Peristiwa    Politik    Sosial    Budaya    Seni    Bahasa    Olahraga    Ekonomi    Pariwisata    Kuliner    Pilkada   
adsbybawean
Home » » TUNGTUNG Mencari Pahala

TUNGTUNG Mencari Pahala

Posted by Media Bawean on Rabu, 16 Mei 2018


Oleh: Sugriyanto (Pakar Seni dan Bahasa Bawean)

Musik tradisional "tungtung" menjadi permainan seni turun-tumurun untuk membangunkan orang makan sahur. Biasanya para petungtung memulai aksinya memasuki waktu dini hari atau menjelang orang makan sahur. Alat musik yang digunakan berupa kentongan bambu yang dimodif sedemikian rupa. Beberapa bunyi kentongan dengan tingkatan nada yang bervariasi dipadu dengan bunyi pengiring dari alat-alat bekas lainnya. Beberapa alat bekas lain yang dipakai dapat berupa kaleng bekas, timba bekas, gelen bekas, tim atau blek bekas, hingga mata cangkul bekas yang dipukul dengan tangkai besi sebagai bunyi pemanisnya. Lagu yang dibawakan cukup beraneka macam aliran. Mulai aliran dangdut, pop, rok, irama padang pasir, solawatan, sampai pantun kedaerahan dengan iringan pukulan yang relatif sama. Lagu dinyanyikan secara bersama-sama dengan rancak dalam satu bingkai titi nada secara royokan. Tungtung bukan patrol apalagi patroli, tambah bukan.

Biasanya untuk mengawali permainan musik "tungtung" tradisional ini ketua kelompok memberikan aba-aba hitungan kebesarannya menggunakan angka keberuntungan yakni "tiga... empat...!" yang diselingi dengan yel-yel kemerduan berbunyi "ea..ea...". Birama atau ketukan disama- ratakan mengikuti derap langkahnya. Kadang ada juga yang lebih atraktif dan sedikit menghebohkan saat hendak memulai permainan musik tungtungnya dengan memanfaatkan bunyi mercon atau petasan. Hal ini yang terkadang memicu ketegangan antara kelompok yang satu dengan lainnya menjadi saling membalas dengan hal yang sama bila berpapasan atau bersalipan di tengah jalan. Prilaku seperti ini dapat memicu terjadinya bentrok yang berakhir dengan tawuran massal. Jikalau sudah demikian adanya sudah tidak dapat dihindari lagi terjadinya cekcok atau gaduh antara sesama petungtung. Padahal, niat awal mereka hendak mencari pahala justru menimbulkan dosa di antara mereka setelah terjadi tawuran massal. Tak jarang pula peristiwa perkelahian antara kelompok ini harus dibawa ke meja kepala desa. Sungguh sangat merugi bila harus terjadi hal yang demikian.

Memang, hingga saat ini belum ada aturan resmi yang dikeluarkan oleh pihak terkait bagi para pegiat "tungtung" ini. Namun, untuk membangunkan orang yang hendak makan sahur perlu adanya kesepakan tentang waktu dan etika dalam bertungtung. Selama ini segala sesuatunya berjalan sesuai dengan kebiasaan sifat kerukunan antarwarga. Di masa silam, justru orang bertungtung banyak menjalin pertemanan hingga lintas desa seraya adu kemerduan suara dan kebolehan permainan. Bahkan tak jarang perjodohan pun berawal dari bermain tungtung di tempat gadis cantik yang diincarnya. Mendengar alunan lagu merdu sang gadis mengerti dengan untaian lirik lagu atau isi pantun yang dibawakan oleh sang pujaan mengarah kepadanya.

Waktu ideal untuk membangunkan orang makan sahur sebaiknya dilakukan di jam-jam menjelang makan sahur. Bahkan, bagi para pesahur sendiri ada anjuran untuk mengakhiri waktu makan sahurnya hingga menjelang imsak. Kurang lebih sejam waktu menjelang makan sahur itu sudah cukup ideal untuk melakukan tungtung. Pembatasan ini cukup beralasan agar orang berpuasa bisa menikmati waktu istirahatnya dengan sempurna. Walau demikian, masih ada saja sekelompok anak muda yang memulai permainan tungtungnya tengah malam memasuki waktu dini hari. Agar tungtung ini menjadi perbuatan baik yang bernilai ibadah lakukanlah dengan niatan benar-benar hendak membangunkan orang untuk santap sahur. Akhirnya, tungtung hakikatnya tak ubahnya secuil perbuatan bernilai ibadah untuk mencari pahala di bulan penuh berkah. Selamat menunaikan tungtung, semoga tetap menjadi bagian ibadah. Sahur...! Sahur...! Sahur...! Sahur...!

SHARE :
 
Copyright © 2015 Media Bawean. All Rights Reserved. Powered by INFO Bawean