Peristiwa    Politik    Sosial    Budaya    Seni    Bahasa    Olahraga    Ekonomi    Pariwisata    Kuliner    Pilkada   
adsbybawean
Home » , » Mendidik Sepenuh Hati,
Bukan Sepenuh Gaji

Mendidik Sepenuh Hati,
Bukan Sepenuh Gaji

Posted by Media Bawean on Minggu, 03 Mei 2015

Media Bawean, 3 Mei 2015

Mengenang 126 Tahun Perjuangan Ki Hajar Dewantara
Oleh : SUGRIYANTO (Guru SMAN 1 Sangkapura)


Menyoal tentang pendidikan, tentu tidak akan pernah terlepas dari sosok seorang pejuang pendidikan sekaligus sebagai pahlawan nasional dengan multi talent yakni KI Hajar Dewantara. Pemilik nama asli Raden Mas Soerjadi Suryaningrat ini dilahirkan dan dibesarkan di lingkungan keraton Surakarta 126 tahun lalu tepatnya hari Kamis, 2 Mei 1889-sepuluh tahun setelah RA Kartini lahir. Beliau pernah menempuh pendidikan dokter di STOVIA (Sekolah Dokter Pribumi) , namun tidak sampai tamat karena kondisi kesehatan. Beliau juga menjadi penulis dan wartawan handal di berbagai media cetak berskala nasional tempo doeloe. Tuslisan-tulisannya cukup tajam, kritis, serta komunikatif dalam menyuarakan kepentingan nasionalisme menuju Indonesia merdeka. Setelah Indonesia merdeka, beliau oleh Presiden Soekarno dipercaya menjadi Menteri Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan yang pertama.

Nama kebesaran Ki Hajar Dewantara oleh para pujangga diabadikan dalam semiotika berupa perlambang dengan ikon “bunga teratai’ ( Inggris: Lotus, red) sebagai penjaga zaman. Bahkan, Bill Gates, pemilik Microsoft Office pun menggunakan ikon “Lotus” sebagai jenis dan grade program komputer korporasi miliknya. Ki Hajar Dewantara mendirikan Perguruan Nasional Taman Siswa pada tanggal 3 Juli 1922 dengan tendensi politik menuju Indonesia merdeka. Perguruan Taman Siswa yang didirikan oleh Ki Hajar Dewantara berorientasi nasionalisme pedagogis serta kultural. Teratai sebagai simbol terabadikan dalam logo pendidikan di Indonesia. Semboyan utama sebagai ajaran mulianya adalah Tutwuri Handayani (di belakang memberi dorongan), ing madya mangun karsa (di tengah menciptakan peluang untuk berprakarsa), ing ngarsa sungtulada (di depan memberi teladan).

Merujuk pada kenyataan di atas bahwa kata kunci yang patut mendapat perhatian utama adalah kata “pendidikan” yang kerap kali diperingati setiap tanggal 2 Mei. Penulis sempat berpretensi mengapa hanya ada Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas), bukan Hari Pelajaran Nasioanal (Harpelnas)? Padahal di sekolah terdapat istilah pendidik dan pengajar (guru). Kenyataan di sekolah pun kerap keli menggunakan singkatan “mapel” bukan “madik”. Termasuk guru dengan guru bila bertemu di tempat tertentu saling bertanya “Bapak atau Ibu mengajar di mana?” tidak pernah terlontar pertanyaan “ Bapak atau Ibu mendidik di mana?” Keliaran nalar ini dapat diskup dengan batasan yang termakub dalam Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas.Dalam Bab I Ketentuan Umum Pasal 1 item pertama tertera dengan amat gamblang tentang terminologi pendidikan sebagai berikut.

“ Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara”

Sudah kesekian kalinya bangsa ini memperingati hari pendidikan Nasional sejak Indonesia merdeka. Sudah sejauh mana pula tingkat keberhasilan dalam dunia pendidkan. Jadi apa pun, orang Indonesia tidak pernah terlepas dari sentuhan pendidikan baik formal maupun nonformal. Kenyataannya, tidak sedikit perilaku elit yang menyimpang dari nilai-nilai yang terkandung dalam dunia pendidikan. Dengan berbagai macam karakter kebaikan yang di tanamkan sejak lahir hingga menjadi manusia tua lewat sentuhan pendidikan tetap saja tidak berkurang tindak kejahatan yang dilakukan. Mungkinkah ini akibat guru atau pendidik yang mendidik tidak sepenuh hati karena selalu menuntut gaji yang berlebih? Ataukah mungkin peserta didik yang sudah kehilangan karakter sebagai jati diri “murid” bersikap di hadapan guru dan masyarakat yang terkadang berbuat tidak senonoh. Mereka mulai mengabaikan nilai sopan santun dalam pergaulan karena tuntutan pendidikan modern ini yang memicu anak menjadi bengal terhadap guru dan pendidik pada umumnya. Atau sistem pendidikan di negeeri ini perlu disedernakan dengan mengembalikan secara utuh jiwa-jiwa yang penuh dengan ketulus ikhlasan yang pernah ditorehkan oleh para pendahulu. Cermin pendidikan di negeri ini lebih mengutamakan kecerdasan intelektual di bandning dengan kecerdasan spiritual dan emosional. Hasil atau keluaran diukur dengan angka-angka kuantitatif dalam ranah kognitif dan psikomotor. Sedang afektif atau sikap tidak pernah ditonjolkan. Beginilah konsekuensi terburuk yang harus ditelan bersama.

Sungguh dahsyat keluarn dari sebuah pendidikan. Bahkan, Imanuel Kant dalam bukunya Dinn Wahyudin Pengantar Pendidikan mengatakan bahwa “Manusia hanya dapat menjadi manusia karena pendidikan” ( Dinn Wahyudin, dkk : 2007: 1.15}. termasuk HDI ( Human Development Indeks) meranking atau memeringkat kemajuan suatu bangsa dengan barometer kesehatan, pendidikan, dan ekonomi. Ketiga tolok ukur tersebut secara holistik saling mengalami keterkaitan antara yang satu dengan yang lain. Dokter, guru dan ekonom hendaknya erat bahu-membahu untuk mengantarkan bangsa ini menjadi bangsa yang bermartabat dengan tidak mengabaikan dedikasi komponen lain yang juga menjadi stake houlder negeri ini. Mereka sama-sama menjadi pendidik yang sepenuh hati bukan sepenuh gaji.

Menghadapi hari kebesaran dan sekaligus sebagai hari kebanggaan setiap tanggal 2 Mei tahun ini, khususnya guru di Pulau Bawean dihantam prahara persoalan rezeki berupa tunjangan khusus yang semestinya menjadi haknya seperti berharap-harap cemas saja untuk mendapatkannya. Namun, penulis tetap yakin karena masih ada ” kereta yang akan lewat” karena” badai atau prahara pasti berlalu” lewat konsistensi pemerintah dan DPR yang telah menetapkan bersama Peraturanm Pemerinta Nomor 74 tahun 2008 tentang guru. Mereka akan tergugah untuk memperhatikan kesejahteraan pendidik yang berada di daerah terpencil dengan segala tingkat kemahalan dalam kebutuhan hidupnya. Mungkin saja pemerintahan transisi ini masih dirundung banyak kesibukan.Dalam peraturan tersebut dimaktubkan pada bagian ketiga yakni Tunjangan Khusus pasal 22 berbunyi sebagai berikut.

“ Tunjangan khusus bagi guru yang ditugaskan oleh pemerintah dan pemerintah daeah dianggarkan sebagai belanja pegawai atau bantuan sosial sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan” Otomatis, tunjangan sebagai belanja pegawai yang dimaksud sudah barang tentu di-APBN-kan. Jadi, jika pemerintah dan DPR sampai mengabaikan terhadap peratuan dan perundangan maka sama halnya dengan melakukan pembangkangan terhadap undang-Undang dan Peraturan itu sendiri. Membangkang versi Bawean sama halnya dengan bertelanjang bulat. Sebulat di dalam ketelanjangannya jika hak-hak pendidik terabaikan. Jika memang demikian, keskeptisan penulis terhadap bukunya Taufik Ismail berjudul “Malu Aku Jadi Orang Indonesia” menjadi sedikit terkikis dan sedikit pupus. 
Walau demikian, masih banyak di penjururu negeri ini dijumpai guru mendidik muridnya benar-benar sepenuh hati, bukan sepenuh gaji semata sebagai haknya. Mereka bukan semata memberi asupan gizi rohani melainkan juga melakukan internalisasi nilai-nilai kepada anak didiknya. Mulai dari ujung kaki hingga ujung rambut tetap menjadi perhatiannya tanpa reserve apalagi dengan motif finansial. Perhatikan segmen spontanitas di atas dalam tugas rutinitasnya sebagai pendidik sekalgus merangkap tukang pangkas rambut anak didik tanpa mengharap bayaran lebih. Meminjam istilah dalam adagium “Kasih Ibu dan Bapak guru sepanjang jalan, kasih anak sepanjang gala.” Selamat Hardiknas 2015.

SHARE :
 
Copyright © 2015 Media Bawean. All Rights Reserved. Powered by INFO Bawean