Peristiwa    Politik    Sosial    Budaya    Seni    Bahasa    Olahraga    Ekonomi    Pariwisata    Kuliner    Pilkada   
adsbybawean
Home » , » Telaah Karakter Pemilih Dalam Pemilu

Telaah Karakter Pemilih Dalam Pemilu

Posted by Media Bawean on Jumat, 23 Agustus 2013

Media Bawean, 23 Agustus 2013 

Oleh : Jamaluddin, S.Si, M.Pd.I (Ketua PPK Sangkapura) 

Sebentar lagi perhelatan akbar “Pesta Demokrasi Rakyat Provinsi Jawa Timur”, yaitu Pemilihan Umum Kepala Daerah Provinsi Jawa Timur akan berlangsung, tepatnya pada hari Kamis, tanggal 29 Agustus 2013. Dalam hitungan yang hanya tinggal sepekan ini, seakan di Kepulauan Bawean terasa sepi-senyap dari glamour ajakan untuk memilih pasangan calon dari empat pasangan calon yang ada, sepertinya disengaja oleh semua pasangan calon jika suara rakyat di kepuluan Bawean dicampakkan alias tidak diperhitungkan. Tidak terlihat adanya baliho, poster, stiker maupun publikasi-publikasi lain dalam bentuk ajakan, apalagi yang namanya kampanye dari tim sukses pasangan calon tersebut. Aspirasi Rakyat Kepulauan Bawean yang mau menyalurkan hak pilihnya pada hari Kamis tanggal 29 Agustus 2013, mutlak karena kesadaran nasionalisme yang tinggi dan berangkat atas dasar tuntutan keikhlasan hati nuraninya dalam melaksanakan kewajibannya sebagai anak bangsa yang baik.

Terbatasnya kemampuan Pihak penyelenggara (PPK, PPS, dan KPPS) yang ada di Kepulauan Bawean dalam berusaha melakukan sosialisasi tentang pelaksanaan Pemilihan Umum Kepala Daerah Provinsi Jawa Timur yang akan berlangsung pada hari Kamis tanggal 29 Agustus 2013 yang dilaksanakan kepada semua lapisan masyarakat, baik yang dilakukan berupa bentuk pertemuan maupun pengumuman-pengumuman pemberitahuan pelaksanaan, karena yang terbentur dengan minimnya ketersediaan anggaran kegiatan belum lagi terbentur dengan kegiatan tahapan pemutakhiran data pemilih Pemilu Legislatif Tahun 2014 yang memasuki pada tahan entri DPSHP/DPSHPA, juga menyebabkan kurangnya sentuhan informasi terhadap keseluruhan masyarakat Kepulauan Bawean. Mudah-mudahan tidak mengecilkan anemo partisipasi masyarakat, yang mengakibatkan angka golput (golongan putih) di kepulauan Bawean bisa menjadi tinggi. Dalam tulisan ini dicoba untuk mentelaah karakter pemilih di Kepulauan Bawean, akibat yang seringkali tidak tersentuh oleh banyak kaum elite dan politisi dalam setiap penyelenggaraan pemilu.

Sering kali dalam setiap perbincangan di durung-durung, tidak sedikit orang yang berkomentar dalam bentuk pernyataan: apa susahnya menjadi pemilih dalam pemilu, Bukankah itu pekerjaan yang selesai dilakukan hanya beberapa menit saja?. Kita tentu mempunyai berbagai penilaian atas pernyataan tersebut. Sebagian dari kita mungkin mengatakan, ini pernyataan ‘banyolan’. Namun, kalau ditelusuri agak serius, pernyataan ini sebenarnya mengisyaratkan percampuran berbagai kondisi psikologis masyarakat, antara kepedulian untuk ikut berpartisipasi dalam pemilu, bersikap apatisme, dan hampanya harapan untuk masa depan pascapemilu. Fenomena demikian dipandang lumrah dalam masyarakat. Meski demikian, sebagai bagian dari proses demokrasi yang paling workable sekarang ini, keberadaan pemilu tidak bisa diabaikan begitu saja. Ia menjadi prasyarat utama untuk menandai apakah demokrasi terjadi atau tidak dalam tegaknya Negara berdasarkan kedaulatan rakyat. Pemilu dalam konteks ini menjadi satu-satunya ruang untuk menunjukkan keberkuasaan rakyat atas elitenya. Melalui proses pemilu itu, rakyat menyerahkan sebagian kedaulatannya kepada elitenya.

Hal inilah yang membedakan antara demokrasi dan nondemokrasi, baik dalam proses pemilihan maupun bentuk pertanggungjawaban kepada publik. Melalui prosedur ini, rakyat bisa menuntut pertanggungjawaban atas kinerja sebuah pemerintahan yang berujung pada apakah ia masih layak dipilih lagi atau tidak. Karena itu, kalau kita mengambil sikap abstain (golput) dalam sebuah proses pemilihan, meskipun ini juga bagian dari hak warga negara, berarti kita telah mempersilahkan diri kita "disandera" selama lima tahun oleh pemimpin yang sebenarnya tidak kita kehendaki. Namun demikian, juga bisa memahami jalan berpikir beberapa kalangan yang memilih untuk "tidak memilih" karena sering kali dihadapkan dan merasakan tipu daya dari para elite dalam setiap penyelenggaraan pemilu.

Pertanyaan yang kemudian muncul adalah bagaimana agar pemilu yang dilaksanakan tidak sekadar formalitas-prosedur demokrasi, tapi lebih dari itu, mempunyai makna untuk perubahan ke arah yang lebih baik. Tidak ada jawaban tunggal tentang hal ini. Namun salah satu elemen penting yang bisa dijadikan jawaban adalah mendorong pemilih untuk lebih cerdas dalam menentukan pilihannya. Lalu, bagaimana menjadi pemilih yang cerdas? Sebelum menjawab pertanyaan ini ada baiknya kita membuat pemetaan kecil tentang perilaku pemilih dalam menentukan pilihan atas seorang calon. Kalau mau mengkaji secara ilmu politik, secara garis besar perilaku pemilih (political behaviour), setidaknya dapat dikelompokkan dalam lima kategori, yaitu:

Pertama, penentuan pilihan karena kasamaan ideologi dengan kandidat. Namun, dalam kehidupan berbangsa sekarang dengan banyaknya politik aliran yang semakin menjamur, ideologi agaknya tidak lagi menjadi faktor determinan, di samping untuk mencari garis persamaan ideologis sekarang ini juga bukan hal mudah karena arus pragmatisme politik yang demikian kuat.

Kedua, pilihan didasarkan pada afiliasi partai politik. Kandidat yang didukung partai politik pilihannya, kepada dialah pilihan dijatuhkan. Pemilih yang berperilaku seperti ini agaknya lebih banyak, sehingga para kandidat berupaya sekuat tenaga untuk memperoleh dukungan partai politik sebanyak mungkin.

Ketiga, pilihan karena kesamaan etnisitas (gaps golongan). Banyak yang mengasumsikan, etnisitas akan turut menentukan pilihan politik seseorang, meski etnisitas ikut menentukan, tapi dalam Pemilu tidak terlalu signifikan menentukan perolehan suara.

Keempat, pilihan didasarkan pada pragmatisme politik. Pragmatisme ini bisa muncul karena banyak hal, seperti money politic, kedekatan dengan kandidat, hubungan keluarga, abdi dalam pekerjaan dan sebagainya. Money politic dalam berbagai bentuk manifestasinya, mempunyai pengaruh yang sangat besar dalam membentuk pragmatisme politik. Money politic sebagai bentuk pragmatisme politik tidak selalu dalam arti pemberian sejumlah uang kepada pemilih, tapi bisa dalam bentuk-bentuk yang agak soft agar tidak dikesankan "membeli" suara. Tidak disangsikan lagi bahwa pemilih dalam Pemilu banyak yang menempuh cara ini untuk menentukan pilihan.

Kelima, pilihan karena program dan integritas kandidat. Pemilih cerdas yang rasional biasanya melihat sisi ini. Kita tahu bahwa tidak banyak pemilih yang menggunakan hal ini sebagai pertimbangan utama untuk menentukan pilihan. Memang dimungkinkan, pilihan ditentukan juga karena kombinasi dan perpaduan dari beberapa unsur di atas, namun pemilih yang cerdas seharusnya didasarkan pada rekam jejak kandidat, integritas, keahlian, dan program yang ditawarkan.

Pesimisme masa depan dan janji kampanye yang sekadar isapan jempol akhirnya mendorong pemilih menjadi pragmatis. Belum lagi adanya anggapan, siapa pun yang berkuasa tidak akan mampu melakukan perubahan signifikan. Meski demikian, ruang kecerdasan dan akal sehat tetap harus dipelihara dalam Pemilu.

Persepsi dari tulisan ini adalah bagaimana menggeser pola pikir berdasarkan pemikiran pragmatis yang menjangkiti mayoritas masyarakat pemilih menjadi pemilih cerdas yang rasional. Secara tataran teori ilmu politik, belum luaslah mengemukakan tentang konsep pemilih pragmatis dan pemilih cerdas yang rasional dan masih sangat terbuka untuk diperdebatkan. Tapi dalam konteks ini secara praktis akan memberikan pengertian berdasarkan fenomena yang menjadi gejala pada setiap perhelatan politik bahwa pemilih pragmatis adalah pemilih yang menggunakan pendekatan materi jangka pendek dalam menentukan pilihan. Sedangkan pemilih rasional adalah pemilih yang menggunakan pendekatan berbasis informasi dengan tujuan-tujuan jangka panjang. Informasi ini bisa berbasis ideologis, ketokohan calon, visi-misi calon dan kriteria calon menurut sudut pandang pemilih atau bahkan kritisme pemilih kepada para calon yang ada.

Pertanyaan yang harus menjadi renungan adalah, kenapa mayoritas masyarakat pemilih kita punya kecenderungan yang sangat besar untuk menjadi pemilih pragmatis. Alasannya adalah karena faktor ekonomi dan rendahnya tingkat pendidikan masyarakat pemilih yang menjadi penyebab berantai pragmatisme masyarakat pemilih, memang ada alasan lain juga, mengapa pemilih yang rasional menjadi tidak cerdas?, tidak bisa dipungkiri yang terjadi adalah pergerakan peradaban modern masyarakat karena pergeseran kepentingan, merubah perilaku dari bermartabat menjadi tidak beradab, berperan menjadi manusia bermuka tebal dan berhati hitam, karena telah larut dengan gejolak emosional sarat kepentingan.

Gejala pragmatism ini terjadi sebagai akibat adanya stimulus. Siapa yang pertama kali memberikan stimulus, tidak lain tidak bukan adalah para elit politik yang “bermain” dalam memperebutkan kursi. Alur pikirnya adalah, seandainya para politisi yang akan “manggung” dalam setiap perhelatan politik bersikap sebagai politisi sejati yang gentleman, punya tanggung jawab moral dan sosial, rendah hati dalam menerima kemenangan dan kekalahan kemudian bersama-sama mengikrarkan diri tidak akan melakukan gerilya money politic, maka masyarakat akan dihadapkan pada satu pilihan dalam menentukan pilihan, yaitu berdasarkan hati nurani, kemudian masyarakat akan dipaksa untuk mencari informasi sebanyak-banyaknya mengenai masing-masing pasangan calon yang layak untuk mereka pilih. Itulah yang dimaksud dengan pemilih cerdas!.

Sebetulnya kita sadar bahwa saat ini kita terjebak pada ritual teknis demokrasi yang menghabiskan energi tidak perlu. Sistem politik yang high cost, sistem politik berbiaya tinggi, baik itu biaya secara finansial ataupun biaya sosial. Gejala reil pragmatisme adalah salah satu biaya sosial yang harus kita bayar dan ini menjadi salah satu rincian biaya kenapa sistem politik kita berbiaya tinggi. Kalau dalam konteks pasar bebas politik, penawaran yang seharusnya berorientasi pada visi misi dan program kerja, digeser menjadi penawaran materi jangka pendek. Penawaran ini akan direspon oleh masyarakat ke dalam sebuah permintaan yang akan diminta oleh masyarakat pemilih, maka lahirlah fenomena pemilih pragmatis. Akhirnya semua calon yang akan bertarung berkompetisi untuk mengeluarkan kocek lebih dalam, inilah pasar bebas politik yang high cost!. Kalau saja penawaran yang diberikan adalah visi misi dan program kerja, maka permintaan masyarakat akan menghasilkan para pemilih cerdas!. Sudah saatnya kita untuk meninggalkan budaya menjadi pemilih pragmatis, tapi mari berkometmen bersama untuk menjadi pemilih cerdas yang rasional, demi menegakkan berdirinya Negara Kedaulatan Rakyat yang kokoh, yang dipegang oleh orang-orang yang amanah dan istiqomah dengan prilaku yang bermartabat dan berkemampuan yang cerdas.

Mari dalam kesempatan penyelenggaraan Pemilihan Umum Kepala Daerah Provinsi Jawa Timur yang akan berlangsung pada hari Kamis tanggal 29 Agustus 2013 dimanfaatkan betul untuk menyalurkan aspirasinya, gunakan hak pilihnya untuk datang ke TPS, sempatkan untuk membaca Visi-Misi dari setiap pasangan calon dari empat pasangan calon yang ada, yang sudah tertempel di tempat-tempat umum. Jadilah pemilih cerdas, dengan aktif mencari informasi dan mengakaji pasangan calon yang ideal, Pilihlah pemimpin yang cerdas, aspiratif dan amanah.

SHARE :
 
Copyright © 2015 Media Bawean. All Rights Reserved. Powered by INFO Bawean