Peristiwa    Politik    Sosial    Budaya    Seni    Bahasa    Olahraga    Ekonomi    Pariwisata    Kuliner    Pilkada   
adsbybawean
Home » » Obsesi Besar Anak Bawean, Menjadi Pemain Sepak Bola

Obsesi Besar Anak Bawean, Menjadi Pemain Sepak Bola

Posted by Media Bawean on Sabtu, 27 Desember 2014

Media Bawean, 27 Desember 2014

Keunikan Mentalitas Juara Berawal dari Keapa-adaannya
Oleh : Ahmad Syauqi (Siswa SDN Kotakusuma-Sangkapura)

Mungkin saja adagium “Tak ada rotan akar pun jadi” bisa bersalin menjadi tak ada lapangan, sawah pun jadi. Hal ini sebagai pelecut bagi obsesi atau angan-angan yang kerap kali mengganggu pikiran seorang anak untuk menjadi pemain sepak bola ternama. Kebiasaan itu dilakoni oleh anak-anak di bawah umur di Desa Lebak Kecamatan Sangkapura-Gresik dengan memanfaatkan tegal atau sepetak tanah persawahan yang “nganggur” tidak permanen disulap menjadi lapangan sepak bola kecil-kecilan. Sawah tadah hujan tersebut dijadikan stadion mini untuk bersepak bola ria yang penuh dengan keeksotikan. Dengan semangat tanpa beban sedikitpun mereka mencoba membangun sebuah kebaruan dalam permainan sepak bola versi mereka yang tiada duanya di hamparan muka bumi ini. Tidak perduli Menteri Pertanian hendak menggenjot produktivitas swasembada padi sedang Menpora hendak meningkatkan sportivitas persepak bolaan tanah air. Tetap sarapan bola jadi idolanya anak-anak desa. 



Sekolak (ukuran luas tanah persawahan ala Bawean) yang sudah lama menunggu kehadiran musim hujan dijadikan arena bermain sepak bola oleh anak-anak. Mereka bermain dengan semangat untuk juara sebagai impian meraih angan demi cita-cita besarnya menjadi pemain sepak bola kelas nasional bahkan sampai kelas dunia sekalipun. Mereka ingin menjadi pesepak bola seperti Ruth Gullit (Si punya langkah terpanjang dengan rambut gimbalnya tanpa kutu dan ketombe ), Pele (Si gesit dan lincah), Maradona (si pemiliki tangan setan), David Beckham (pemilik rambut berkilau), Cristiano Ronaldo, Leonal Messy dan sebagainya. Tidak perduli dengan kondisi lapangan yang retak-retak akibat kemarau panjang hingga menjadi kolam sawah di saat musim hujan tiba. Tanah sawah yang penuh dengan kotoran hewan ternak tetangga sekitar turut mengambang dalam luapan air hujan bukan menjadi kendala baginya. Mereka berani dengan kotor demi satu impian yang menghantui pikiran besarnya untuk menjadi sang juara sepak bola.

Permainan sepak bola di kolam sawah ini menjadi tren baru bagi anak-anak yang tinggal di kawasan persawahan. Beda dengan anak-anak di perkotaan yang bermain sepak bola di cela-cela gang sempit sambil menunggu lalu lalang kendaraan lewat. Itu pun anak-anak di perkotaan selalu melakukan permainan sepak bola di tengah larut malam atau dini hari sebelum manusia kota bangun dan bergegas dari kesibukannya masing-masing. Bagi anak-anak desa bermain sepak bola di sawah atau tegal menjadi langganannya pada waktu sawah belum digarap oleh yang empunya. Warga pemilik sawah tidak keberatan dengan sawah sebagai lahan bercocok tanamnya digunakan untuk lapangan sepak bola yang bersifat serta merta dan kondisional itu hingga menunggu masa bercocok tanam tiba.

Lumrahnya, sepak bola adalah kesebelasan dengan segala aturan dan ketentuan. Beda dengan aturan dan ketentuan permainan sepak bola anak-anak yang diterapkan di Desa Lebak Sangkapura. Kadang bisa menjadi ketigaan, keempatan, kelimaan, keenaman, pol maksimal ketujuhan karena faktor ukuran lapangan yang kurang representatif untuk ideal kesebelasan. Paguyuban sepak bola anak-anak ini pun terjalin secara musiman karena anak-anak banyak permainan dan kesenangan lainnya yang harus digeluti setiap hari bergantung selera musimnya saja. Lewat naluri kebersamaan dalam permainan meraka bertemu di areal yang biasanya menjadi tempat mangkalnya.

Mereka tidak mau obsesinya terganggu hanya karena keadaan atau lapangan sepak bola yang tak punya. Semangat untuk menjadi pemain sepak bola sungguh luar biasa. Mereka bisa bermain tanpa club permanen, tanpa wasit, tanpa garis-garis pembatas, tanpa seragam yang sama karena prinsipnya sesuai bunyi sponsor “Bersama tidak harus sama”, bahkan tanpa sepatu. Durasi permainan tidak dibatasi oleh waktu. Gawang yang terkadang tidak perlu tegak lurus. Pandangan mereka terhadap air berbeda-beda. Orang mengalami paranoid tatkala air mengebah menjadi banjir. Walau kehadiran sporter hanya seorang penonton tidak menurunkan tensi semangat berjibaku. Menendang bola di atas air keruh menjadi keliburannya atau kesenangannya. Bahkan air coklat susu itu menyimbur seluruh mukanya pun tak diperdulikan amat. Seperti pepatah “ Menepuk air di dulang terpercik muka sendiri” menjadi “Menendang bola di air tersimbur muka lawan”.

Ricuh pun tak pernah terjadi walau tanpa kehadiran Sang pengadil. Mereka ingin memberi tegoran halus agar persepakbolaan di Indonesia dimulai dari keapa-adaannya saja, tanpa tendensi lain selain olahraga. Wahai teman-teman seusiaku tetap semangat dan berjuang dalam sepak bola untuk menang bukan untuk menghadang. Lanjutkan permainanmu hingga musim hujan belalu tanpa harus menggatung sepatu. Ole…ole…ole…Buat anak muda penerus bangsa katakan “Sepak bola yes, narkoba dan ganja termasuk dopping No!”.

SHARE :
 
Copyright © 2015 Media Bawean. All Rights Reserved. Powered by INFO Bawean