Media Bawean, 17 September 2008
(Pendekatan abstraks kasus di Patar Selamat)
Oleh: A. Fuad Usfa (Australiah)
Oleh: A. Fuad Usfa (Australiah)
Sungguh mengejutkan, seakan tidak percaya bila ada orang Bawean yang melakukan tindak pidana pembunuhan, apalagi dengan menggunakan senjata tajam, lebih-lebih lagi dengan persoalan yang tidak tergolong besar. Ada fenomena apa gerangan….?.
Di sini penulis hanya akan bicara dari aspek hukum pidana secara abstrak.
Dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) terdapat beberapa ketentuan yang mengatur tentang pembunuhan, yaitu yang tercantum dalam pasal-pasal: 338 (pembunuhan biasa) dengan ancaman pidana setinggi-tingginya 15 tahun penjara, 339 (pembunuhan dengan pemberatan/yang dikualifisir) dengan ancaman pidana setinggi-tingginya 5 tahun penjara, 340 (pembunuhan berencana) dengan ancaman pidana setinggi-tingginya pidana mati atau seumur hidup atau 20 tahun penjara, 341 (pembunuhan bayi/anak biasa) dengan ancaman pidana setinggi-tingginya 7 tahun penjara, 342 (pembunuhan bayi berencana) dengan ancaman pidana setinggi-tingginya 9 tahun penjara, 343 (untuk mengancam orang lain/selain ibu yang terlibat pembunuhan bayi) dengan ancaman pidana setinggi-tingginya sama dengan 338 atau 340, 344 (euthanasia) dengan ancaman pidana setinggi-tingginya 12 tahun penjara, 345 (mendorong orang lain bunuh diri) dengan ancaman pidana setinggi-tingginya 4 tahun penjara, 346-349 (aborsi) dengan ancaman pidana setinggi-tingginya (antara 4 - 12 tahun) penjara, 351 ayat 3 (penganiayaan biasa yang mengakibatkan matinya orang) dengan ancaman pidana setinggi-tingginya 7 tahun penjara, 353 ayat 3 (penganiayaan berencana yang mengakibatkan matinya orang) dengan ancaman pidana setinggi-tingginya 9 tahun penjara, 354 ayat 2 (penganiayaan berat yang mengakibatkan matinya orang dengan ancaman pidana setinggi-tingginya 10 tahun penjara, 355 ayat 2 (penganiayaan berat berencana yang mengakibatkan matinya orang) dengan ancaman pidana setinggi-tingginya 15 tahun penjara, 359 (karena kelalaiannya mengakibatkan matinya orang) dengan ancaman pidana setinggi-tingginya 5 tahun penjara atau satu tahun kurungan .
Dalam kasus pembunuhan sebagaimana terjadi di Patar Selamat, terdapat beberapa pasal yang mungkin diterapkan, kemungkinan itu adalah pada pasal-pasal: 338, 340. Bedanya 340 daripada 338 adalah, 340 didahului dengan adanya rencana terlebih dahulu, artinya ada kesempatan untuk berpikir dengan tenang, atau dalam bahasa gampangnya barangkali bisa disebut sebagai bukan spontanitas.
Kemungkinan lainnya adalah pasal-pasal: 351 ayat (3), 353 ayat (3), 354 ayat (2), dan 355 ayat (2).
Selintas yang penulis baca di Media Bawean, Penyidik menyangkakan dengan pasal 338. Perlu dipahaami bahwa itu boleh-boleh saja, akan tetapi nantinya Jaksa Penuntut Umum (JPU) akan mempelajari lebih lanjut Berita Acara Pemeriksaan (BAP) dari Penyidik dan JPU akan menentukan dakwaan atas dasar BAP daripada Penyidik tersebut. Sudah barang tentu JPU tidaak akan hanya menggunakan satu pasal saja, sebab bila hanya dengan satu pasal, dihawatirkan dalam pemeriksaan di Pengadilan nanti tidak terbukti dengan sah dan meyakinkan, jika itu terjadi, maka terdakwa bisa bebas (vrijspraak), dan dalam kasus tertentu –tapi bukan dalam kasus di Patar Selamat ini--, bisa jadi terbukti dengan sah dan meyakinkan tapi bukanlah merupakan tindak pidana, yang ini istilah hukumnya adalah lepas dari segala tuntutan hukum. Oleh sebab itu JPU akan menggunakan pasal berlapis sebagai alternatif. Dengan menggunakan pasal berlapis itu , maka bila satu pasal tidak terbukti dengan sah dan meyakinkan, masih ada pasal lain yang bisa memback up, misalnya bila pembunuhan berencana tidak terbukti dengan sah dan meyakinkan, maka masih mungkin pembunuhan biasa, dan bila tidak terbukti dengan sah dan meyakinkan pula, maka masih mungkin penganiayaan berat berencana yang mengakibatkan matinya orang, dan seterusnya. Jadi JPU akan menggunakan pasal berlapis dengan kriteria primer, subsider, lebih subsider, dan seterusnya.
Di dalam memutus perkara hakim akan mempertimbangkan tentang alasan-alasan yang meringnkan dan memberatkan, misalnya faktor yang meringankan adalah si pelaku masih muda, menyesali akan perbuatannya, dan sebagainya, sedang alasan yang memberatkan misalnya karena dilakukan di bulan suci ramadhan, menggunakan senjata tajam dan sebagainya.
Di samping itu hakim terlebih dahulu akan mempelajari tentang adakah alasan penghapus pidana?. Alasan penghapus pidana tersebut ada yang terdapat dalam Undang-undang, ada pula yang terdapat di luar Undang-undang (dhi KUHP). Alasan-alasan penghapus pidana dalam KUHP dapat kita lihat dalam pasal-pasal:44 (kemampuan bertanggung jawab), 45 (belum cukup umur bisa dijatuhi tindakan), 48 (overmacht/daya paksa), 49 (noodwer/pembelaan terpaksa), 50 (melaksanakan perintah undang-undang), 51 (melaksanakan perintah jabatan).
Dalam kasus di Patar Selamat dalam ketentuan tersebut hanya satu pasal saja yang mungkin terdapat, yaitu pasal 44, itupun nantinya harus dibuktikan dengan alat bukti yang disebut dengan keterangan ahli. Hanya saja sepenjang yang penulis baca di media tidak nampak gejala itu.
Perihal gangguan jiwa, dalam KUHP diistilahkan ‘jiwanya cacat dalam pertumbuhan’ dan ‘sakit berubah akal’ (pasal 44). Jiwanya cacat dalam pertumbuhan, memang sedari kecil sudah menderita kelainan (kata orang bawean, la deri paloatan) misalnya idiot, dan sebagainya, sedang sakit berubah akal adalah sakit jiwa.
Kemungkinan lain yang bisa terjadi, si terdakwa akan berdalih, bahwa ia tidak bermaksud membunuh, tapi hanya ingin menganiaya saja.
Untuk alasan itu maka hakim perlu mempelajari teori tentang kesengajaan, yang dalam hal itu ada tiga teori tentang kesengajaan, yaitu kesengajaan sebagai maksud, sebagai sadar kepastian dan sebagai sadar kemungkinan.
1. Kesengajaan sebagai maksud, adalah memang terdapat hubungan langsung antara kehendak jiwa dan fakta kejadian, misalnya terdakwa menyatakan, ‘ya…, saya memang bermaksud membunuh oleh sebab ……’.
2. Kesengajaan sebagai sadar kepastian, adalah memang jiwa tidak menghendaki akibat itu terjadi, tetapi dengan berlaku begitu pasti suatu yang tidak dikehendaki itu akan terjadi, misalnya si terdakwa mengatakan tidak berkehendak untuk membunuh, tapi, siapapun kalau dipancung pasti hal yang tidak dikehendakinya itu akan terjadi. (Hal ini tidak terjadi pada kasus di Patar Selamat).
3. Kesengajaan dengan sadar kemungkinan, adalah memang jiwa tidak menghendaki akibat itu terjadi, tapi semestinya ia menyadari bahwa jika itu dilakukan, kemungkinan besar akibat yang tidak dikehendakinya itu akan terjadi, misalnya terdakwa mengatakan, bahwa ia tidak bermaksud membunuh, tapi mestinya ia menyadari bila pedang setajam itu ditebaskan pada bagian badan manusia akan menyebabkan pendarahan yang hebat, dan dengan demikian kemungkinan besar si korban akan kehabisan daran, yang tentu akan mengakibatkan kematiannya. Apalagi bila pedang itu mengandung racun.
Dari situlah hakim akan mengambil kesimpulan dengan apa yang disebut ‘mengobyektifkan’. Jadi walaupun terdakwa mengatakan tidak bermaksud, maka hakim bisa mengkategorikan sebagai sengaja.
Kita lihat perkembangannya, di tingkat penyidikan masih proses, di tingkat Penuntutan masih pula proses, maka bila proses persidangan telah tuntas, hakim akan bermusyawarah kemudian memutus.
Menurut hukum, masih ada lagi kemungkinan untuk Banding ataupun Kasasi (upaya hukum biasa) dan juga ada yang disebut kasasi demi kepentingan hukum dan peninjauan kembali (upaya hukum luar biasa). Dalam bahasa hukum barulah seseorang itu bisa dinyatakan bersalah kalau putusan itu telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap (in kracht).
Wallhu ‘a’lam bissawab.
Posting Komentar