Peristiwa    Politik    Sosial    Budaya    Seni    Bahasa    Olahraga    Ekonomi    Pariwisata    Kuliner    Pilkada   
adsbybawean
Home » , » Setali Dua Uang Setan Dan Petasan

Setali Dua Uang Setan Dan Petasan

Posted by Media Bawean on Sabtu, 05 Juli 2014

Media Bawean, 5 Juli 2014

Meraup Rezeki Lewat “Kekerasan” di Bulan Ramadhan 
Oleh : SUGRIYANTO (Dosen STAIHA BAWEAN-GRESIK) 

Ikhwal setan yang dirantai di bulan Suci Ramadhan bukan sekadar basa-basi, melainkan terdapat dasar yang menguatinya. Penulis mencoba mencari tahu sumber autentik terkait dengan status setan yang dirantai dengan rantai kegaiban pula. Meminjam istilah kepolisian setan di bulan Ramadhan dikecrek kedua tangan dan kakinya berdasarkan pengimajian penulis. Agar lebih mengena, penulis mencoba membuka-buka kitab yang ber-tirip-tirip di sebuah almari tempat menyimpan kitab koleksi pribadi. Bermodal kesabaran maka didapati sebuah kitab berjudul “Kumpulan Hadits Shahih Bukhari Muslim” oleh Muhammad Fu’ad Abdul Baqi. Pada halaman 277 bab 13 tentang Kitab Shiyam hadits ke 652 tertera sebagai berikut. Diriwayatkan dari Abu Hurairah, Ia berkata bahwa Rasulullah SAW. bersabda:

“Apabila masuk bulan Ramadhan, pintu-pintu langit dibuka, pintu-pintu Neraka ditutup, dan setan-setan dirantai.”

Dengan penjelasan yang lebih detil lagi adalah seperti termaktub di bawah ini. 1. “Pintu-pintu langit”, maksudnya pintu-pintu surga.

2. “Setan-setan dirantai”, yaitu diikat rantai dengan sebenarnya. Mereka adalah setan-setan pencuri berita (red: bukan awak media) asalnya mereka dirantai pada waktu siang bulan Ramadhan saja dan tidak di malam harinya, karena mereka tertahan untuk mencuri wahyu ketika turunnya Al-Qur’an. Maka dari itu, mereka lebih lama dirantai yang menunjukkan kesempurnaan penjagaan terhadap keutuhan wahyu, (Muhammad Fu’ad Abdul Baqi: 2011: 277).

Klir dan lenyap sudah tentang keraguan penulis terhadap tradisi lisan yang dituturkan orang tua-tua mengenai status setan yang dirantai di bulan Suci Ramadhan dengan keseringannya mengabaikan budaya tulis atau berdasar “cakna-cakna”. (Red: Indonesia-katanya-katanya).

Sudah menjadi tabiat setan atau iblis yang pekerjaannya atau kelakuannya selalu membangkan (red: bukan bertelanjang melainkan selalu melawan) kebenaran. Hingga dengan terang-terangan setan atau iblis sesumber di hadapan Allah SWT. untuk menjerumuskan manusia ke dalam kerak neraka hingga hari kiamat. Persoalan mendasar, setan atau iblis merasa “gengsi dong” untuk sujud (red: hormat) kepada Adam yang dianggap tidak lebih mulia darinya. Bahkan persepsi atau anggapan setan yang dirinya lebih baik tertuang dalam kitab suci Al-Qur’an yang artinya kurang lebih demikian “ Aku lebih baik darinya (Adam), Engkau ciptakan aku (setan) dari api dan Engkau ciptakan dia (Adam) dari tanah”. Menurut pandangan setan atau iblis, api lebih mulia daripada tanah. Tidak ayal lagi, untuk menyalakan mercon atau petasan wajib menghadirkan api (red: setan terundang). Maksudnya, ada petasan di situ pasti ada setan. Kecuali di dapur atau tempat memasak lainnya, bukan menghadirkan setan melainkan memperdaya asal usul setan sebagai katalisator semata. Termasuk penamaan kembang api identik dengan “kembang setan”.

Susah memang untuk mengubah “mind set” atau pola pikir warga negara Indonesia yang mayoritas muslim, bahkan muslimnya terbesar di dunia melakukan gaya-gaya “teroris” dengan merakit detonator (bahan peledak) berupa bom mini atau petasan yang dibunyikan saat bulan Suci Ramadhan. Padahal, kaum muslimin sudah mahfum bersama bahwa bulan Suci Ramadhan adalah bulan penuh berkah, rahmat, dan pengampunan, namun perilaku bar-bar terus berlangsung hingga saat ini. Termasuk di Pulau Bawean semacam menjadi keharusan untuk membunyikan petasan yang kerap kali memekakkan telinga hingga jantung warga mau copot saat tiba-tiba bunyi cettar yang membahana merasuk kedalam rongga dada. Orang tua-tua yang pikirannya masih kolot atau bersifat konservatif beranggapan bahwa tradisi membunyikn mercon atau petasan dianggap penyemangat atau penggembira untuk membangun citraan suasana bulan Suci Ramadhan. Seolah-olah tak meriah Ramadhan atau puasa tanpa kehadiran petasan. Orang tua-tua semacam itu pola pikirnya masih terjepit oleh pola pikir primitif karena di dalam hukum Islam yang disandarkan pada Al-Qur’an dan Hadits tidak pernah dijumpai secuil pun klausul anjuran untuk main petasan di setiap bulan Suci Ramadhan. Bagaimana pun anak atau generasi penerus sekadar meniru atau melanjutkan pola-pola lama yang diwariskan oleh orang tua-tua terdahulu. Jika tidak dimulai dari sekarang untuk mengubah pola perilaku bar-bar itu, kapan lagi? Jika tidak dimulai dari kita untuk mengubahnya, siapa lagi? Niru iklan Bro…!

Penulis respek dan angkat topi terhadap gerak cepat penertiban Ramadhan yang dilakukan pihak Muspika (Musyawarah pimpinan kecamatan) Sangkapura dengan melakukan apel pagi bersama yang dipimpin langsung oleh Kapolsek Sangkapura dengan hati yang tulus (Rabu, 1 Juli 2014) bertempat di halaman kantor kecamatan. Ada empat target dalam amanat apel penertiban Ramadhan tersebut. Keempat target itu meliputi: Pertama, penertiban mamin (makanan dan minuman) di pertokoan yang tercurigai kedaluwarsa atau habis masa expayetnya. Kedua, warung atau kedai (red: Bawean-kedi) makan membuka dan melayani makan di siang hari. Ketiga, operasi minuman keras atau miras, dan yang keempat operasi petasan di atas ambang kewajaran dan kemanusiaan. Tatkala menyoal tentang petasan, penulis turut angkat bicara dalam sesi tanya jawab sekilas bahwa sebenarnya untuk memutus rantai peredaran petasan di Pulau Bawean paling gampang yakni putus link agen atau penjualnya. Kembang api itu hanya kedok saja karena yang laris manis itu mercon atau petasan yang dijual di bawah tanah (red: transaksi gelap). Semboyan pinteran malingnya daripada polisinya mungkin saja benar. Terbukti di perkampungan dentum petasan terus menggelegar mengusik lelapnya tidur dan ketenangan dalam menjalankan ibadah. Mungkin juga pelaku penyulut petasan memang membawa sendiri dari daratan Jawa yang tidak tersensor oleh detektor kapal laut atau lewat perahu dan sejenisnya. Kategori pedagang lapak dadakan dan musiman semacam itu tergolong pedangan yang meraup rezeki demi keuntungan dengan cara berbisnis lewat “kekerasan” yakni menjual mercon atau petasan yang memang suaranya keras.

Betapa nestapa dan terpecundanginya kaum muslimin dalam pandangan kaum nonmuslim dengan perilaku semacam itu. Padahal mereka tahu bahwa Islam itu agama yang damai. Namun, kenapa di saat bulan Suci Ramadhan anak-anak muslim banyak meniru perilaku “teroris” yang hobi dan bakat merakit serupa “bom” dengan meledak-ledakkan mercon atau petasan? Apakah hal ini tidak termasuk perilaku penodaan terhadap kesucian bulan Suci Ramadhan? Penulis selama hampir sepuluh hari di daratan Gresik sempat mendengar letupan mercon menjelang traweh namun tidak segencar di Pulau Bawean. Ini akan menjadi tantangan bagi umat Islam terutama bagi kepala desa dan kepala dusun untuk melakukan penertiban dini dengan menetapkan ketentuan kapan, di mana, serta dalam situasi apa petasan boleh dibunyikan. Untuk melarang total parade membunyikan petasan di bulan Suci Ramadhan laksana menegakkan benang basah. Butuh pendekatan persuasif dan tindakan secara komprehensif dengan melibatkan elemen masyarakat terkait. 

Kenapa mesti dipersoalkan keberadaan petasan? Selain risiko yang membahayakan pemakai dan orang lain, suara yang ditimbulkan cukup membisingkan sampai-sampai pernah seseorang menderita penyakit “biccu” akut atau pekak pendengarannya mendakak setelah gendang telinganya retak akibat dari bunyi petasan di atas ambang kewajaran yang dilemparkan ke dekatnya. Celakanya lagi, kegemaran dan kesukaan anak-anak tidak membunyikan jika tidak di tempat-tempat yang memang butuh suasana senyap seperti tatkala kaum muslim khusuk menjalankan ibadah sholat di masjid dan langgar. Tatkala di tengah kaum muslimin menikmati hidangan berbuka puasa menjadi berantakan kebahagiannya hingga selera berbuka puasa berubah menjadi amarah. Sebagaimana keterangan yang termaktub dalam sebuah hadits bahwa ada dua saat kebahagian (farhatain) bagi kaum muslimin dan muslimat yakni pertama, kebahagian orang berpuasa saat memasuki berbuka puasa dan kedua kebahagian saat bertemu Rabnya (Tuhannya). Sungguh menyakitkan bila salah satu kebahagian itu harus raib ditelan kerasnya bunyi petasan. Naudzubillahi mindalik…!

Selama populasi setan dan iblis terus meningkat maka daya godanya pun semakin berantai merasuk ke dalam jiwa anak-anak yang rentan keimanannya. Puasa yang berarti menahan atau mencegah hanya sebagai istilah yang diketahui semata. Hakikat puasa yang menahan hawa nafsu menjadi percuma karena petasan yang dibunyikan juga didorong oleh keinginan hawa nafsu. Ditinjau dari sisi mana pun tidak akan dijumpai sedikitpun kebaikan atas perbuatan dalam bermain petasan. Ir Tri Rismaharii atau yang lbih akrab disapa Bu Risma, wali kota Surabaya saja bisa menutup Doly-tempat pelacuran terbesar se-Asia Tenggara-apalagi institusi kepolisian sektor Sangkapura sekadar menutup lapak penjual petasan tentu dengan acungan kelingking pasti bisa. Pencegahan lebih utama daripada penindakan.

Penulis optimis dengan nyali kebersamaan aparat dan masyarakat, buku berjudul “Raport Merah bagi institusi kepolisian (Kapolri)” yang ditulis almarhum Jazuni tidak berlaku di Pulau Bawean karena progres kepolisian dalam menindak pelaku yang meresahkan warga di bulan Suci Ramadhan hingga Lebaran benar-benar jitu dan mujarabat. Setali dua uang cukup untuk setan dan petasan, tidak untuk pihak terkait yang punya wewenang menertibkannya. Sebagai pembuktian atau verifikasi kebenaran mari kita saksikan bersama beberapa hari ke depan. Jika masih muncul secara sporadis para pedagang petasan di Pulau Bawean saat di bulan Suci Ramadhan hingga Lebaran siapa yang harus bertanggung jawab? Sedangkan di halaman depan koran Jawa Pos edisi 28 Juni 2014 tertera judul “Main Mercon Diancam Penjara Seumur Hidup” Berlaku untuk Pembuat, Penjual dan Penyulut. Petikan beritanya sebagai berikut: “Jakarta- Bunyi dar der dor mercon pada malam puasa sebentar lagi jarang terdengar. Penyebabnya Mabes Polri menyiapkan jerat hukum lebih keras untuk mencegah penggunaan mercon atau petasan selama Ramadhan dan Lebaran” . Dalam hal ini berupa jerat hukum UU Darurat Nomor 12 tahun 1951 dengan hukuman penjara seumur hidup. Selengkapnya baca Jawa Pos edisi yang dimaksud. Warga yang banyak ingin hidup dalam ketenangan sedangkan segelintir pedagang petasan hanya ingin meraup keuntungan. Mari kita perhitungkan bersama…!

SHARE :
 
Copyright © 2015 Media Bawean. All Rights Reserved. Powered by INFO Bawean