Media Bawean, 1 Juli 2014
Selayang Pandang Moda Transportasi Laut Alternatif
Oleh : Sugriyanto ( Dosen STAIHA BAWEAN-GRESIK)
Ditilik dari etimologi, nama “Gili Iyang” berasal dari akar kata “Gili” dan kata “Iyang”. Kata “Gili” dapat ditelisik dengan cermat di kamus atau babon Jawa Kuno, bisa bernosi atau bermakna “hamparan pulau kecil di sekitar pulau besar”. Kata “Iyang” dapat diartikan sebagai “leluhur”. Jadi, nama “Gili Iyang” secara menyeluruh dapat dimaknai kurang lebih sebagai “Leluhur dari pulau kecil”. Hal ini merefleksikan bahwa secara historis antara Bawean-Paciran dan Gresik memiliki keterkaitan hubungan yang erat yang tidak dapat dihalangi oleh lautan luas sekalipun. Leluhur penduduk Pulau Bawean sebagian besar berasal dari daratan Jawa, Khususnya dari Gresik dan Paciran. Tidak berlebihan pemberian bantuan oleh Pemerintah Provinsi Jawa Timur berupa kapal “Gili Iyang” dengan segala kenyamanan dan kelayakannya benar-benar menjadi “buah surga” untuk dinikmati warga Pulau Bawean.
Dua dermaga yang dapat dikategorikan “elegan” telah beroperasi secara berdampingan dan saling melengkapi antara dermaga baru dengan dermaga lama . Dermaga baru (red: baru rampung dibangun dan baru beroperasi) memberikan sebuah pilihan alternatif yang cukup membanggakan dan menggembirakan. Sebuah pulau mungil yang terdiri atas dua kecamatan dengan luas keliling mencapai 60 Km telah banyak mendapat perhatian baik dari pemerintah Kabupaten Gresik, Pemprov Jawa Timur serta Pemerintah Pusat. Bahkan, pulau yang berjarak 80 mil laut atau sekitar 120 Km dari daratan Gresik telah mendapat kelengkapan fasilitas umum sebagai tuntutan global di masa yang akan datang. Satu-satunya kecamatan di Kabupaten Gresik yang memiliki lapangan terbang (red:lapter bukan bandara) adalah Kecamatan Tambak yang juga berada di Pulau Bawean. Masih banyak fasilitas umum lainnya yang boleh dikatakan
mentereng atau “mercusuar”-nya pembangunan yang benar-benar representatif.
Di pangkal dermaga baru yang menjulur ke laut di bagian bibir pantainya seperti menjadi sebuah terminal, terutama terminal sampah laut sebagai pendatang yang mengapung-apung bersama pasang surut air laut. Sampah yang terdampar itu berupa kayu lapuk, daun kering, serpihan gabus putih, botol plastik, sandal jepit putus, tali-tali perahu yang sudah tidak berguna lagi, serta pembauran sampah dengan segala “kebhinnekaannya”. Jika hal ini tidak diantisipasi dengan menurunkan petugas kebersihan maka kemegahan dan rupa elegan dari dermaga yang masih “muda belia” akan menjelma laksana dermaga tua sebagai saksi bisu dan kumuh. Di sinilah perlunya menghadirkan tangan-tangan rajin dan kreatif dari pengelola atau operator dermaga untuk tetap memperhatikan kebersihan dan keindahan wajah dermaga. Apalagi, ke depan Pulau Bawean akan menjadi jujukan para pelancong baik pelancong nusantara maupun pelancong manca negara.
Dari pinggir dermaga, penulis menerawang badan kapal “Gili Iyang” yang mengambang di ujung dermaga seakan-akan menyaksikan sebuah apartemen atau hotel terapung dengan segala kemewahannya menurut ukuran moda transportasi laut bagi warga Bawean yang selalu merindukan dan mendambakannya. Juru kunci pintu dermaga kerap kali mengumbar senyum menyambut para calon penumpang yang hendak memasuki area pelabuhan. Ternyata, senyum manis petugas yang dihidangkan kepada para calon penumpang membuat penjaga pintu masuk sedikit terlena. Akibatnya, lupa menarik retrebusi masuk pintu gerbang dan langsung mempersilakan masuk khususnya kepada penulis yang juga calon penumpang kala itu. Hingga penulis yang notabene sebagai penumpang tak tertarikkan juga karcis masuknya karena terburu-buru bergegas untuk naik ke kapal denan alasan takut tidak mendapatkan tempat tidur yang diharapkan di dalam kapal. Mungkin saja mereka khilaf secara kodrati karena sibuk akibat keramaian calon penumpang yang masuk. Peristiwa kealpaan petugas yang tidak disengaja itu membikin pikiran penulis tertaut dengan pelayanan di pintu gerbang pelabuhan Gresik yang sudah tidak lagi menarik retrebusi sepeserpun kepada para calon penumpang termasuk kendaraan bermotor warga Pulau Bawean yang hendak menuju Pulau Bawean. Bahkan, di Pelabuhan Paciran pun serba gratis tis tis… “Saporana dan tak kabessa nyo’on…!”
Dermaga baru yang dirancang untuk bersandarnya jenis kapal “Roro” (red: bukan Roro Mendut, Roro Amiati, Roro Jonggrang, apalagi Rorobhen) melainkan jenis kapal yang haluan dan buritannya sebagai akses turun naiknya penumpang sudah selaknya mendapat acungan jempol karena desainnya memiliki muatan lokal (Mulok). Termasuk pepohonan dan tanaman seperti buah ciri (red: kersen) yang tumbuh di area dermaga baru menjadi salah satu pohon berkarakter ke-Bawean-an. Bila perlu pohon “Buah Merah” dijadikan ikon pemberi karakter untuk di tanam di lokasi terminal dermaga. Istilahnya, belantara dekat samudera atau sebaliknya. Tentu, pertimbangan utamanya adalah aspek kerindangan dan keindahannya. Kemenarikan dermaga baru di samping sudah boleh dikata memenuhi Standar Operasional Prosedur (red: SOP) juga benar-benar berkarakter. Pohon perdu dan ilalang yang tumbuh alami di dekat ujung dermaga juga memberikan kesan unik dan menyenangkan. Kalau di Eropa, Amerika, dan di benua lainnya, dermaga identik dengan kota mewah serta gedung pencakarnya, justru di Bawean semak belukar dengan segala keunikannya menjadi nilai tambah dan pembedanya.Tidak perlu niru-niru model pelabuhan di kota lain.
Sebagai pengalaman perdana menumpangi kapal roro “Gili Iyang” dari Bawean tujuan Paciran teramat sulit untuk dilupakan karena kesan pertama begitu menggoda. Saat memasuki mulut kapal yang mengangah dengan menjulurkan lidahnya seolah-olah penulis tertelan ke dalam perut ikan yang penuh dengan kendaraan, baik kendaraan ringan maupun berat. Percis pula penulis masuk satadion atau lapangan sepak bola ketika berada di bagian lambung kapal. ABK yang mengumbar senyum dengan segala perhatian dan pelayanan primanya patut mendapat apresiasi. Namun, ada saja penumpang yang sedikit “protes” atas tidak adanya penomoran tempat tidur khususnya di ruang VIP. Akibatnya, muamalat royokan tempat dan “dulu-duluan” adu cepat naik akan terus berlangsung hingga kiamat selama tetap tidak diberi nomor khususnya di ruang tempat “Very Importent Person”. Bisa jadi peribahasa lama terus meletup “siapa yang cepat, dia yang dapat atau siapa yang paling dekat, dia yang paling nikmat”. Jangan “ngiri” nich yee…
Penulis mencoba menjelajah atau melakukkan “browser manual” dengan “meziarahi” beberapa tempat di dalam ruang kapal karena penasaran ingin tahu lebih jauh kondisi kapal baru dengan nama “Gili Iyang”. Tempat tidur benar-benar nyaman dan empuk pengantar rasa kantuk. Walau demikian masih ada penumpang yang tidur membujur di sepanjang jalan antarruang dalam kapal. Memang sudah karakter warga Bawean yang pasrah dalam tidurnya untuk dilangkahi penumpang lain yang hendak berlalu lalang. Semboyan “Langkahi dulu mayatku tidak seberapa berlaku, justru yang lumrah semboyan di kapal “Langkahi dulu tidurku”. Ini menandakan sebuah karakter peniruan tidurnya ikan pindang. Kamar mandi cukup lux atau boleh dibilang mewah untuk ukuran warga Bawean pada umumnnya. Air jernih menyembur santer tatkala kran dibuka. Padahal, di kapal lain kerap kali kapal berangkat airnya mampet. Prinsip utmanya memang “Hidup pelit dan irit bila mati kejepit” kali. Kebersihan dan keharuman ruang kamar mandi dan toilet dapat dikatakan berkelas dan tidak perlu diragukan. Asesoris kamar mandinya pun patut mendapat sanjungan. Bila perlu penumpang kapal “Gili Iyang” bisa mandi sepuasnya dengan “shower to shower” alias mandi hujan-hujanan.Kantin tempat melepas kepenatan juga memberi kesan seolah-olah penumpang berada di kafeteria kampus pada umumnya walau masih tanpa memamerkan jenis menu dan harganya. Namun, warga Pulau Bawean tidak begitu repot dengan harga segelas kopi susu 5000 rupiah. Karena mungkin yang mahal memang susunya. Termasuk harga pop mie siap santap pun terjual hanya 10.000 rupiah. Yang penting ada saja sudah bersyukur karena di lautan mau beli di mana lagi? Mushallah kapal “Gili Iyang” juga cukup representatif dengan segala pendukungnya. Tempat wudlu laksana di masjid pada umumnya. Daya tampung mushollah cukup banyak. Di dalam mushollah dilengkapi dengan karpet sajadah, kompas penunjuk arah kiblat, kitab suci Al-Qur’an, rukuk atau mukenah walau terbatas, di dukung ruang musholah full AC. Bahkan, sarung dan baju taqwa tergantung di kapstoknya sebagai persedian untuk para penumpang.
Luar biasa. Ini menunjukkan pemerintah memberikan bantuan kapal benar-benar mempertimbangkan dengan matang karakteristik penumpang warga Pulau Bawean. Pelampung sebagai safety para penumpang pun sudah “ready” di dekat setiap penumpang. Utility pemadam kebakaran dan segala kelengkapan lainnya sudah siap siaga. Hampir seluruh ruang full AC. Peringatan buat warga Bawean sebagai penumpang yang tidak senang atau alergi dengan AC harap minggir. Jangan mematikan AC karena hasrat seorang diri, orang banyak menjadi korban. Itu artinya “Sak enake dewe!”.Termasuk kelengkapan audio visual berupa televisi layar datar ukuran layak tonton terpasang di setiap ruang penumpang. Hanya, operator belum banyak mempelajari karakter kegemaran warga Pulau Bawean terhadap film atau album musik yang mestinya ditayangkan. Untuk menghilangkan rasa gelisah karena perjalanan yang relatif memakan waktu panjang dan usaha menyelimurkan rasa resah terhadap goyangan gelombang maka putarkan saja film atau album dari Bang Haji Rhoma Irama pasti para penumpang benar-benar akan lupa daratan. Sehingga tidak tergesa-gesa untuk cepat sampai dan tetap betah berlama-lama di lautan. Penulis sendiri sempat merekam “uneg-uneg” segelintir warga Bawean yang menumpangi kapal “Gili Iyang” pada waktu yang sama agar kapal “Gili Iyang” ditambah sedikit kecepatannya. Atau mungkin saja penumpang lupa akan semboyan “Biar lambat asal selamat” dengan pitutur “Alon-alon waton klakon”. Bisa saja penumpang tidak pernah membaca stiker lalu lintas “Ngebut benjut, ngebut maut”. Jangan-jangan nanti setelah lapangan terbang beroperasi kapal cepat pun akan diolok untuk dimohon tambah kecepatan. Memang kodrat manusia serba kurang saja. Sadar dan sabar…!
Kemudahan yang sangat dirasakan warga Pulau Bawean dengan beroperasinya kapal “Gili Iyang” adanya terobosan harga tiket yang benar-benar standar yakni murah meriah. Murah harganya dan meriah untuk mendapatkannya zonder permakelaran alias tanpa campur tangan para “bhekol” bin calo amatir. Ketangguhan kapal sudah terbukti tatkala gelombang laut mencapai tiga meter bahkan sedikit lebih, kapal “Gili Iyang” mampu mengarunginya dengan aman dan selamat sehingga menjadi moda transportasi laut alternatif. Jangan pernah berangan-angan kapal “Gili Iyang” tidak goyang. Selama lautnya lebih besar daripada kapalnya selama itu pula kapal akan goyang. Dengan demikian, nyanyian anak TK atau PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini) yang selalu mengiang “Naik kapal kecil bergoyang… goyang… naik kapal besar tak punya uang” sudah tidak relevan lagi karena kenyataannya naik kapal besar dan kecil sama bergoyang. Naik kapal yang lebih besar ternyata tiketnya lebih murah. Betul, tidak? Warga Pulau Bawean sungguh sayang dengan kapal “Gili Iyang”. Betapa tidak, sandar di Paciran penumpang dengan kendaraannya keluar dari lambung kapal langsung ngacir…!