Peristiwa    Politik    Sosial    Budaya    Seni    Bahasa    Olahraga    Ekonomi    Pariwisata    Kuliner    Pilkada   
adsbybawean
Home » » Melawan Angin Melawan Takdir
Memahami Kehidupan Lewat Layang2

Melawan Angin Melawan Takdir
Memahami Kehidupan Lewat Layang2

Posted by Media Bawean on Minggu, 31 Mei 2015

Media Bawean, 31 Mei 2015

Oleh : Ahmad Syauqi ( Siswa SDN Kotakusuma )

Kekononan sebuah event of the past dari seorang penemu bola lampu pijar yakni Thomas Alfa Edison cukup menarik untuk dijadikan sebagai bahan renungan. Mungkin saja apa yang dilakukan oleh Sang Penemu penerang kegelapan tersebut berawal dari sebuah permainan yang banyak digandrungi oleh anak-anak dan orang dewasa tatkala musim angin yakni bermain layang-layang. Thomas Alfa Edison secara kebetulan kala itu bermain layang-layang di musim hujan. Benang basah yang menjuntai dari angkasa ke tangannya menghantarkan arus listrik setelah layang-layang yang dijokinya itu disambar oleh kilatan petir. Berawal dari peristiwa ketidak sengajaan itulah Thomas Alfa Edison mulai berpikir bagaimana memanfaatkan strum alam itu menjadi bola lampu pijar sebagai wujud perjodohan proton dan elektron dalam ruang hampa. Tangan Thomas Alfa Edison kesetrum berbuah menjadi buah tangan yang mengabadi dalam kehidupan hingga saat ini. Ingat lampu listrik ingat jasa Thomas Alfa Edison.


Pandangan suatu bangsa terhadap angin pun berbeda-beda. Bangsa yang sudah maju dari sisi peradaban memanfaatkan angin sebagai sebuah energi kinetik untuk berbagai macam keperluan. Semisal di Belanda, angin dimanfaatkan tenaganya untuk memutar baling-baling dengan menciptakan kincir angin raksasa yang dikoneksikan dengan dinamo mampu menghasilkan tenaga listrik. Warga Negara kincir angin tersebut mampu mengirit biaya keperluan listrik rumah tangganya. Wajar jika Negara Belanda terbebas dari krisis energi listrik dengan beban risiko yang cukup rendah. Ini bukan sebuah kabar angin melainkan sebuah realita yang patut menjadi bahan kajian untuk kemaslahatan negeri ini dengan memanfaatkan tenaga angin pula.

Pandangan lain yang juga perlu dirilis dalam tulisan sederhana ini adalah nilai kesejarahan dari angin tempo dulu bagi para nelayan dan pelaut pada umumnya. Nelayan mana yang tidak memanfaatkan tenaga angin kala mengarungi samudera dalam mengkasab rezeki di lautan. Layar perahu yang terkembang pun berkat tiupan angin. Semakin kencang angin yang meniup maka semakin laju kecepatan bahtera atau biduk perahu yang dinakhodainya. Dalam catatan sejarah masa lalu, Indonesia kesohor sebagai bangsa pelaut ( bukan bangsa Popaye, red) sebagai konsekuensi logis dari julukan negeri bahari. Setelah alih teknologi dari layar ke mesin berangsur-angsur angin menjadi kehilangan peran. Lepas dari persahabatan dengan angin, angin sudah menjelma menjadi sadis dan tanpa kompromi memporak-porandakan segala aspek kehidupan manusia. Angin yang tidak kelihatan menjelma menjadi angin puting beliung, topan tornado, dan sejenisnya yang amukannya amat kelihatan.

Berbeda dengan pandangan manusia terhadap angin, berbeda pula bagi tanaman. Angin bagi tanaman buah menjadi pemicu terjadinya pembuahan. Jatuhnya benang sari ke putik dalam perkawinan serumah pun terjadi atas tiupan angin. Termasuk debu kemarau panjang yang melapisi dedaunan akan menjadi bersih berkat tiupun angin dan hujan. Ini semuah sudah menjadi ketetapan Sang Pencipta yang patut menjadi bahan renungan. Manusia kadang mengeluh dan mengesah bila angin gegabah menerbangkan segalanya. Orang juga bisa sakit karena masuk angin dan juga bisa sakit karena tidak mengeluarkan angin (Tak bisa ngentut, red). Perusahaan besar telah banyak merekrut tenaga kerja lawat jamu tolak angin dan minyak angin.

Penulis merasa sedikit miris dan kecewa menyaksikan anak-anak di negeri ini memanfaatkan angin hanya sebagai media permusuhan. Homo homoni lupus menjelma dalam sebuah permainan layang-layang yakni yang kuat menindas yang lemah di udara. Khususnya di Pulau Bawean mengadu atau sabung layang-layang sudah menjadi kegemaran dan kebiasaannya. Hawa nafsu lebih mengedepan untuk memutuskan benang dan layang-layang milik orang lain. Sepintas memang sungguh mengasyikkan namun kemudaratan tak pernah terpikirkan. Adu layang-layang atau sabung layang-layang di Pulau Bawean terkenal dengan istilah ‘araet’. Harga benang yang mahal tidak menjadi perhitungan. Layang-layang putus beli dan beli lagi hingga mereka banyak yang keranjingan. Di situlah setan memainkan peran agar manusia yang satu dengan yang lain harus bermusuhan.

Bagi anak-anak yang notabene sebagai pesuka adu layang-layang menimbulkan banyak keresahan. Mereka yang berusaha mendapatkan layang-layang putus dengan mengejarnya (Bawean: ngaraghek, red) telah banyak menimbulkan kecelakaan di jalan raya. Mereka ‘melangar’ dengan tidak lagi menghiraukan kendaraan yang lalu lalang karena pandangan mata ke awan bersama limbungan layang-layang putus yang terbawa angin. Ketidak pedulian ini kerap kali menyebabkan kecelakan yang cukup vatal akibatnya. Belum lagi jalanan dan semak belukar yang dilintasi peragap terkadang penuh tancapan paku buangan dan pinggan kaca serta onak dan duri yang siap merobek telapak kaki mereka. Gala berduri pun menjadi senjata pamungkas untuk mendapatkan layang-layang putus yang nominal harganya pun tidak seberapa.

Ada hal yang lebih mengerikan lagi akibat bermain sabung layang-layang di bawah terik matahari. Sinar ultra violet yang dipancarkan oleh matahari dapat menyebabkan kebutaan atau katarak. Kornea mata akan banyak membentuk selaput akibat pancaran sinar ultra violet yang diterima oleh mata secara langsung. Jari-jemari kedua tangan anak teriris-iris karena terkisil oleh tajamnya benang yang bergelasan. Luka yang ditimbulkan dapat menyebabkan infeksi. Saat ini belum terasa oleh anak-anak akibat bermain layang-layang di bawah terik matahari. Tunggu tanggal mainnya saat mereka beranjak tua. Kanker kulit juga akan muncul bila sentuhan matahari panas kerap kali menimpa permukan epitel. Bangsa Indonesia yang terkenal dengan sebutan bangsa yang berkulit sawo mateng akan menjadi bangsa yang berkulit sawo nila mateng hitam legam alias berkulit ‘porron’ tampak gosong akibat gigitan sinar matahari.Belum lagi banyaknaya kabel instalasi telepon yang putus akibat gisilan benang bergelasan tersebut.

Penulis tertarik dengan festival layang-layang yang diadakan di Sepang Malaysia baru-baru ini. Layang-layang dengan berbagai model artistik dan tali benang dari berbagai bahan menjadi trend sebagai bahan komoditi yang memiliki nilai jual. Hiburan sekaligus pengalihan pandangan dari permusuhan menjadi sebuah persahabatan. Uniknya model layang-layang para peserta festival berbagai negara mengikuti alam ide pembuatnya. Variannya percis layaknya perusahaan motor Harly Davidson keluar dari pabrik modifnya pun bervariasi hampir tak ada yang sama antarperunitnya setelah sampai kepada penggemarnya. Termasuk di Pulau Bawean ragam layang-layang pun bervariasi. Mulai dari model Sawangan (Bawean: sabengan), amlar (layang-layang ekor panjang), serta jenis Udang-Udangan yang lagi ngetrend saat ini. (seperti gambar di atas).

Masih terkenang sebuah lagu legendaris yang dibawakan oleh koes plus bersaudara berjudul Layang-Layang Yang Kusayang serta petikan lirik lagu Rita Sugiarto dengan perlambang layang-layang putus di tangan. Termasuk kehidupan manusia di muka bumi dalam posisi melayang tanpa ada penyangga. Bumi yang dipijak serta benda-benda langit pada orbitnya masing-masing pun melayang. Semua serba melayang dalam tataran bumi antariksa. Pandangna awam mengatakan bahwa angin adalah udara yang bergerak, padahal hakikatnya adalah bumi yang bergerak. Seperti saat orang berkendara semakin cepat laju kendaraan semakin cepat angin yang bertiup melawannya.Melawan angin tak ubahnya melawan takdir karena semua itu berjalan dengan kehendak-Nya.

SHARE :
 
Copyright © 2015 Media Bawean. All Rights Reserved. Powered by INFO Bawean