Media Bawean, 22 April 2015
Kartini dalam Perspektif Peran Emansipasi Kekinian
Oleh : HOSOSIYAH (Anggota PKK Duku Sungairujing)
Istilah pendekar menjadi sebuah paradok bila disematkan pada kondite kaum wanita. Imej ini seolah-olah dalam diri Katini ada sebuah kekuatan yang menjadi iner pembangkit semangat juang dari kaumnya. Memang dalam bukunya Tashadi sedikit digambarkan citra dari Kartini semasa kecil terkenal gesit, lincah, dan cerdas. Ia juga terkenal paling “nakal” dibanding dengan dua adiknya yang lain. Tidaklah berlebihan bila Kartini kecil mendapat julukan sebagai Trinil yakni burung kecil yang lincah hinggap dari dahan ke dahan.(Bawean: Jhurnenet, red). Bahkan dalam buku yang sama Tashadi melukikas Kartini kecil dapat memanjat pohon jambu di lingkungan keraton tempat tinggalnya. Padahal panjat memanjak itu urusan lelaki. Kala itu Kartini dan adik-adiknya menyekap diri dalam sebuah kamar dengan menguncinya dari dalam. Mbok Donoharjo sebagai baby siternya kala itu menggelar kloso alias tikar dan tidur sekaligus menjaga di depan pintu kamar tempat kartini dan adik-adiknya berada. Lama sekali mereka tak terdengar kasak-kusuknya dari
luar kamar. Apa gerangan yang terjadi? Ternyata Kartini dan adik-adiknya keluar lewat jendela kamar dan memanjat pohon jambu bersama kedua adiknya. Hal itu diadukan kepada kedua orang tuanya. Kartini jerah dan kapok.
Dalam ketomboyannya itu kata “pendekar” yang menjadi atribut pada diri sosok pejuang wanita mulia itu perlu kiranya sedikit diberi porsi pemahamannya. Selama ini sudah dikesankan bahwa kata “pendekar” konotasinya berkelibat dalam persoalan gender. Kata yang dianggap sakral tersebut lebih memberikan referensi dalam pemaknaannya cenderung untuk kaum lelaki. Termasuk di Bawean istilah “pendekar” (red: bukan pendek kekar) atau “Pandikar” terasosiasi sebagai laki-laki yang memiliki segala kehebatan terutama dalam memainkan ilmu bela diri dan pedang. Padahal dalam sebuah tayangan di salah satu stasiun televise partikelir dalam serial ‘JODHA AKBAR’ seorang wanita lemah lembut dan penuh kekaleman dalam segala karakter dan parasnya, ternyata Sang JODHA istri Raja Mughal di India itu memiliki kehebatan dalam memainkan pedang hingga mampu menumpas habis kaum lelaki sebagai musuhnya. Hal ini sebagai usaha pembelaan diri saja, bukan sebagai aggressor. Ini sebuah realita yang terungkap dari sebuah karya sastra yang bernilai tinggi. Penulis tanpa bermaksud membela diri.
Perlu kiranya dua kata kunci yakni “pendekar” dan “emansipasi” sedikit untuk dijelasan sebagai upaya pemerian agar menjadi kesepahaman bersama. Sudah menjadi sebuah kelumrahan bila dalam memeringati hari Kartini setiap tahun mencuat dua pasang kata “pendekar” dan kata “emansipasi”. Di dalam KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) makna kata pendekar dapat diartikan : 1. Orang yang pandai bersilat (bermain pedang dan sebagainya); 2. Orang yang gagah berani (suka membela yang lemah dan sebagainya); pahlawan. Sedangkan istilah kata “emansipasi” dalam bukunya berjudul RA KARTINI, Tashadi membeberkan dengan amat gambling. Kata “emansipasi” berasal dari bahasa Inggris yakni “emancipation” yang artinya kemerdekaan atau kelepasan, dan berasal dari verba to emancipate yang berarti memerdekakan, melepaskan. Bahkan pada zaman Kerajaan Romawi (Bizantium) istilah tersebut digunakan dalam istilah hukum yang mempunyai arti membebaskan seorang anak yang belum dewasa dari kekuasaan orang tua. Hal ini dapat dimengerti karena pada zaman Romawi itu, status anak adalah milik Negara. (Tashadi: 1986: 71).
Bagaimana realita peran kekinian emansipasi kaum wanita Indonesia? Sebagai penulis sekaligus kaum wanita masih merasakan dan melihat banyak hal yang menjadi keprihatinan. Betapa tidak! Menurut adat Jawa (lingkungan kerataon zaman Belanda) kaum wanita bargainingnya cukup lemah. Peran wanita tidak lebih hanya berkutat di seputar kasur, sumur, dan dapur. Hingga saat ini penulis masih menyaksikan kungkungan adat yang perlu didobrak untuk mendapat kesamaan derajat dan perlakuan tanpa mengabaikan kodrat. Hampir di seluruh tanah air saat ini wanita masih juga di baktikan tidak semata di kasur, sumur, serta dapur melainkan juga di lumpur. Perhatikan Pak Tani setelah membajak sawahnya hingga sawah siap tanam ternyata yang melakukan penanaman (Bawean: Manjhe’-Jawa: nandur ) adalah mayoritas kaum wanita. Sengsaranya lagi, kaum hawa itu sebagai Bu Tani melakukannya dengan membungkuk dan merunduk nyaris mencim lumpur berjalan mundur. Tentu ini menjadi simbol keabadian seorang wanita yang tak akan pernah berjalan maju dan tegak. Dosakah atau salahkan bila peran ini juga dilakukan oleh kaum lelaki? Di sawah yang penuh lumpur pun gender masih dominan perannya. Ini merupakan sebuah diskriminasi terselubung yang perlu pendampingan agar kaum lelaki juga melakukan hal yang sama tanpa harus mengganti peran Pak Tani sebagai pembajak sawah. Mana-mana yang harus dikerjakan kaum wanita? Mana mencuci. memasak, beranak, bahkan nasi yang ditanak pun juga keringat wanita di sawah.
Di Indonesia sendiri wanita dicitrakan sebagai pahlawan devisa. Penulis tidak terlalu bangga dengan penyandangan pahlawan devisa pada kaum wanita karena kerjanya di luar negeri cukup sengsara bahkan menjadi sebuah ratapan yang tidak berkesudahan. Betapa mirisnya bila mendengar kaum wanita sebapai pembantu rumah tangga di luar negeri harus mengakhiri nyawanya di tiang pancungan. Sedangkan di negeri ini jarang terdengar wanita dari luar negeri yang menjadi jongos apalagi berurusan dengan keselamatan nyawanya gara-gara persoalan perburuan. Hingga saat ini yang ada hanyalah TKW (Tenaga Kerja Wanita) belum ada istilah TKP (Tenaga Kerja Pria). Sampai kapankah penyiksaan dan penderitaan kaum wanita ini akan mencapai titik kesamaan hingga terlepas atau merdeka sebagai sosok yang mampu berdikari. Ini menjadi discourse bersama dalam bingkai emansipasi yang ditorehkan oleh pendekar kaum wanita yakni Raden Ajeng Kartini.
Namun, masih ada secerca harapan bahwa wanita yang posisinya lemah dari segi fisik dibanding kaum lelaki memiliki peran yang signifikan dalam menegakkan sebuah negara sekali pun. Sebagai fitrah kaum wanita yang sudah dikodratkan menjadi pendamping kaum lelaki sah-sah saja bersaing tanpa harus menyaingi. Bukan menjadi sebuah kemustahilan bila kaum wanita menjadi kepala desa, camat, bupati, gubernur, menteri, bahkan presiden sekalipun tetaplah menjadi tiang negara. Dari tiang-tiang itulah untuk menyangga atap yang akan tetap memberikan kenaungan atau perlindungan sejati. Di sinilah peran sinergi kekinian kaum wanita dalam persspektif emansipasi tanpa mengabaikan kodrat. Selamat hari Kartini.