Media Bawean, 7 Agustus 2015
Oleh : Ali Asyhar (Wakil ketua PCNU Bawean dan dosen STAIHA)
Sebagian orang cemas melihat kondisi hari pertama Muktamar NU ke 33 di Jombang. Muktamar yang dibuka oleh presiden Jokowi malam sebelumnya yang nyaris sempurna tiba-tiba gaduh. Rapat pleno pengesahan tatib yang dipimpin oleh Slamet Efendy Yusuf berjalan alot. Peserta muktamar terbelah dalam menyikapi persoalan bagaimana cara memilih rais am. Sebagian mendukung dengan sistem ahlul halli wal aqdi (Ahwa / formatur) dan sebagian lagi memilih untuk diserahkan langsung kepada muktamirin.
Kedua faksi sama-sama memiliki alasan kuat. Kelompok pertama beralasan bahwa rais am adalah adalah imamnya para kiai. Sangat tidak elok antas apabila dipertandingkan. Kelompok kedua beralasan bahwa para peserta muktamar adalah wakil dari warga NU. Jadi mereka berhak menentukan pemimpinnya.
Alotnya pembahasan tatib ini berlanjut sampai hari kedua. Di tengah kebuntuan ini pejabat rais am yakni KH. Musthafa Bisri turun gunung. Ia menyerukan agar tata cara pemilihan rais am diserahkan kepada dewan syuriah. Dewan syuriah akan bermusyawarah. Walhasil, mayoritas memilih sistem ahlul halli wal aqdi.
Akhlaqul karimah
Pelajaran penting dari arena mukatamar NU kali ini adalah akhlaqul karimah. Sepanas-panasnya perbedaan pandangan para muktamirin namun ketika rais am sudah dawuh maka semuanya menerima. Mereka bisa menyingkirkan kepentingan masing-masing. Suasana sidang pleno yang awalnya tegang berubah syahdu oleh alunan shalawat badar. Air mata bercucuran.
Martin Van Bruineseen, seorang islamolog dari Belanda menyatakan bahwa NU selalu memiliki cara untuk mengurai situasi yang sulit. Martin adalah pemerhati NU kawakan. Kehadirannya di arena muktamar Jombang ini adalah yang pertama sejak Gus Dur tidak lagi di PBNU.
Kerendahan hati dan keihkalasan Gus Mus (KH. Musthafa Bisri) berlanjut. Ketika 9 kiai anggota ahlul halli wal aqdi memilihnya untuk menjadi rais am, ia tidak bersedia. Penolakannya ini bukan karena pembangkangan namun lebih kepada keteladanan. Jabatan adalah beban. Bila engkau merasa berat maka jangan engkau terima. Endingnya, rais am dijabat oleh KH. Makruf Amin (cucu Kiai Nawawi Banten).
Asa’d Said Juga mundur
Pada saat pemilihan ketua umum PBNU, kembali keteladanan itu kita dapatkan. Meski banyak nama beredar sebelumnya namun ketika pemilihan tahap 1 selesai maka perolehan suara adalah: KH. Said Aqil Siradj : 207 sedangkan As’ad Said Ali: 107. Pemilihan akan dilanjutkan tahap ke 2. Sekonyong-konyong Asad Said Ali meminta waktu untuk menyatakan : mempersilahkan KH. Said Aqil Siradj untuk menjadi ketua umum.
Panggung muktamar NU berakhir amat sejuk. Sikap kerendahan hati para kiai terbukti mampu menjadi inspirasi. Dinamika yang terjadi di awal muktamar adalah gambaran keteguhan hati untuk mempertahankan pendapat. Para kiai sudah sangat terbiasa berdebat dalam bahtsul masail. Namun ketawadhu’annya lebih dominan.
Pernik-pernik Muktamar NU Jombang
Jombang menjadi lautan masa bersarung. Muktamar ke 33 ini dilaksanakan di 4 pesantren ternama yaitu : Tebuireng, Tambakberas, Denanyar dan Rejoso. Para peserta menginap di 4 pesantren tersebut dan berkumpul di satu titik yakni alon-alon Jombang. Di sinilah tempat pembukaan dan sidang-sidang pleno.
Lalu lalang para kiai, ibu-ibu muslimat, Fatayat, Banser, Pagar Nusa dan semua banom serta lembaga begitu kentara.. Permusyawaratan para kiai ini menarik banyak gerbong. Semua media cetak dan elektronik hadir dan mewartakan setiap saat. Para tukang ojek, abang becak, penjual nasi pecel, souvenir, buku hatta tukang pijat kebagian rizki. Para muktamirin yang kecapekan berhenti sejenak untuk diurut leher dan kepalanya. Para penggembira juga ikut dibuat bersuka ria oleh pentas musik religi dan Rhoma Irama.