Peristiwa    Politik    Sosial    Budaya    Seni    Bahasa    Olahraga    Ekonomi    Pariwisata    Kuliner    Pilkada   
adsbybawean
Home » » Golput, Politik Ideologi Atau Fundamentalisme Agama

Golput, Politik Ideologi Atau Fundamentalisme Agama

Posted by Media Bawean on Minggu, 06 Juli 2008

Media Bawean, 6 Juni 2008
Oleh : Musyayana*

Pada masa Orde Baru, memilih adalah kewajiban. Pengingkaran atas kewajiban ini kerap kali mesti berhadapan dengan koersi dan represi oleh prangkat negara. Menjadi golput pun merupakan patriotisme politik. Sebuah perlawanan bermakna.

Selepas Orde Baru, memilih tak lagi menjadi kewajiban, melainkan hak. Dalam konteks ini, menjadi golput pun menjadi hal biasa. Memilih atau tak memilih sama nilainya manakala dilakukan secara bertanggung jawab. Patriotisasi golput menjadi tak lagi relevan.

Celakanya, patriotisasi berlebihan inilah yang masih kerap ditemui di masyarakat. Golput digeneralisasikan sebagai perlawanan-politik. Golput disemati identitas politik bahkan ideologi yang patriotik: pelawan kezaliman.

Patriotisasi berlebihan semacam ini menjadi masalah dalam mewujudkan demokrasi. Golput tidaklah mewakili sebuah kalangan atau kelompok politik homogen. Dalam konteks “memilih sebagai hak”, golput mewakili sebuah spektrum luas dan heterogen.

Ada golput teknis, yakni mereka yang karena sebab-sebab teknis tertentu (keluarga meninggal, ketiduran, dan lain-lain) berhalangan hadir ke tempat pemungutan suara, atau mereka yang keliru mencoblos sehingga suaranya dinyatakan tak sah.

Ada juga golput teknis-politis, seperti mereka yang tidak terdaftar sebagai pemilih karena kesalahan dirinya atau pihak lain (lembaga statistik, penyelenggara pemilu).

Ada pula golput politis, yakni mereka yang merasa tak punya pilihan dari kandidat yang tersedia atau tak percaya bahwa pilkada akan membawa perubahan dan perbaikan.

Sekalipun jumlahnya terbatas, ada pula golput ideologis, yakni mereka yang tak percaya pada mekanisme demokrasi (liberal) dan tak mau terlibat di dalamnya entah karena alasan fundamentalisme agama atau alasan politik-ideologi lain.

Maka, memposisikannya sebagai sebuah gerakan politik yang homogen dan masif adalah berlebihan. Sikap ini hanya menggelar panggung bagi para pahlawan kesiangan.

Bersikap sebaliknya, mengabaikan golput seolah sama sekali bukan faktor politik, juga sama bermasalahnya. Menggeneralisasi golput semata sebagai “kegenitan politik” dan mengabaikannya bukanlah tindakan bijak. Menyeragamkannya sebagai ekspresi kalangan tak berkesadaran politik juga sama tak layaknya.

Bagaimanapun, golput tak jatuh dari langit. Dalam batas tertentu, golput mewakili sebuah gejala politik penting (turunnya kepercayaan masyarakat pada demokrasi, pemilu, partai, atau tokoh/kandidat), atau menggarisbawahi terjadinya kekeliruan penting seperti ketidakmampuan lembaga statistik, pemerintah, dan komisi pemilu dalam melakukan pendataan pemilih dan/atau sosialisasi tentang hal-ihwal pemilihan.

Kehadiran dan penguatan golput, apalagi jika jumlahnya makin signifikan, kondisi seperti ini kadang dimanfaatkan kelompok politik. Lembaga Survei lebih banyak mendapat job untuk mengukur peluang golput di masyarakat daripada mengukur kecenderungan perkembangan partisipasi masyarakat untuk ikut menggunakan hak nya pada pilkada.

Dalam rentang waktu 2005-2007, umumnya pilkada di tingkat provinsi, kabupaten, dan kota memang ditandai oleh tingkat partisipasi yang relatif lebih rendah dibandingkan pemilu 2004 (legislatif dan presiden).

Angka rata-rata golput pilkada mencapai 27 persen. Dalam pilkada kabupaten, rata-rata golput 25 persen. Dalam pilkada kota dan provinsi rata-ratanya mencapai 34-35 persen.

Ancaman golput yang relatif tinggi semacam itu menjadi salah satu tantangan Pilkada Jawa Timur pada Juli 2008.

KPUD, partai-partai, para kandidat dan kalangan lembaga swadaya masyarakat selayaknya menyikapinya sebagai salah satu tantangan yang perlu jawaban layak dan segera. Ancaman golput yang tinggi semestinya mendorong berbagai kalangan itu untuk melipatgandakan kerja.

KPUD mesti memperbaiki kerjanya untuk mempersempit kemungkinan kebocoran dan pencederaan hak-hak pemilih. Partai dan kandidat harus mendekatkan isu dan program yang mereka tawarkan pada persoalan sehari-hari masyarakat dan pada pembelaan atas kesejahteraan rakyat.

Kalangan LSM juga selayaknya tergerak ikut memfasilitasi terbangunnya pemilih maupun golput yang bertanggung jawab.

Penting untuk disadari para pemilih dan calon golput Jawa Timur, ketika pencoblosan dilakukan pada Juli 2008, pekerjaan sebagai warga Jawa Timur bukannya berakhir, tapi baru saja dimulai.

Musyayana : Aktivis LSM di Jawa Timur asal Bawean

SHARE :

Posting Komentar

 
Copyright © 2015 Media Bawean. All Rights Reserved. Powered by INFO Bawean