Peristiwa    Politik    Sosial    Budaya    Seni    Bahasa    Olahraga    Ekonomi    Pariwisata    Kuliner    Pilkada   
adsbybawean
Home » , » Rencana Aksi Guru Mogok Nasional
Bakal Cetak Siswa Pemogok

Rencana Aksi Guru Mogok Nasional
Bakal Cetak Siswa Pemogok

Posted by Media Bawean on Kamis, 03 Oktober 2013

Media Bawean, 3 Oktober 2013

MOGOK GURU dan OTONOMI PENDIDIKAN 
Renungan Menyambut Hari Guru Internasional 
Oleh : Sugriyanto, S.Pd. (Dosen STAIHA Bawean Gresik) 



Mendengar rencana peringatan Hari Guru Internasional –yang akan diperingati tanggal 5 Oktober mendatang pikiran ini terpaut dengan peristiwa enam puluh delapan tahun silam yakni hancurnya kota Hirosima dan Nagasaki di Jepang. Kedua kota bersejarah tersebut diluluh-lantakkan oleh sekutu (Amerika cs) dalam kancah perang dunia II . Kala itu kehidupan di Jepang dalam kehancuran sempurna yang berada di titik nadir. Bom atom bernama Fatman diledakkan di Hirosima tepat tanggal 6 Agustus 1945 dan “adik”-nya bernama Litle boy mengguncang Nagasaki tanggal 9 Agustus pada tahun yang sama. Kedahsyatan bom nuclear (inti atom) tersebut mampu membumi hanguskan kedua pusat kota termasyhur di negara yang berjuluk negara Sakura atau Negara Matahari Terbit itu. Jepang dibuat benar-benar tidak berdaya (mati kutu).

Tragedi sekaligus bencana kemanusiaan itu tersiar mendunia. Dalam keterpurukan akibat keganasan perang yang terkenal dengan parang Asia Timur Raya atau Perang Pasifik telah menelan korban manusia hampir 73 ribu jiwa menjadi tengkorak hangus akibat bom dengan ambang radiasi yang sangat tinggi. Termasuk tanah, bangunan hangus bersama reruntuhan dan puing-puing kematian yang sangat nestapa. Dua kota terbesar setelah Tokyo itu menjelma menjadi kota mati tak berpenghuni. Meminjam istilah dalam lagu musisi legendaris John Lenon, kota Hirosima dan Nagasaki tidak ubahnya kisah dalam titel lagunya “The End of The World”. (baca: Akhir Kehidupan Dunia). Namun, tidak demikian halnya bagi seorang kaisar Hirohito di saat Jepang terkulai tidak berdaya terlontar pertanyaan yang monumentalis yang terus mengiang di liang telinga para guru. Pertanyaan Sang Kaisar benar-benar menyentuh kalbu setiap guru. “Masih adakah guru yang tersisa?” Bukan tentara yang tersisa. Sungguh hal ini merupakan betapa tingginya penghargaan seorang Kaisar terhadap keberadaan guru di Jepang khususnya dan di dunia pada umumnya.Patutlah Kaisar Hiro Hito mendapat bingkisan lagu Himne Kaisar bukan Himne Guru semata.

Rencana mogok nasional dari kalangan insan pendidik (guru) akan diisi dengan aksi damai berupa ajakan doa bersama dengan meliburkan barang 10 menit pembelajaran. Penggagas aksi damai ini dilokomotifi oleh Pengurus Besar PGRI di bawah komando ketua umum pusat PGRI Sulistyo. Penetpan peringatan waktu tanggal 5 Oktober sebagai hari guru internasional perlu dikaji ulang. Sebagai bangsa yang berjiwa ksatria dan berjiwa besar guru juga hendaknya menghargai jasa para tentara (ABRI) dalam menjaga tegak dan kokohnya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) –yang akan memperingati hari bersejarahnya tepat pada tangga 5 Oktober pula. Terjadinya clash waktu ini perlu dicarikan timing yang tepat pula untuk gerakan moral guru tersebut. Bagaimana pun HUT ABRI atau HUT TNI perlu suasana yang sejuk dan kondusif dalam perayaan hari besarnya. Betapa “ngeri” bila terjadi konsentrasi massa di saat senjata siaga untuk mengamankan hari jadinya. Moncong senapan versus moncong pena. Musisi gaek Iwan Fals pernah menuangkan kisah seorang guru Umar Bakri lari kalang kabut sampai benjut dan terkentut-kentut melihat pak polisi bawa senjata berwajah garang saat murid bengalnya berkelahi di depan pintu gerbang sekolah.

Sebenarnya bila dicermti bersama dengan kaca mata hukum dan Undang-Undang mengemukanya persoalan yang paling dasar adalah otonomi daerah yang disalah-kaprahkan. Memang benar bahwa otonomi daerah memberi ruang gerak yang lebih leluasa agar mandiri dalam urusan rumah tangganya, namun jangan disalah artikan sebagai kewenangan yang sewenag-wenang. Berbicara soal aturan dan kebijakan seolah-olah daerah “merdeka” tanpa harus campur tangan pusat. Hampir aturan-aturan daerah dan pusat belum sinkron dalam praktiknya. Betapa kecewanya seorang menteri yang secara struktural mengepalai departemen pendidikan di pusat seperti tak “bertaring” menghadapi kebijkan daerah. Kasus aturan penerimaan siswa baru beberapa waktu yang lalu “enteng” saja daerah mementahkan aturan menteri pendidikan. Tatkala daerah membutuhkan jatah guru dan jatah kesejahteraan justru malah menteri dan pemerintah pusat jadi tumpuannya. Sebagai manusia pemangku jabatan dalam penentuan kebijakan mudah saja berdalih yang sama “urusan dewe”. Ini yang terjadi selama ini.

Sementara, Pemerintah via Kemendikbud dan kementerian terkait lainnya bersama DPR dalam menetapkan APBN berkutat di pusat. Penetapan aturan dan kebijakan anggaran pendidikan merupakan kewenangan pusat. Bila kita cermati rencana mogok guru tanggal 5 Oktober mendatang yang diprakarsai pengurus besar PGRI dilatar belakangi oleh beberapa faktor yang sudah disampaikan oleh ketua umum PB PGRI Sulistiyo yang ditujukan untuk mengkritik implementasi kebijakan pemerintah yang semakin buruk. Keburukan itu meliputi: mulai urusan sertifikasi guru, pemerataan distribusi pendidik, tunjangan sertifikasi, impassing atau penyetaraan guru swasta seperti PNS, hingga pengangkatan guru honorer (Jawa Pos, 28 September 2013). Termasuk kasus pencairan TPP yang ditetapkan pertriwulan belum kelar hingga melebihi batas triwulanan. Sepertinya pemerintah pusat juga akan menggunakan “taring”-nya untuk memberikan pelajaran bagi daerah yang selama ini terkesan “melawan” kebijakan pusat. Di sinilah bangsa ini perlu menanggalkan rasa ke-aku-annya atau egonya dengan tetap dan terus bersinergi dalam menyelesaikan persoalan bangsa yang lebih besar. 

Jika memang gerbong PGRI lewat lokomotif Pengurus Besarnya harus mogok nasional dengan estimasi 3,7 juta guru akan menjadi preseden buruk dalam menjaga citra guru sebagai insan yang digugu dan ditiru khusunya oleh murid-murid se-Indonesia. Apa memang sudah mentok tidak ada jalan lain untuk memberikan pressure terhadap penerapan aturan dan kebijakan yang dianggap lamban dan tidak responsif? Sebenarnya perlu dicari solusi alternatif dan terbaik yang sama-sama memiliki perhatian dan kesamaan langkah dalam menata pendidikan ke depan. Tidak perlu lagi daerah menjelma menjadi makhluk superior atas dalih otonomi daerah sehingga banyak kebijakan pusat yang kurang mendapat sambutan. Pusat pun demikian tidak perlu lagi “lempar handuk” dalam usaha mengatasi persoalan yang dihadapi oleh daerah akibat masing-masing pihak menunjukkan keegoannya. Termasuk yang memahami kondisi ril atas kebutuhan guru di beberapa jenjang di daerah adalah dinas pendidikan pemerintah kota dan kabupaten. Bagaimana pemerintah pusat mau merespon pula bila daerah juga bersikukuh tidak merespon kebijakan pusat. Potret saling menonjolkan ke-akuannya segera diakhiri.

Mari belajar ke negeri Jepang dalam hal otonomi pendidikan. Di negara tertimur di kawasan asia menjadi jujukan sekaligus kiblat negara tetangga lainnya dalam kemajuan pendidikan. Sebagaimana yang dipaparkan oleh Aulia Fadhli dalam bukunya berjudul “Menjadi Pemenang Seperti Bangsa Jepang”. Dalam buku tersebut dikatakan bahwa sistem administrasi pendidikan dibangun dalam empat tingkat, yaitu pusat, prefectural (antara provinsi dan kabupaten), municipal (antara kabupaten dan kecamatan) dan sekolah. Masing-masing tingkat administrasi pendidikan tersebut memiliki peran dan kewenangan yang saling mengisi dan bekerja sama. (2007: 63). Sebenarnya di Indonesia sudah hampir demikian juga, namun mental bangsa ini masih berhasrat terus menggiring birokrasi pemerintah ke ranah kepentingan pribadi dan kelompoknya yang sama sekali tidak mencerminkan kerja kolegial sebagai tim work. Seakan-akan masing-masing tingkatan otonomi pendidikan di setiap jenjang menjadi bawahannya sebagai “anak buah”-nya, yang semestinya menjadi mitra kerja sejatinya. Jangan diherankan bila tingkat kecamatan merasa lebih hebat dari sekolah, kabupaten merasa lebih hebat dari kecamatan, provinsi merasa lebih hebat dari kabupaten, bahkan pusat harus “menaklukkan” atau menundukkan struktur yang bernaung di bawahnya. Ini jelas merupakan cermin ewuh pakewuh atau suburnya feodalisme birokrasi yang sudah bukan zamannya lagi. Dalam demokrasi pendidikan hal itu tidak perlu lagi terjadi.

Menurut cermat penulis munculnya rencana mogok masal kaum pendidik dengan estimasi jumlah 3,7 juta pada tanggal 5 Oktober mendatang, di samping yang sudah digariskan oleh PB PGRI persoalan yang krusial terkait dengan dana tunjangan profesi pendidik (TPP) yang selalu mengalami pengendapan. Hampir saja KPK sebagai “super body” atas anjuran mendikbud untuk ikut turun tangan dalam penuntasan persoalan “kronis” tentang keterlambatan pencairan dana kesejahteraan tenaga pendidik berupa dana TPP tersebut. Padahal, sudah diketahui bersama bahwa alokasi dana (DAU dan DAK) pendidikan sudah di-APBN-kan. Pemerintah bersama DPR sudah menyepakati bahkan sudah ketok palu penetapan anggaran pendidikan sebesar 20 % dari total dana APBN. Bahkan dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pada bagian keempat yakni Pengelolaan Dana Pendidikan sudah digariskan dengan jelas di pasal 49 ayat 1 yang berbunyi sebagai berikut.

“Dana pendidikan selain gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan dialokasikan minimal 20 % dari anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) pada sektor pendidikan dan minimal 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).” 

Jelas sudah persoalan alokasi dana pendidikan mengenai sumber dan peruntukannya. Hanya, yang perlu untuk dicari tahu dan dicarikan pemecahan terhadap persoalan pelik tersebut di atas segera dituntaskan. Sungguh amatlah menarik sebuah gambar sebagai illustrasi yang termakrub dalam tulisan Muchlas Samani, dkk. Yakni gambar mengenai kedudukan sertifikasi dalam kerangka Peningkatan Mutu


Sebagai korps “Pahlawan” tanpa tanda jasa yang selalu digugu dan ditiru bila harus melakukan aksi mogok nasional pada tanggal 5 Oktober mendatang (aksi damai dan doa bersama) tetap akan memberikan kesan yang perlu ditinjau kembali rencana itu. Jika memang sudah mentok, tidak ada pilihan jalan lain apa boleh buat ditelan saja kenyataan ini. Segera duduk mesra dalam satu meja birokrasi dengan sama-sama menanggalkan kepentingan dan ke-aku-annya (Pemerintah, Kemenkeu, Kemenag, Kemenpan RB, Kemendagri (pencetus otonomi), Kapolri, dan PB PGRI beserta persatuan profesi guru lainnya) untuk mencari formasi jalan keluar dalam bingkai meningkatkan harkat dan martabat bangsa lewat jalur pendidikan tanpa mogok.

SHARE :
 
Copyright © 2015 Media Bawean. All Rights Reserved. Powered by INFO Bawean