “karomah” dari bulan diturunkannya malam Lailatul Qadar dengan statemen yang terkadang membuat penasaran yang banyak mengundang rasa ingin tahu yang sebenarnya, khususnya tentang Syaitan yang di‘panggher’ alias dibelenggu di bulan puasa. 

Pernyataan tersebut bukan sekadar cerita fiktif alias ‘pandir kepak’, melainkan berdasarkan hadits Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Nasa-i, dan Baihaqi dari sahabat Abu Hurairah r.a. yang artinya demikian. “Telah datang kepadamu semua suatu bulan yang diberkahi, dalam bulan itu Allah SWT. mewajibkan padamu semua untuk melakukan ibadah puasa. Dalam bulan itu dibukakanlah semua pintu surga dan ditutuplah semua pintu neraka, serta dibelenggulah semua syaithan, dan di dalamya ada suatu malam yang lebih baik daripada seribu bulan (yakni lailatul qadar). Barang siapa yang terhalang dari kebaikan malam itu, maka benar- benar terhalanglah dia (dari segala kebaikan).” 

Jikalau ada orang bertanya, mengapa masih ada saja orang yang berbuat kemaksiatan dan kemungkaran, padahal syaithan sudah dibelenggu, diikat dan dipenjarakan? Jawabnya : Itu adalah suatu tanda bahwa rohaniahnya orang tersebut sudah amat penuh dengan keburukan, jadi sekalipun yang menggoda sudah pergi , hatinya tetap kotor. Maka dari itu tidak dapat menghilangkan hawa nafsu yang selalu mengajak kemaksiatan dan kemungkaran (Moh. Abdoi Rathomy: 188). Mari kita sibak aneka tradisi mulai memasuki, tengah, dan akhir Ramadhan dengan segala aspeknya.

Beberapa hari menjelang puasa kaum muslimin melaksanakan kegiatan bersih-bersih seperti kegiatan gotong royong istilah dusunnya “apotong royong” atau “aroyongan” membersihkan tempat-tempat umum. Warga dengan bersama-sama membersihkan tanah lapang pemakaman atau pekuburan, mengecat atau mengapur tempat ibadah dan tempat yang dianggap vital lainnya. Ibu-ibu rumah tangga mencuci perangkat shalat berupa ruku atau mukenah dan sajadahnya sebagai bentuk usaha penyucian memasuki bulan suci. Detik-detik kurang sehari tibanya bulan puasa warga “matobuk-tobuk” dengan laga aji mumpung menyantap hidangan sepuasnya sebagai detik terakhir diperbolehkannya menyantap makanan di siang hari. Akibatnya, persediaan jajan atau camilan sebagai kudapan baik di pasar umum maupun di kedai-kedai menjadi tumpas saat itu. Peluang emas itu oleh para perajin kuliner dimanfaatkan untuk meraup keuntungan yang berlebih. Ungkapan yang tidak patut dan wajib dienyahkan dari lisan kaum beriman menjelang puasa adalah “La deteng bulen se kaneaje” dalam arti bebas sudah datang bulan aniaya. Orang dewasa semisal itu sudah kurang waras mata hatinya bila bercanda yang amat tidak patut didengarkan. Perangai seperti itu sudah kasep dan sudah ‘taber’ alias wargeng untuk didengar.

Biasanya anak-anak muda memasuki bulan suci Ramadhan menyambutnya dengan gegap gempita sambil membunyikan ‘bedil bumbung’ berupa padasan bambu atau petung yang diisi dengan minyak tanah disulut lewat lubang pemicu menghasilkan bunyi dentuman. Hampir tidak terdengar saat ini. Salah satu pemberatnya adalah melambungnya harga minyak tanah dan penertiban oleh pihak keamanan karena melihat sisi kemudaratan setelah banyak disalah gunakan atau akibat buruk yang cukup membahayakan. Seperti terbakarnya bulu kedip dan alis karena terjadi ‘wul’ padasan ngolap membara spontan saat lubang pemicu ditiup untuk mengeluarkan sisa-sisa asap di dalamnya. Anak-anak tidak tahu kalau di dalam padasan masih bersemayam bara api. Saat hendak meniup lubang pemicu ‘bedil bumbung’ menyemburkan dengan tiba-tiba kobaran api yang langsung melalap muka pelakunya. Aroma hangus bulu terbakar menyeruak dan bulu alis serta bulu kedip mengeriting seperti layaknya habis direbonding. Yang lebih fatal lagi wajah pelaku lebam terbakar akhirnya harus masuk unit perawatan intensif. Ini yang mendasari penertiban tersebut. Tidak hanya itu saja, kebiasaan lain yang muncul menjelang bulan Ramadhan membanjirnya mercon atau petasan dan kembang api yang dijual oleh pedagang dadakan. Tradisi ini sudah lama dan sulit untuk dihindarkan. Setelah penulis kaji lewat tinjauan historis-diakronis ditemukan ujung pangkalnya permulaan peletupan mercon atau petasan dengan kembang api secara semarak dimulai sejak Indonesia merdeka tepatnya berbarengan dengan peristiwa hari kemerdekaan Republik Indonesia yang jatuh tepat pada tanggal 17 Agustus 1945 dengan peristiwa 17 Ramadhan. Kemeriahan dan kegembiraan itu diluapkan dengan pukul beduk, pembunyian serene, atraksi kembang api, letupan mercon dan sebagainya yang dianggap penggembira saat itu. Sampai saat ini masih tersisa menjadi tradisi yang perlu dikaji kembali faedahnya.

Tradisi lain yang masih terus dilakoni warga saat memasuki bulan suci Ramadhan adalah acara ‘nyare malem’ istilah daerah lainnya adalah ngabuburet. Sebagai bentuk penyelimuran dari rasa lapar dan dahaga. Kegiatan ini berupa jalan-jalan atau berkendara seperlunya dengan tanpa disadari dan tidak terasa tiba-tiba beduk tiba. Pada malam hari hampir di setiap langgar, mushallah, dan masjid ramai dengan kegiatan shalat taraweh plus witir yang dilanjutkan dengan tadarus massal. Mengutip lagu relegi dari album Sam Bimbo kegiatan tersebut sungguh dapat memahamkan para kaum muslimin tentang esensi taraweh dan tadarus yang cuplikan liriknya adalah sebagai berikut.

Ada anak bertanya pada bapaknya 
Buat apa berlapar-lapar puasa 
Ada anak bertanya pada bapaknya 
Taraweh, tadarus apalah gunanya

Lapar mengajakmu rendah hati selau 
Taraweh mendekatkan diri pada Ilahi 
Tadarus artinya memahami kitab suci.

Kegiatan tadarus versi warga Bawean membawa berkah dalam amal sedekah. Betapa tidak, hampir setiap malam di seluruh langgar dan mesjid penuh dengan limpahan rezeki berupa makanan dengan segala variannya yang disuguhkan untuk para petadarus. Bahkan beberapa masjid menyediakan “pabhuka” untuk takjil kaum muslimin. Tidak hanya itu saja setiap masjid banyak yang mengisi kegiatan pengajian baik di sore hari menjelang beduk magrib maupun menjelang shalat subuh. Sedikit terkoreksi tentang penggunaan pengeras di saat kultum (kuliayah tujuh menit) menjelang shalat subuh yang suaranya menggelegar ke luar arena masjid sedikit mengganngu jamaah shalat subuh dari mushallah dan masjid yang berdekatan. Kecuali kultum itu waktunya disampaiakan setelah shalat subuh berjamaah. Alangkah indahnya nilai sebuah ibadah dalam bulan suci Ramadhan bila semua pihak cukup mengeraskan volume pengeras di lingkungan atau arena dalam masjid semata. Sehingga demensi sosial kemasyarakatan benar-benar terwujud atas saling pengertian. Termasuk kegiatan Tung-tung memakai (kul-kul/kentongan) dengan cara berpatroli di malam hari perlu diatur tentang waktu yang tepat sehingga benar-benar niatan membangunkan orang untuk bersahur berbuah ibadah atau mendapat pahala seperti pahala orang yang berpuasa itu sendiri.

Puasa di dalam bulan suci Ramadhan pun merupakan ajang pendidikan nurani atau batin umat manusia khususnya orang-orang beriman agar semakin tajam naluri kemanusiaannya. Betapa perasaan lapar yang diderita kaum duafa dan fakir miskin dapat dirasakan bersama pula di bulan penuh maghfirah dan pengampunan ini. Penderitaan orang melarat juga terasakan bersama. Sehingga mampu menumbuhkan rasa solidaritas kemanusiaan untuk membantu dan saling menolong sesama. Rasa empati dan simpati itu muncul dengan kesadaran dalam perasaan yang sama. Wujud nyata dari rasa belas kasih di dalam bulan suci Ramadhan berupa pemberian sedekah yang nilai pahalanya dilipat gandakan bila dibandingkan sedekah di luar bulan Ramadhan. Begitu pula dari dimensi kesehatan bahwa orang yang berpuasa akan menjadi lebih maju kesehatannya karena secara fisiologi anatomi manusia di bulan puasa banyak mengistirahatkan organ-organ tubuhnya.Ibarat mesin yang diforsir pemakaiannya akan mengakibatkan komponen-komponennya menjadi aus atau rusak. Demikian halnya dengan organ tubuh manusia butuh istirahat. Di bulan puasa ini momen latihan untuk mengistirahatkan kerja paksa dari anggota tubuh manusia.

Bila ditinjau dari dimensi spiritual keagamaan terdapat beberapa keutamaan dari ibadah puasa:

1. Melebur dosa antara Ramadhan dan Ramadhan mendatang; 
2. Melebur dosa yang sudah-sudah; 
3. Dapat memberikan syafaat kepada yang mengerjakannya pada saat kiamat nanti; 
4. Dijauhkan dari siksa neraka; 
5. Pintu Rayyan dalam surga dibukakan untuk lewatnya para ahli berpuasa. (Moh. Abdoi Rathomy: 188-190).

Tidaklah berlebihan pula bila sebuah isi sms yang terkirim dari al ustadz besar Drs. Cuk Sugrito setahun yang lalu dalam tajuknya “Renungan Ramadhan” yang terkutip sebagai berikut. (Ramadhan sebagai bulan pembakaran). “ Di tengah pasar yang ramai, seorang perempuan berlari dengan seember air di tangan kanan dan sebuah obor di tangan kiri. Orang-oang heran ada yang berteriak “ Hai apa yang akan kamu lakukan dengan air dan api itu?”.Perempuan itu menjawab “Dengan air ini akan kupadamkan neraka dan dengan api ini akan kubakar surga agar manusia tidak lagi menyembah Tuhan karena takut neraka dan berharap surga. Aku hanya ingin manusia beriman dan beribadah kepada-Nya karena cinta.”

Memasuki akhir bulan suci Ramadhan, warga mulai mengecat atau mempercantik rumah masing-masing. Kebiasaan ini membawa berkah kepada pemilik toko bahan bangunan. Akibat kesibukan dalam pekerjaan memperindah rumah terkadang membuat warga malamnya dalam kelelahan. Taraweh semakin terasa berat menyebabkan shaf shalat mulai maju alias berkurang banyak. Ibu-ibu biasanya sibuk membikin makanan khas lebaran. Dulu makanan khas yang kerap kali dibuat adalah ladreng dan kuping-kuping gajah ditambah ketupat, apem, leppet, serondeng, dan lopes. Biasanya makanan khas daerah itu dipersiapkan untuk acara selamatan penutupan bulan Puasa. Di antara tetangga yang satu dengan tetangga yang lain saling mengundang bergantian untuk acara selamatan tersebut.

Sebelum tulisan ini diakhiri masih tersisa kebiasaan unik yang dilakukan anak-anak di bawah umur yang biasanya masih dalam tahap belajar berpuasa kedapatan “nyawwel” atau makan secara sembunyi di balik pengetahuan kedua orang tuanya. Isilah “nyawwel” berasal dari bentukan kata bulan Syawal. Ibaratnya tidak sabar untuk segera makan di siang hari di bulan Ramdhan akhirnya dilompati atau dipercepat sendiri menjadi bulan Syawal. Langsung menuju ke Syawal dengan makan sembunyi di siang hari. Muncullah istilah populernya “Poasa ereng-ereng, apoasa abik nasek sa pereng dan poasa iyok-iyok, apoasa abik nasek sapareok.” Dengan terjemahan bebasnya adalah Puasa iring-iring, berpuasa menghabisi nasi sepiring dan Puasa Iyuk-iyuk, berpuasa menghabisi nasi seperiuk.” Celakanya lagi anak-anak saat ini melakoni tradisi baru berupa permainan tembak-tembakan di hari raya dengan peluru plastik yang cukup membahayakan akibatnya. Padahal di pagi hari setelah melaksanakan shalat Id berjamaah dilanjutkan dengan bersalam-salaman dari rumah ke rumah sesudahnya malah mereka membawa senapan mainan memberondong teman dan orang lain. Penulis tidak dapat membayangkan betapa dahsyatnya perang saudara dengan menumpangi odong-odong jika masih diperbolehkan membawa senapan mainan itu. Perhitungkan kembali permainan yang banyak meresahkan anak-anak lain pada umumnya.Sebagai pamungkas dalam tulisan ini izinkan penulis menyampaikan kata maaf buat kaum muslimin seluruhnya khususnya pembaca setia EmBe. Dengan harapan semoga disampaikan kembali usia kita pada puasa tahun ini sepenuhnya dan dipertemukan kembali dengan puasa-puasa berikutnnya. Sahur...Sahur...Sahur...Amin!

SHARE :
 
Copyright © 2015 Media Bawean. All Rights Reserved. Powered by INFO Bawean