Peristiwa    Politik    Sosial    Budaya    Seni    Bahasa    Olahraga    Ekonomi    Pariwisata    Kuliner    Pilkada   
adsbybawean

Cerpen Reuni

Posted by Media Bawean on Sabtu, 14 September 2019

Oleh: A. Fuad Usfa


Fahri, betapa beruntungnya wanita yang mendapatkan engkau Fahri. Demikian kata kaum ibu dan wanita-wanita muda di kampungnya. Kala Fahri masih kanak-kanak, masih anak ingusan, ia hanya melongo-longo saja mendengar celotehan mereka.


Fahri lahir di sebuah kampung kecil, tidak jauh dari Danau Kastoba. Hari-hari ia selalu datang bermain di danau. Entah mengapa gerangan ia begitu suka di situ. kadang mandi, mancing, serta bernmain sebagaimana laiknya anak-anak seusianya. Sering pula ia sendirian saja, padahal danau itu kata orang ada ‘penunggunya’, itulah sebabnya orang tua Fahri sering merasa risau atas kebiasaan Fahri. Oleh sebab kebiasaan itu pulalah Fahri mendapat julukan si anak danau.

Si anak danau itu berkulit putih, hidung mancung, berambut hitam pekat, tatapan matanya tajam, postur tubuhnya jangkung, langkahnya terayun sedikit terjinjit yang menyiratkan kesan, perlahan tapi pasti.

Pendidikan dasar Fahri ditempuh di kampung kelahirannya, prestasinya amat bagus. Selepas SD ia melanjutkan studinya ke Sangkapura. Di Kota Kawedanan Bawean itu ia melanjutkan studi di SMP, di SMP itu pulalah seorang gadis cantik, imut-imut, bagaikan kuntum mawar yang sedang mekar bersekolah. Nama gadis itu Wardah, bukankah wardah bermakna mawar?, pandai nian orang tuanya memilihkan nama. Namun Wardah tidak sampai tamat di situ, sebab baru satu tahun berjalan, saat kenaikan ke kelas dua, orang tua Wardah pindah tugas kerja yang tentu Wardah ikut juga bersamanya. Mereka pindah ke tanah Jawa.

Walau masih kecil Fahri sudah punya rasa tertarik pada Wardah, tapi ia tak dapat berbuat apa-apa, maklumlah masih terlalu kanak-kanak, namun perasaan itu begitu bergejolak dalam kalbunya, oleh sebab itu kepergian Wardah sempat membikinnya tiada dapat tidur, makanpun tiada enak, indahnya mawar selalu terbayang di pelupuk matanya. Inikah kiranya sentuhan cinta pertama?!. Bagaimana dengan Wardah?, ternyata sang mawarpun merasakan suatu hal yang sama, ketampanan Fahri selalu bermain di alam bayangnya.

Waktu telah berjalan, hari berganti hari, lalu datanglah minggu, disusul bulan dan berbilanglah tahun, tentu bayangan kuntum mawar sudah tiada lagi, demikian pula bayang ketampanan si anak danau, semua telah ditelan sang waktu, sirna, bagai sirnanya embun ditelan cahaya sang surya.

Setelah Fahri lulus dari SMU, yang juga ditempuhnya di Kota Kawedanan yang sama ia kembali ke kampungnya. Ketampanan dan ahlak Fahri telah menjadi buah bibir, yang serasa menjadi hiasan pada setiap tiupan sang bayu di serata pulau Bawean, keharuman namanya bagai keharuman kasturi, ketampanannya telah mencipta daya tarik bagi setiap wanita.

Di saat Dies Natalis SMPnya, diadakanlah reuni. Alumni pada hadir di hari bersejarah bagi sekolahnya itu. Di sele-sela hadirin Wardah hadir walau terlambat, ia mengenakan gaun panjang berwarna keunguan, aduhai…, ia begitu anggun, lampu mirquri dari atas panggung menyorot dan menimpa persis pada wajahnya dengan hidungnya yang mancung, halus, indah, sempurna, matanya berbinar bagai menantang cahaya mirquri dengan lengkungan nan elok bulu mata aslinya, alis tebalnya yang hitam tanpa celak membentuk bulan sabit, pipinya yang kemerahan dengan olesan make up yang begitu serasi, serta dagunya yang imut dengan bagai sedikit terpecah di tengahnya, ayunan langkahnya bagai mengikut irama musik melengkolis yang mengiring acara ramah-tamah. Wardah duduk persis di sebelah Fahri. Fahri hampir tak mengenalnya, sang mawar menyapa Fahri, Fahri jadi gugup dan oh..., Wardah...?!!, ujarnya dengan lirih hampir tak bersuara. ‘Apa kabar Wardah…?’. Fahri balik menyapanya, ‘baik Fahri…’ jawab Wardah. Oh…, iya…, Wardah tinggal di mana selama ini?’, tanya Fahri, ‘di Surabaya Fahri…’, jawabnya, ‘sudah berapa lama kita tiada bertemu ya…’, sambung Wardah, ‘oh…, iya…, sudah lama Wardah…’, jawab Fahri, ‘aku jadi pangling sama kamu…, kamu makin cantik…, cantik sekali’, tambah Fahri memujinya. Ternyata Wardah kini masih selincah Wardah di kala masih duduk di bangku SMP bersamanya dulu, pujian Fahri menggerakkan refleks jari-jemarinya nan lentik, ia mencubit lengan Fahri yang memakai kemeja lengan panjang, Fahri jadi GR juga dibuatnya. Ingin rasanya ia mengatakan bahwa ia begitu menaruh simpati padanya, serta menceriterakan bagaimana perasaannya dulu, kala ditinggal Wardah pindah sekolah. Ingin rasanya ia mencurahkan segala rindu-dendam yang sempat terkubur bertahun-tahun yang tiba-tiba kini kembali bergelora bagai alunan gelombang samudra.

Kala acara telah usai Fahri mengantarnya hingga di halaman sekolah. Dari arah kanan tiba-tiba datang sebuah mobil sedan menepi, lalu dengan mengucapkan salam pada Fahri Wardah menuju mobil itu, ‘assalamualaikum Fahri, sampai jumpa’, ucapnya. Fahri hanya tertegun, bertepatan saat itu datang seorang kawannya menyapa Fahri, ‘apa kabar Fahri’, sapanya. Lalu ia bertanya pada Fahri apakah ia sudah dapat undangan dari Wardah. Tentu Fahri berupaya tidak menunjukkan sikap sejatinya, yang tiba-tiba menjadi gugup atas pertanyaan kawannya, Fahri hanya menjawab, ‘tidak’. Lalu temannya itu bilang bahwa Wardah akan bertunangan dalam minggu ini, orang tuanya telah menjodohkan dengan seorang menejer muda sebuah Bank di Surabaya.

Keesokan harinya Wardah ke rumah Fahri menyampaikan undangan, ya…, hanya menyampaikan undangan saja, sebab masih ada beberapa undangan untuk kawan-kawan sekelas di SMPnya dulu yang berasal dari Kecamatan Tambak. Sebagai seorang wanita yang berperasaan halus, ditambah sifat kedewasaannya, Wardah seakan mampu menyelami lubuk hati Fahri, Wardah tersenyum dengan kulum senyumnya nan indah, Wardah menyalami Fahri, dengan canggung Fahri mengulurkan tangnnya, raut mukanya merona, entah tak tahu apa yang harus diucapkannya. Sikap canggung melanda dua belia yang saling dirundung kenangan masa lalunya kala dua hati dililit cinta pertama yang ternyata tiada pernah tersampaikan. Tiba-tiba wajah Wardah pun turut merona, memerah, dan ia serasa ingin menangis atau berlari ke mobil dan menghempaskan dirinya, namun ia segera sadar bahwa tak lama lagi sebentuk cincin akan melingkar di jari manisnya sebagai pertanda ikatan suci akan segera menyusulnya. Suara wardah memecah keheningan di tengah kecanggunagan itu, ia berkata pelan, seakan berbisik, ‘jodoh di tangan Tuhan Fahri…, aku menunggu undanganmu, sebagaimana aku mengundangmu di saat ini..., aku berharaap engkau dapat hadir di malam pertunanganku, aku berharap doamu Fahri…’, dan dengan lembut ia berucap salam, ‘assalamualaikum Fahri…, aku berharap kehadiranmu’, lalu Wardah melanjutkan perjalanannya. Fahri paham, ya…, jodoh di tangan Tuhan. Dengan gontai Wardah melangkah meninggalkan Fahri, dan selang beberapa langkah kemudian ia bergumam seorang diri, 'sejujurnya harus aku akui, bahwa engkau adalah cinta pertamaku Fahri'. Wardah masuk mobil, lalu dengan perlahan mobil bergerak, melaju, dan terus melaju meninggalkan Fahri dalam pelukan desa yang damai.

posted by ahmad fuad usfa osman farouq at 1

SHARE :
 
Copyright © 2015 Media Bawean. All Rights Reserved. Powered by INFO Bawean