Media Bawean, 6 Mei 2015
(Mewaspadai panutan remaja di era Globalisasi)
Ali Asyhar.
Ali Asyhar.
Dosen STAIHA dan Wakil Ketua PCNU Bawean.
Sesekali saya diundang mengaji di masjid kampung. Biasanya pengajian selesai pukul 10.00 WIS malam. Ketika pulang saya sering menjumpai sekelompok remaja yang nongkrong di pinggir jalan sambil menenteng gitar. Bernyanyi tak juntrung jenis lagu dan suaranya. Sebagian lagi asyik bermain ponsel dan cuek dengan sekitarnya. Sepertinya orang yang super sibuk. Ini adalah fenomena akhir zaman yang sebenarnya sudah diprediksi oleh bijak bestari puluhan tahun yang lalu. “ Zamannya sudah edan. Kalau tidak ikut edan maka tidak akan mendapat bagain. Seuntung-untungnya orang edan masih beruntung orang yang selalu ingat dan waspada.”
Pertanyaan selanjutnya, mengapa mereka menjadi liar? Jawabannya adalah karena sekat-sekat moral telah runtuh dihantam badai globalisasi. Tembok rumah hanya menjadi batas fisik. Di dalamnya, sang pemilik sudah tak punya kuasa. Piranti-piranti komunikasi telah menjadi keluarga baru bagi remaja. Ponsel dan televisi menghantarkan mereka menuju dunia luas tak bertepi. Mereka bisa berselancar ria di samudra informasi lalu menyimpannya rapi-rapi sebagai koleksi. Alih-alih menjadi panutan, orang tua dan guru bisa jadi hanya menjadi pengganggu keasyikan mereka. Nasehat dan khotbah sudah mental dan jadi bahan gurauan.
Eyang Google
Mesin pencari berita ini memang luar biasa. Anda tinggal tulis “ bla..bla..bla” lalu “ klik” niscaya akan muncul puluhan informasi pilihan. Google telah menjadi kebutuhan utama para pelajar, santri, mahasiswa, dosen, pengusaha, backpaker, politisi, penulis dan seterusnya. Ia telah menjadi “ eyang” yang fasih bercerita menghantarkan “ cucu-cucunya ” ke peraduan. Ketika sang eyang bercerita maka sang cucu merem melek keasyikan.
Bagi dosen yang masih menganggap bahwa mahasiswanya adalah gelas kosong cenderung berbicara panjang lebar dan luas untuk mengisi memori supaya penuh. Tak dinyana, ternyata si mahasiswa sudah tiap hari diceritai eyang google. Walhasil, si mahasiswa tertawa cekikikan menonton tingkah polah sang dosen.
Papa Ponsel
Wuh..ponsel sudah jadi bapak. Ia melekat tak terpisahkan. Seperti lengketnya nama anak dan bapaknya. Fulan bin fulan. Tidak pegang ponsel satu jam saja rasanya mau mati. Sungguh berbahagia kakek-nenek kita yang tidak galau dengan barang ini. Hidupnya nyaman tak direcoki dering telpon dan bunyi sms.
Benarkah kita akan sengsara tanpa ponsel. Tidak juga. Kita akan tetap bisa hidup tanpa ponsel. Buktinya, nenek moyang kita bisa hidup aman sentosa tanpa “ tuyul ” penyedot pulsa itu . Mereka berkomunikasi langsung dengan cara saling mengunjungi. Bersilaturahim menjadikan umur kita panjang karena stres berkurang.
Selanjutnya, bukankah kita akan ketinggalan informasi? Jawabanya adalah benar. Kita akan ketinggalan informasi yang menyebabkan kita kalah kompetisi dalam banyak hal. Inilah maksud dari “ kalau tidak edan maka tidak akan mendapat bagian”.
Adakah celah untuk menjadi orang yang merdeka? Bebas dengan atau tanpa ponsel? Jawabnya ada. Yaitu dengan cara mencuci otak kita masing-masing. Mereview bahwa ponsel adalah alat bantu untuk memudahkan hidup. Bukan benda mungil yang menyandera hidup.
Mama TV
Berapa jam dalam sehari waktu kita sedekahkan untuk TV ? Kalau lebih dari 3 jam berarti kita termasuk golongan pecandu TV. Otak kita sudah penuh dengan acara-acar pavorit yang membelenggu. Seperti : akedemi-akademian, sinetron bersambung dan dagelan-dagelan vulgar. Sehari ketinggalan satu acara saja badan terasa panas dingin. Waktu kita sudah diatur oleh acara TV. Ia menjadi induk dari semua kegiatan harian.
Apakah kita bisa hidup tanpa TV ? Jawabnya : bisa. Bukankah nenek moyang kita membangun peradaban juga tanpa TV? Selanjutnya : dari mana kita mengakses informasi? Jawabannya : ada banyak alternatif yaitu radio dan surat kabar. Guru saya di pesantren Tanggir Tuban ( KH. Mahmud Salim) mengharamkan dirinya dan keluarganya untuk menonton TV. Walhasil hidupnya baik, tentram dan putra-putrinya berkualitas.
Penutup
Internet, ponsel dan TV pada awalnya dimaksudkan sebagai sarana untuk mengakses informasi dengan cepat. Namun pada akhirnya menjadi Dajal yang menyembelih kehidupan manusia. Sikap selektif dan hati-hati adalah solusi.
Sesekali kita harus mendidik diri kita masing-masing untuk menjadi manusia yang merdeka. Cobalah sehari tidak pegang ponsel. Tinggalkan ia di laci atau matikan. Cobalah 3 hari tidak nonton TV. Lalu, cobalah seminggu tidak buka facebook atau twiteer. Saya yakin anda akan tetap hidup bahkan dunia terasa semakin luas.